Ikhtisar
Dalam novel Senja di Jakarta, Mochtar Lubis menyayat kehidupan politik dan sosial di Jakarta selama kurun waktu 1950-an. Dengan kejernihan yang menyerikan ia berhasil membuka arus-arus kemiskinan, korupsi, dan kejahatan yang mengalir dengan deras di bawah permukaan kehidupan setiap hari di Jakarta. Meskipun novel ini berkisah tentang kehidupan di Jakarta, namun seandainya pembaca mengikuti novel ini dengan seksama, maka apa diceritakan juga melukiskan berbagai kekuatan yang mempengaruhi, membentuk, dan mendorong kehidupan mereka yang kaya, miskin, kaum politik dan kriminal, kaum intelektual, dan juga mereka yang berpindah tempat dari desa ke kota besar.
Suryono, sang tokoh utama, seorang pegawai negeri yang masih berumur muda, merupakan sebuah titik utama yang digunakan penulis untuk menggambarkan betapa tali-tali yang menjerat banyak anggota masyarakat dari berbagai kelompok untuk melakukan beragam perbuatan yang menekan dan menindas rakyat kecil dan membuat yang kaya bertambah kaya, dan yang berkuasa tambah berkuasa. Fenomena yang amat sering terjadi dalam negeri-negeri yang belum lama merdeka. Tema novel Senja di Jakarta masih relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Karenanya, permenungan dan penggambaran realitas politik dan sosial di dalamnya masih terasa aktual dan relevan.
Pendahuluan / Prolog
Mei
Saimun mengencangkan ikat pinggangnya. Perutnya sudah mulai lapar. Belum ada isinya apa-apa. Dan hari masih pagi. Hujan gerimis yang turun sejak dinihari membuat perut tambah lapar. Saimun menyalahkan hujan. Dengan kakinya yang telanjang dan penuh kotoran lumpur, kotoran, dan baksil-baksil melekat ke kaki yang telanjang itu, ditolakkannya keranjang penuh sampah dari puncak timbunan sampah, berguling-guling ke bawah, berhenti tertahan oleh dinding bambu koyak-koyak sebuah pondok kecil amat buruknya, amat koyaknya, amat tirisnya dalam hujan gerimis.
Seorang perempuan menjengukkan kepala ke luar berteriak dengan suara parau, “Kira-kira dikit dong, mana matamu?” Saimun terkejut sebentar, memandang dan menatap perempuan itu. Dia tertawa kurang ajar tidak mengandung kemarahan atau kejengkelan karena biasa saja dia tertawa demikian dalam hatinya sebentar tergores gairah melihat dada perempuan dalam pondok itu, yang dapat dilihat melalui celah-celah baju yang usang dan koyak.
Sebentar terkilas dalam hati Saimun hendak turun mendapatkan perempuan itu, tetapi didengarnya bunyi truk pengangkut sampah kepunyaan kota praja berderum. Dia segera berpaling, dan berlari kecil, melompat naik ke atas truk yang sudah mulai bergerak.
Saimun duduk mencangkung di sebelah Itam yang sedang memasang rokok kretek, memanjangkan kaki di atas lantai truk yang kotor dan basah, merasakan keras papan lantai truk pada tulang-tulang pantat, dan melepaskan tegang-tegang, urat seluruh tubuhnya, bersandar ke dinding kayu truk, dan kemudian mengacungkan tangan pada Itam, dan berkata, “Minta sekali, Tam.” Itam melihat padanya, enggan di belakang matanya segera menghilang, dan memberikan rokok kreteknya kepada Saimun, melihat dengan penuh awas bagaimana Saimun menghirup rokok kretek dalam-dalam menahan asap rokok dalam rongga dadanya lama-lama dan mengembalikan rokok kepada Itam, yang segera pula menghirupnya dalam-dalam, dan kemudian bersama-sama dengan Saimun, Itam mengepulkan asap dari lobang hidung, perlahan-lahan, dan sebentar mereka lupa hujan gerimis, kotor dan bau truk, lupa diri mereka sendiri, hanya ada wangi menyan kretek, panas rokok di hidung, dan urat-urat yang lepas dari ketegangannya.
Itam mengisap rokoknya kembali dalam-dalam, memberikan rokok pada Saimun, dan sambil menggaruk-garuk belakang kupingnya yang gatal, dan sebuah lagi tangannya menghalau lalat-lalat yang datang berkerumun, ikut naik truk pada kudis di bawah lututnya.
“Gua udah lapar, Tam,” kata Saimun pada Itam. “Satu kali lagi, lantas kita ambil gajian. Nunggu gajian kita bisa makan dulu sama Ibu Yom.” “Ingat makan, badan gua rasanya jadi lemas, habis tenaga,” kata Saimun, perutnya yang kosong bertambah kosong, seakan kekosongan yang menarik, mengalirkan segala kekuatan yang masih ada dalam darahnya. Dan dia menyandarkan punggungnya ke dinding truk. Tiba-tiba dia merasa amat letih dan tidak bertenaga.
Daftar Isi
Sampul
Mei
Laporan Kota
Juni
Laporan Kota
Juli
Laporan Kota
Agustus
Laporan Kota
September
Laporan Kota
Oktober
Laporan Kota
November
Laporan Kota
Desember
Laporan Kota
Januari
Laporan Kota
Biodata Penulis