Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

A Flood on Java

Tiga Lakon Tentang Pandemi

1 Pembaca
Rp 86.000 30%
Rp 60.200

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 180.600 13%
Rp 52.173 /orang
Rp 156.520

5 Pembaca
Rp 301.000 20%
Rp 48.160 /orang
Rp 240.800

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Seorang petinju yang menjelma menjadi tabib, seorang pemalsu lukisan yang menerima lukisan-lukisan curian dari sebuah sindikat di Eropa dan sepasang arwah bekas pasien yang lari dari rumah sakit dan ingin menonton pertunjukan drama. Mereka adalah tokoh utama dalam tiga lakon dalam buku ini. Mereka tidak berhubungan satu sama lain. Namun ada benang merah yang membuatnya dihimpun dalam satu kumpulan antologi naskah drama ini. Yaitu: pandemi.

Teater selalu mencari kemungkinan-kemungkinan. Baik dari tema maupun strategi pemanggungan. Wabah yang menghantam sekarang ini tak pelak nantinya akan banyak menimbulkan karya seni apa saja dari seni rupa sampai seni pertunjukan maupun sastra. Termasuk naskah drama. Tiga naskah lakon karya Seno Joko Suyono ini adalah salah satunya. Naskah-naskah ini menampilkan peristiwa unik yang lahir karena pandemi. Pada naskah A Flood on Java yang menjadi judul antologi ini misalnya disajikan kisah mengenai lukisan-lukisan maestro yang dicuri dari museum-museum Eropa saat terjadi wabah yang kemudian dikirim ke Jakarta. Dan jatuh ke tangan seorang pemalsu kawakan. .

Dari segi skenografi naskah ini membayangkan set yang variatif. Panggung ada yang ditata sebagaimana ring tinju, sebuah studio tempat dikerjakannya pemalsuan lukisan dan sebuah kamar hotel pop di depan kompleks perteateran semacam Off-Off Broadway yang menjadi tempat rendezvous sepasang arwah. Seno mengatakan bahwa seluruh naskah ini dimainkan dengan akting realis. Naskah ini maka dari itu berusaha memperkaya tradisi penulisan naskah realis di Indonesia.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Seno Joko Suyono

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786024339494
Terbit: Desember 2020 , 224 Halaman

BUKU SERUPA













Ikhtisar

Seorang petinju yang menjelma menjadi tabib, seorang pemalsu lukisan yang menerima lukisan-lukisan curian dari sebuah sindikat di Eropa dan sepasang arwah bekas pasien yang lari dari rumah sakit dan ingin menonton pertunjukan drama. Mereka adalah tokoh utama dalam tiga lakon dalam buku ini. Mereka tidak berhubungan satu sama lain. Namun ada benang merah yang membuatnya dihimpun dalam satu kumpulan antologi naskah drama ini. Yaitu: pandemi.

Teater selalu mencari kemungkinan-kemungkinan. Baik dari tema maupun strategi pemanggungan. Wabah yang menghantam sekarang ini tak pelak nantinya akan banyak menimbulkan karya seni apa saja dari seni rupa sampai seni pertunjukan maupun sastra. Termasuk naskah drama. Tiga naskah lakon karya Seno Joko Suyono ini adalah salah satunya. Naskah-naskah ini menampilkan peristiwa unik yang lahir karena pandemi. Pada naskah A Flood on Java yang menjadi judul antologi ini misalnya disajikan kisah mengenai lukisan-lukisan maestro yang dicuri dari museum-museum Eropa saat terjadi wabah yang kemudian dikirim ke Jakarta. Dan jatuh ke tangan seorang pemalsu kawakan. .

Dari segi skenografi naskah ini membayangkan set yang variatif. Panggung ada yang ditata sebagaimana ring tinju, sebuah studio tempat dikerjakannya pemalsuan lukisan dan sebuah kamar hotel pop di depan kompleks perteateran semacam Off-Off Broadway yang menjadi tempat rendezvous sepasang arwah. Seno mengatakan bahwa seluruh naskah ini dimainkan dengan akting realis. Naskah ini maka dari itu berusaha memperkaya tradisi penulisan naskah realis di Indonesia.

Pendahuluan / Prolog

Tentang Tiga Lakon Ini
Tiga naskah drama ini memiliki setting: sasana tinju, sebuah “bunker” studio seni lukis dan sebuah kamar hotel. Sebuah naskah dengan akting realis sering bersetting suasana indoor sebuah rumah. Umumnya menggunakan beranda, ruang tamu atau bagian dalam lain dari sebuah rumah. Tapi kemudian banyak penulis naskah realis yang kreatif dengan menyodorkan peristiwa bukan hanya di set dengan mengandaikan seputar interior rumah.

Seorang penulis naskah misalnya pernah menampilkan adeganadegan terus-menerus dalam set yang diandaikan sebuah sel penjara. Penulis lain ada yang menyajikan set drama karangannya berupa pelataran kampung di depan sebuah sumur umum. Penulis lain bahkan menyajikan setting berupa sebuah pasar di pelabuhan, tempat pelelangan ikan tepat di bawah lambung kapal. Sementara ada seorang penulis yang menyajikan adegan-adegan seolah-olah di lobi sebuah museum.

Penulis naskah Jepang Oriza Hirata misalnya dalam karyanya yang sangat terkenal: Tokyo Notes menempatkan para aktor berdialog seolaholah di depan museum. Tepatnya di bangku-bangku di samping loket masuk museum. Adegannya dibuat sangat wajar dan “hiper realis”. Drama ini kemudian diadaptasi oleh Hirata menjadi “Taipei Notes” dengan menggunakan aktor-aktor Taiwan. Bahkan saat dipentaskan di Yokohama, yang pernah saya tonton, Hirata betul-betul menggunakan lobi Museum Seni Rupa Yokohama sebagai tempat main.

Masih banyak kemungkinan-kemungkinan setting sebuah teater bertema realis atau juga teater dengan akting realis. Pada naskah Sang Malaikat dan Petinju saya menggunakan setting sebuah ring tinju di sebuah sasana tinju lama. Ide untuk membuat ring tinju sebagai setting sebuah naskah drama – tiba-tiba berkelebat begitu saja karena teringat sebuah pengalaman lama—lebih dari 15 tahun lalu saat meliput dan menyusuri kawasan Greenwich Village, Newyork.

Pada sebuah trotoar saya melihat antrian orang untuk menonton sebuah performance. Dan tatkala ikut masuk, saya kaget karena mendapatkan tempat pertunjukan itu sehari-hari berupa sebuah ruangan fitness yang lengkap memiliki ring tinju. Para performer melakukan pertunjukan di situ termasuk menggunakan ring tinju. Greenwich Village, kita tahu adalah sebuah wilayah tempat teater-teater Off-Off Broadway lahir dan beranak. Dari buku-buku dapat kita baca pertunjukan teater alternatif di situ pada tahun 50-an awalnya dimulai dari Café Pizza milik seorang imigran Italia bernama Joe Cinno.

Setelah itu di Greenwich Village mulailah bermunculan tempattempat pertunjukan teater dengan semangat underground dan penuh perlawanan estetik terhadap teater-teater mapan di uptown Newyork tempat drama-drama musikal Broadway berlangsung. Dari kawasan Greenwich Village itulah nama-nama besar penulis naskah Amerika seperti Edward Albee, Sam Shepard dan lain-lain muncul. Di situlah tempat-tempat pertunjukan legendaris seperti “La Mama” sampai kini masih ada.

Pada naskah Sebuah Hotel Di Depan Teater, saya menyajikan kisah sepasang arwah (hantu) yang dalam takaran waktu orang masih hidup usianya 1000 tahun tengah melakukan “rendezvous” di sebuah kamar hotel. Naskah ini mungkin sebuah komedi situasi. Jalanan di depan hotel itu dipenuhi oleh deretan tempat-tempat pertunjukan teater dengan kapasitas kecil hanya sekitar serratus penonton. Sepasang arwah itu membicarakan kemungkinan pertunjukan-pertunjukan yang disajikan di teater-teater itu. Tentu ilham pembuatan naskah ini mengendap dari hasil pernah menyusuri kawasan Greenwich Village di atas.

Pada naskah A Flood on Java saya berbicara tentang sebuah sindikat lukisan palsu. Tokoh utamanya adalah seorang tokoh yang malang melintang bisa menjual (mengelabui) lukisan-lukisan old master kepada kolektor-kolektor. Saya teringat sekian tahun lalu – pernah di Jakarta akan diadakan lelang lukisan-lukisan Old Maestro Eropa.

Penyelenggaranya yang mantan pedagang barang antik mengklaim bahwa seluruh lukisan-lukisan itu ditemukan dari pelacakannya puluhan tahun di banyak pasar dan kolektor-kolektor barang antik di kota-kota di Indonesia. Dia berdalih bahwa di zaman Batavia banyak lukisan-lukisan master Eropa yang sesungguhnya masuk ke Indonesia dan kemudian bersirkulasi sampai kini di kalangan kolektor barang antik. Lelang itu akhirnya tak jadi diselenggarakan karena media mencurigai keotentikan lukisan-lukisan itu.

Ketiga naskah ini tidak saling berhubungan. Namun, ada yang menautkan ketiganya: yaitu pandemi. Masa lalu sang petinju dalam naskah Sang Malaikat dan Petinju adalah juru sembuh bagi orangorang yang terkena infeksi Corona. Saya tertarik saat membaca sejarah pandemi “Flu Spanyol” di awal abad ke-20, banyak korban yang berjatuhan di Jawa karena mereka tidak percaya rumah sakit atau kedokteran modern namun lebih memilih berobat ke dukun-dukun.

Daftar Isi

Sampul
Pengantar
Tentang Tiga Lakon Ini
Sang Malaikat dan Petinju
Adegan 1: Ending
Adegan 2: Percakapan Kritikus
Adegan 3: Ketakutan Alysa
Adegan 4: Pengakuan Seorang Aktor
Adegan 5: Perkawinan Ilahiah
Adegan 6: Malaikat yang Memotong Sayap
Adegan 7: Darah di Dahi Anak Punk
A Flood On Java
     Babak Satu
     Babak Dua
     Babak Tiga
     Ruang Kosong Kembali
     Babak Empat
Sebuah Hotel di Depan Taeter
     Babak Satu
     Babak Dua
     Babak Tiga
Tentang Penulis