Virtual Reality, Menonton sebuah video klip band legendaris U2 dengan kacamata virtual reality (VR) buatan Oculus dengan smartphone Samsung Galaxy S7 Edge, seperti tengah berada di area mereka tengah bermain musik. Anda berada di tengah-tengah, sementara Bono, The Edge, Adam Clayton dan Larry Mullen Jr. duduk di empat sisi. Situasinya seperti mendekatkan Anda dengan mereka.
VR telah menjadi kenyataan, walaupun banyak pengamat menyatakan ini baru tahap embrio. Presiden Jokowi bersama Mark Zuckerberg pun telah menjajalnya pada sebuah permainan, ketika pak presiden bertandang ke markas Facebook. Bagi sejumlah vendor, kehadiran VR dianggap sebagai sebuah terobosan baru untuk menyajikan hal baru. Sepanjang 2015, nyaris tidak ada layanan baru yang dianggap memukau oleh konsumen. Teknologi seperti berhenti pada peraduan dunia imaging yang ditandai dengan penajaman pada sektor fotografi. Dan, celakanya, konsumen sudah tak terlalu peduli.
Menginjak awal 2016, barulah VR menjadi garda depan dimana untuk pemakaiannya sangat mengandalkan smartphone sebagai device yang paling kompatibel. Mengapa? VR membutuhkan perangkat visual yang kompak dan rasanya sangat sulit dikejar oleh perangkat lain. VR Sejatinya bisa berdiri sendiri dengan visual device berupa screen dan komponen lainnya, namun industri smartphone mencaploknya untuk kian memperkaya konten dan fungsi smartphone itu sendiri.
Oculus misalnya, produsen alias kickstarter yang perangkatnya kini jadi VR nomor satu buru-buru digandeng oleh Samsung. Walaupun Google sebenarnya telah mengobarkan produksi VR beberapa tahun lalu meski dalam kemasan kertas kardus. Indikasi Google ini juga dibaca oleh beberapa produsen smartphone. Mereka bahkan mencari kolega yang memproduksi kaca mata VR dengan harga yang lebih murah.
Salah satunya adalah Lenovo yang berjoin dengan ANTVR. Ada lagi Yezz Phone yang dua serinya dijual dengan menyertakan kacamata VR. Di era embrio ini, VR boleh dihadirkan dengan beragam kualitas dan teknologinya. Tetapi pada intinya, produsen smartphone ingin mengenalkan cara bermain game, menyimak foto dan menonton video yang lebih intuitif sekaligus menikmati pengalaman baru.
Jika dari sisi perangkat telah siap, selanjutnya adalah konten. Di sinilah ruang kreativitas itu dibutuhkan. Sejauh ini belum terlalu banyak, termasuk PlayStation yang mau tidak mau akan meminta seluruh rekanan publisher game giat memproduksi game untuk PlayStation VR. Produsen konten dituntut untuk membuat konten VR sebanyakbanyak dan sekreatif-kreatifnya. Teknik pembuatan konten VR memang perlu pemahaman teknologi VR yang memadai dan penggunaan peralatan seperti kamera. Ini adalah pekerjaan yang penuh tantangan.
Selain itu toko aplikasi yang menawarkan konten khusus VR pun tampaknya masih bisa dihitung dengan jari. Ikea sudah mencoba mengenalkan walaupun videonya baru beberapa gelintir. Kabarnya, produsen video dewasa pun ingin ambil bagian. Ini baru gawat!