Tampilkan di aplikasi

Nasib buram petani negeri

Majalah Swara Cinta - Edisi 72
18 September 2017

Majalah Swara Cinta - Edisi 72

Selain daya saing rendah, hasil pertanian mereka juga terus dihantam produk-produk impor dengan harga murah.

Swara Cinta
Di negeri ini, salah satu profesi yang paling tidak menguntungkan adalah petani. Nasib mereka tidak pernah cerah sejak bangsa ini berdiri. Ketika harga komoditas melonjak, yang merasakan untungnya bukan petani. Tapi ketika harga anjlok, yang paling menderita pasti petani. Untuk mendapatkan pupuk, petani di negeri ini susahnya setengah mati. Padahal, setiap musim pemilu, mereka paling banyak menerima janji.

Buya Syafii pernah mengutip perkataan Kamadjaja Lie, pengusaha yang akrab dengan petani tebu dalam sebuah tulisan. Ia melukiskan nasib para petani ini: “Mereka sudah kerja keras banting tulang setahun penuh, begitu panen yang ada utangnya bertumpuk. Makanya mereka akan berpikir mencari pekerjaan lain. Buat apa capek-capek banting tulang.

Selain daya saing rendah, hasil pertanian mereka juga terus dihantam produk-produk impor dengan harga murah. Karena itu, menjadi sulit bagi para petani untuk m e n g a k h i r i keterpurukan.” Kini, orang harus berpikir ulang untuk menjadi petani. Bahkan, kampus pertanian terbesar di negeri ini, konon tidak banyak yang menjadi petani. Mengapa, karena bertani tidak lagi memberi jaminan kesejahteraan di masa depan.

Ironis memang, selama ini kita dikenal sebagai negara agraris. “Tongkat dan kayu dilempar jadi tanaman.” Premis diatas diperkuat dengan temuan Badan Pusat Statistik (BPS). Pada Agustus 2016 penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan berjumlah 37,77 juta jiwa. Angka ini menurun 520 ribu lebih dibanding Februari di tahun yang sama.
Majalah Swara Cinta di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Edisi lainnya    Baca Gratis
DARI EDISI INI