Bangkitkan Potensi
Pamor komoditas itik semakin mentereng di segmen hilir yang ditunjukkan dengan banyak bermunculannya kuliner-kuliner yang menawarkan menu daging unggasair tersebut. Di berbagai daerah di Indonesia muncul menu-menu khas daerah berbahan baku daging itik yang sangat menarik bagi konsumen. Imbasnya, permintaan akan karkas itik pun terus meningkat dari waktu ke waktu.
Kondisi itu membuktikan bahwa daging itik sudah menjadi daya tarik sebagai asupan protein hewani alternatif bagi masyarakat. Meskipun harus diakui menu makanan berbahan baku daging itik ini sedikit lebih mahal namun akan sepadan dengan cita rasa yang dinikmati konsumen.
Tingginya permintaan akan karkas itik oleh pelaku usaha kuliner ini belum mampu dipenuhi oleh pelaku usahadi segmen hulu. Bahkan terkadang yang terjadi adalah, pelakuusaha kuliner mengeluhkan pasokan karkas itik yang sulit di dapat jika pun tersedia harganya lebih mahal. Namun di sisi lain, peternak itik pun terkadang mengeluhkan sulitnya memasarkan itik hidup untuk daging kepada konsumen. Artinya, ada disinformasi di antara rantai tata niaga komoditas itik yang perlu dibenahi.
Data Statistik Peternakan 2020 menunjukkan, populasi itik nasional sebanyak 48.587.606 ekor. Angka ini jauh lebih tinggi dari 2019 yang mencapai 47.783.078 ekor namun masih lebih rendah jika dibandingkan populasi itik di 2018 yang mencapai 50.527.567 ekor.
Adapun 5 besar provinsi dengan populasi itik tertinggi di Indonesia adalah Jawa Barat sebanyak 8.317.056 ekor. Lalu disusul Jawa Timur sebanyak 6.403.571 ekor, Jawa Tengah sebanyak 5.431.653 ekor, Sulawesi Selatan sebanyak 5.019.206 ekor, dan Kalimantan Selatan sebanyak 4.808.814 ekor.
Terdapat pula itik manila yang datanya secara terpisah disajikan oleh pemerintah. Di 2020, populasi itik manila secara nasional mencapai 9.655.729 ekor. Angka ini terus meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan 5 besarpopulasi terbanyak yaitu Jawa Barat sebanyak 3.107.439 ekor,Jawa Timur sebanyak 1.536.257 ekor, Jawa Tengah sebanyak 1.470.041 ekor, Sulawesi Selatan sebanyak 1.048.352 ekor, dan Sumatera Utara sebanyak 687.456 ekor.
Dari data itu sebenarnya, potensi plasma nutfah itik lokal di Indonesia sangat melimpah. Banyak daerah di tanah air memiliki itik lokal yang menjadi ciri khas setempat dan potensial untuk dikembangkan bahkan dikomersialkan menuju industrialisasi komoditas unggas air ini.
Tercatat, pemerintah telah menetapkan rumpun ternak yaitu itik bayang dan itik pitalah dari Sumatera Barat, itik kerinci dari Jambi, itik talang benih dari Bengkulu, dan itik pegagan dari Sumatera Barat. Pemerintah juga telah menetapkan rumpun ternak yaitu itik cihateup dan itik rambon dari Jawa Barat, itik turi dari DI Yogyakarta, itik tegal dan itik magelang dari Jawa Bangkitkan Potensi Tengah, serta itik mojosari dari Jawa Timur.
Tidak hanya itu, pemerintah juga telah menetapkan sebagai rumput ternak yaitu itik alabio dari Kalimantan Selatan. Juga itik alabimaster-1 agrinak dan mojomaster-1 agrinak yangmerupakan inovasi dari Balitnak (Badan Penelitian Ternak).
Namun sayangnya, potensi itik lokal ini masih belum termanfaatkan secara optimal bahkan strategi pengembangannya pun belum tampak secara signiikan. Para pakar peritikan tanah air memberikan saran agar stakeholder memetakan sekaligus mengembangkan potensi itik sebagai usaha komersial yang berorientasi pasar dengan menarik generasi milenial untuk terjun pada semua segmen dari hulu sampai hilir.
Pemerintah, akademisi, dan peneliti pun diminta segera menggiring pelaku usaha itik untuk membentuk asosiasi pembibit dan peternak itik yang lebih representatif. Selanjutnya bersama-sama menyusun standar teknis (budidaya, performa dan kualitas daging) dan standar ekonomi – bisnis termasuk sistem kemitraan berbasis koperasi peternak, peningkatan populasi/ kapasitas produksi, penyeragaman mutu bibit, pengembangan produk yang lebih bernilai ekonomis dan tata niagalebih eisien.
Juga identiikasi jenis-jenis itik lokal menurut jumlah ketersediaan dan lokasinya dilengkapi dengan jenis produk yang akan dihasilkan menurut jenis itik lokal itu, dibantu dengan data performa yang disediakan oleh akademisi dan peneliti termasuk dicarikan cara agar bisa ditingkatkan. Unit pembibitan yang dibangun pun harus memberikan patokan tingkat produksi dan kualitas produksi bibit yang konsisten.
Bahan pakan bagi pengembangan itik lokal juga harus dipetakan. Bahan pakan lokal apa saja yang bisa disediakan secara kontinu, dan apa saja yang harus didatangkan dari luar daerah. Juga sumber daya manusia sebagai subyek pengembangan itik lokal tak luput dari proiling. Tidak ketinggalan, jumlah peternak yang bersedia mengembangkan, dan level minatnya untuk terjun pada pengembangan itik lokal.
Para pakar juga menyarankan untuk melakukan analisis pasar lokal, regional bahkan pada tahap selanjutnya pasarluar negeri/ ekspor, untuk 2 produk utama itik lokal yaitu telur dan bebek potong baik berupa hidup maupun karkas. Apalagi sebenarnya pasar sudah sangat terbuka, tinggal bagaimana membuktikan untuk mampu merebut pasar itu.
Disamping itu, perbaikan tata niaga harus diupayakan secara terus menerus untuk menyambungkan antara peternak dengan pasar. Yang tidak kalah penting adalah tuntutan dibuatnya visi bersama, semacam roadmap agar orientasi industri itik lokal nantinya bukan hanya domestik namun juga menembus pasar ekspor. Dengan berbagai upaya dan sinergi antar stakeholder ini tentunya akan mendorong potensi itik lokal termanfaatkan secara optimal sekaligus menjaganya dari kepunahan. Semoga