Tampilkan di aplikasi

Buku UGM Press hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Interseksi Gender

Perspektif Multidimensional Terhadap Diri, Tubuh, dan Seksualitas dalam Kajian Sastra

1 Pembaca
Rp 88.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 264.000 13%
Rp 76.267 /orang
Rp 228.800

5 Pembaca
Rp 440.000 20%
Rp 70.400 /orang
Rp 352.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Perspektif dalam kajian gendertidaklah bersifat tunggal. Ada dinamika yang terus bergerak secara teoritis dalam merespon perkembangan teori-teori feminisme yang mengalami kemajuan pesat sejak tahun 1970-an. Memandang bahwa perempuan secara universal memiliki nasib yang homogen, seperti yang dijelaskan oleh Gerakan Feminisme Gelombang Kedua dianggap oleh para feminis, yang kebanyakan bukan feminis kulit putih, terlalu mengeneralisasi persoalan perempuan (Mohanty, 1984; Crenshaw, 1992; Collins, 1989). Ketiganya sepakat bahwa perempuan memiliki nasib yang tidak sama dalam batas-batas sejarah, sosial, politik maupun geografis.

Perspektif gender dengan fokus pada intersectionality menjadi cara untuk mengkonseptulisasikan hubungan antara sistem-sistem opresi yang membangun identitas kita yang bersifat multipel dan juga lokasi sosial kita yang berada di dalam hierarki kekuasaan. Idenfitas gender tidak muncul begitu saja tetapi berada di dalam sebuah sistem kekuasaan yang di dalamnya ada legitimasi dan privilese dari kelompok-kelompok yang menjadi kultur dominan.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Wening Udasmoro / Widya Nayati

Penerbit: UGM Press
ISBN: 9786023869145
Terbit: April 2023 , 268 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Perspektif dalam kajian gendertidaklah bersifat tunggal. Ada dinamika yang terus bergerak secara teoritis dalam merespon perkembangan teori-teori feminisme yang mengalami kemajuan pesat sejak tahun 1970-an. Memandang bahwa perempuan secara universal memiliki nasib yang homogen, seperti yang dijelaskan oleh Gerakan Feminisme Gelombang Kedua dianggap oleh para feminis, yang kebanyakan bukan feminis kulit putih, terlalu mengeneralisasi persoalan perempuan (Mohanty, 1984; Crenshaw, 1992; Collins, 1989). Ketiganya sepakat bahwa perempuan memiliki nasib yang tidak sama dalam batas-batas sejarah, sosial, politik maupun geografis.

Perspektif gender dengan fokus pada intersectionality menjadi cara untuk mengkonseptulisasikan hubungan antara sistem-sistem opresi yang membangun identitas kita yang bersifat multipel dan juga lokasi sosial kita yang berada di dalam hierarki kekuasaan. Idenfitas gender tidak muncul begitu saja tetapi berada di dalam sebuah sistem kekuasaan yang di dalamnya ada legitimasi dan privilese dari kelompok-kelompok yang menjadi kultur dominan.

Pendahuluan / Prolog

Kata Pengantar
Perspektif dalam kajian gender tidaklah bersifat tunggal. Ada dinamika yang terus bergerak secara teoretis dalam merespons perkembangan teori-teori feminisme yang mengalami kemajuan pesat sejak tahun 1970-an (Udasmoro, 2017). Gelombang Kedua Feminisme memandang bahwa perempuan secara universal memiliki nasib yang homogen. Hal ini oleh para feminis pasca-Gelombang Kedua Feminisme, yang rata-rata bukan feminis kulit putih, dianggap terlalu menggeneralisasi persoalan perempuan (Mohanty, 1984; Crenshaw, 1992; Collins, 1989). Mohanty, Crenshaw dan Collins, ketiganya bersepakat bahwa perempuan memiliki nasib yang tidak sama dalam batas-batas sejarah, sosial, politik maupun geografis. Perempuan kulit hitam, misalnya memiliki nasib yang tidak sama dengan perempuan kulit putih. Bahkan, laki-laki kulit hitam pun belum tentu memiliki nasib yang lebih baik daripada perempuan kulit putih di sebuah wilayah yang menerapkan apartheid.

Carastathis (2014) menguatkan pandangan tersebut dengan mengatakan bahwa intersectionality menjadi cara untuk mengonseptulisasikan hubungan antara sistem-sistem opresi yang membangun identitas kita yang bersifat multipel dan juga lokasi sosial kita yang berada di dalam hierarki kekuasaan dan privilese. Identitas gender tidak muncul begitu saja, tetapi berada di dalam sebuah sistem kekuasaan yang di dalamnya ada legitimasi dan privilese dari kelompok-kelompok yang menjadi kultur dominan.

Feminist scholarship sampai tahun 1980-an masih terkungkung pada pandangan universalis mereka. Padahal, gender tidak bersifat sangat otonom. Gender selalu berinterseksi dengan kategori sosial yang lain, seperti usia, etnisitas, kelas sosial, agama, pendidikan dan sebagainya. Ada aspek-aspek detail yang menyertai relasi antara gender dengan kategori sosial tersebut yang seharusnya dilihat ketika menganalisis fenomena sosial dengan perspektif gender.

Kata intersection kemudian muncul diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw sebagai usaha untuk menjelaskan kompleksitas dalam penelitian gender. Seperti dikemukakan oleh Jane Coaston (2019: 1): When Kimberlé Crenshaw coined the term 30 years ago, it was a relatively obscure legal concept. Then it went viral.

Intersectionality ini juga memunculkan debat yang sangat intens di kalangan politisi beraliran konservatif di Amerika Serikat. Seperti yang dijelaskan oleh Coaston (2019: 1) There may not be a word in American conservatism more hated right now than “intersectionality.” On the right, intersectionality is seen as “the new caste system” placing nonwhite, non-heterosexual people on top. To many conservatives, intersectionality means “because you’re a minority, you get special standards, special treatment in the eyes of some.” It “promotes solipsism at the personal level and division at the social level.” It represents a form of feminism that “puts a label on you. It tells you how oppressed you are. It tells you what you’re allowed to say, what you’re allowed to think.” Intersectionality is thus “really dangerous” or a “conspiracy theory of victimization.” Dalam konsep intersectionality ini Crenshaw, yang merupakan professor African-American di Columbia Law School, juga berargumen bahwa diskriminasi ras akan sulit hilang karena kuatnya dominasi kulit putih terhadap kulit hitam dan tidak hanya persoalan perempuan yang didominasi, tetapi juga laki-laki kulit hitam yang mengalami dominasi oleh orang-orang kulit putih (Crenshaw, 1989).

Masih dalam konteks yang sama, yakni persoalan intersectionality, Mohanty (1984), seorang akademisi feminis asal India yang menjadi profesor di Amerika Serikat mengatakan: What I wish to analyze is specifically the production of the “Third World Woman” as a singular monolithic subject in some recent (Western) feminist texts.

Mohanty berharap adanya produksi pengetahuan perempuan dunia ketiga yang menjadi subjek diakui dalam teks-teks feminis Barat. Pandangan ini merupakan bentuk perjuangan untuk memosisikan pemikiran Non- Western Feminist dalam konstelasi pemikiran yang seimbang dengan feminis Barat.

Sementara itu, seorang feminis African-American lain, yakni Patricia Hill Collins (1990; 1989) berargumen bahwa perempuan kulit hitam mengalami diskriminasi-diskriminasi ganda, pertama karena dia perempuan yang berada dalam sistem hierarki yang didominasi laki-laki, kedua karena dia kulit hitam yang berada di bawah dominasi kulit putih. Perempuan masih harus mengalami juga diskriminasi yang dilakukan oleh laki-laki kulit hitam.

Dari ketiga feminis tersebut terlihat adanya kesadaran akan adanya hierarki-hierarki, baik dalam konteks sosial maupun akademik dan pemosisian secara teoretis keilmuan terkait dengan feminisme. Ada semacam kritik terhadap hierarki dominan “Barat” yang secara jelas disebutkan Mohanty di dalam tulisannya yang berjudul “Under Western Eyes Feminist Scholarship and Colonial Discourses”.

Mengapa Non-Western Feminist dan cara pandang yang tidak homogen serta universal tersebut dikemukakan secara lugas oleh ketiga feminis tersebut adalah karena mereka mengalami persoalan hierarki yang tidak bersifat tunggal. Ada multidimensi dalam hierarki-hierarki tersebut. Multidimensi di dalam kaitan antarkategori sosial itu pun sangat bervariasi. Seseorang mungkin memiliki irisan ketika gender dan kelas sosialnya paling dominan dalam pengalaman sosialnya. Namun, orang lain mungkin akan memiliki interseksi yang kompleks, misalnya gender, kelas sosial, dan etnisitas sekaligus sebagai pengalaman hidupnya. Sebagai contoh, peristiwa pemerkosaan seorang gadis difabel oleh kakak kandungnya adalah contoh interseksi pengalaman yang kompleks, karena di dalamnya ada persoalan gender (perempuan yang diperkosa laki-laki), persoalan usia (perempuan yang diperkosa laki-laki yang lebih tua, yakni kakaknya), dan juga persoalan difabilitas (perempuan difabel yang diperkosa laki-laki bukan difabel). Interseksi ini tidak hanya menjelaskan soal irisan atau interseksinya saja tetapi bahwa ada relasi kuasa tidak seimbang dari beroperasinya interseksi tersebut. Siapa menguasai siapa memiliki dimensi yang cukup kompleks yang harus diteliti secara detail untuk membongkar relasi kuasa yang terjadi.

Tulisan-tulisan di dalam buku ini memiliki orientasi melihat berinterseksinya gender dengan kategori-kategori sosial yang lain tersebut di dalam karya sastra. begitu familiar dengan salah satu perspektif di dalam kajian gender, yakni intersectionality. Hal-hal yang difokuskan memperlihatkan secara sederhana perspektif multidimensi dari hierarki-hierarki yang kompleks ketika melihat karya sastra. Sementara itu, persoalan tubuh, seksualitas dan relasi subjek-objek serta “diri” dan “liyan” adalah terminologi-terminologi yang hampir merata digunakan di dalam artikel-artikel buku ini untuk menjelaskan berkelindannya gender dengan kategori sosial yang lain tersebut.

Artikel pertama dari buku ini ditulis oleh Yarni Hi Majid berjudul “Gender dan Diskriminasi Multidimensi dalam Novel Musafir Cinta (2001) Karya Shamiroh Binti Al-Jazirah Al-Arabiyah”. Tulisan ini secara praktik memberikan gambaran mengenai diskriminasi multidimensi dialami oleh perempuan yang berkelindan dengan situasi dia yang lain. Gadis muda buta Dzikra yang berasal dari keluarga tidak berada dari masyarakat minoritas Badui di wilayah Arab mengalami diskriminasi berlapis karena posisi-posisi yang berinterseksi dengan gendernya sebagai kelompok marginal. Selain itu, multi-layer dari diskriminasi multidimensi ini terjadi di wilayahnya sangat familiar, yakni lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

Tulisan kedua ditulis oleh Arofah berjudul “(Re)Konstruksi Peran Perempuan dalam Budaya Pesantren Jawa: Kajian Novel Hati Suhita Karya Khilma Anis” yang menceritakan tentang pemosisian perempuan di pesantren. Perjodohan dan trajektori kehidupan di pesantren dipegang sangat ketat oleh kiai sehingga pilihan-pilihan tidak memungkinkan untuk ditolak, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Perempuan digambarkan masuk ke ruang publik tetapi atas pilihan orang lain. Perempuan selain mengalami peran ganda karena harus masuk di ranah domestik dan ranah publik sekaligus, juga mengalami dominasi multidimensi, yakni dominasi pesantren dan dominasi budaya Jawa yang masih memosisikannya sebagai yang subordinat.

Arfin Fakhrur Rokhim juga mengulik persoalan perempuan di pesantren dengan judul “Menjaga Diri Bagi Perempuan Pesantren dalam Cerpen ‘Ning Ummi’ Karya A. Musthofa Bisri”. Agak berbeda dengan tulisan Arofah yang mencoba melihat tersubordinasinya perempuan di dalam budaya pesantren, tulisan ini menjelaskan bahwa perempuan justru lebih memiliki kebebasan sebagai “diri” ketika berada di dalam pesantren. Being the self digambarkan, meskipun penuh dengan perjuangan, dapat diaktualisasikan oleh tokoh perempuan. Sebaliknya, ketika perempuan sudah keluar dari pesantren dan menikah, dia justru kehilangan kebebasannya karena harus tunduk pada aturan suaminya. Dia menjadi the other dalam relasi ini. Interseksionalitas yang dilihat terkait hubungan antara gender dengan etnisitas, kelas sosial, pendidikan, dan agama. Elaborasi-elaborasi yang di satu sisi deskriptif, tetapi di sisi lain argumentatif dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada para pembaca yang belum Masih berbicara mengenai perempuan Muslim, artikel selanjutnya ditulis oleh Haris Kurniawati berjudul “Penarasian Perempuan Muslim Berhijab di Amerika Serikat Pasca-9/11”. Dijelaskan oleh penulis bahwa para perempuan Muslim setelah peristiwa 9/11 mengalami symbolic annihilation. Mereka mengalami omission, trivialization, dan condemnation karena identitasnya. Dari sini terlihat subordinasi multipel perempuan. Dia mengalami symbolic annihilation bukan hanya karena dia adalah perempuan tetapi karena dia adalah perempuan Muslim berjilbab dalam konteks ruang tertentu ketika terorisme menjadi isu global yang dianggap meresahkan. Persoalannya adalah image terhadap perempuan berjilbab menjadi sebuah penghukuman. Seorang atau sebuah kelompok dihukum bukan karena perbuatannya, tetapi karena identitasnya.

Novel selanjutnya masih berbicara mengenai perempuan Muslim. Kali ini, perempuan Muslim yang diceritakan di dalam novel yang dianalisis berada dalam seting di Afghanistan. Ardilla Islamiyah menulis artikel berjudul “Perempuan Afghanistan di Bawah Dua Rezim dalam Novel Wajah Terlarang Karya Latifa”. Penulis mendeskripsikan secara cermat perempuan yang diposisikan secara berbeda di dalam dua rezim politik yang berbeda, yakni rezim Uni Soviet dan rezim Taliban. Meskipun di dalam keluarga, ayah sebagai yang memiliki kedudukan tertinggi memberikan kebebasan yang sama kepada istri, anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki untuk mengaktualisasikan diri mereka. Mereka sukses di ruang publik pada rezim yang berbeda. Hidup di keluarga kelas atas, tokoh perempuan yang pada masa sebelumnya memiliki posisi tinggi di masyarakat dengan profesi-profesi yang dihormati, pada akhirnya harus tunduk pada rezim esensialis yang memiliki perspektif kuat terhadap kontrol atas diri dan tubuh perempuan.

Sebuah analisis terhadap novel yang menggambarkan sosok perempuan Ahmadiyah ditulis oleh Hendra Apriyono dengan judul “Diskriminasi Teologi Terhadap Perempuan Ahmadiyah dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari”. Penulis memulai artikel dengan sebuah klaim yang sangat kuat bahwa, ”Teologi sampai saat ini masih menjadi dominasi kultur maskulin”. Penulis berargumen bahwa sistem teologi mendominasi perempuan secara multipel. Perempuan Ahmadiyah mengalami diskriminasi ganda. Di satu sisi, sebagai perempuan Ahmadi, sebagaimana Ahmadi laki-laki, dia mengalami ketidakberdayaan berada di dalam sistem teologi mainstream. Di sisi lain, perempuan Ahmadi masih mengalami dominasi dari para laki-laki Ahmadi yang menjadi penentu kehidupannya. Perlawanan adalah cara yang dilakukan perempuan untuk menghadapi diskriminasi ganda tersebut.

Artikel selanjutnya masih menjelaskan mengenai diskriminasi ganda yang dialami oleh kelompok minoritas lain, yakni perempuan difabel. Menganalisis tulisan perempuan pengarang Ratna Indraswari, Moch Zainul Arifin, M Imam Fatkhurrozi, Muhammad Habib menjelaskan bahwa para difabel mendapatkan posisi yang marginal dalam kehidupan sosial apalagi ketika dia adalah seorang perempuan. Mereka mengalami subalternitas, serta tidak bisa bersuara. Ketika mereka disuarakan oleh pihak lain, ada unsur-unsur eksploitasi terhadap mereka.

Tulisan mengenai subalternitas multipel yang lain ditulis oleh Rita Anggraeni dengan judul “Subalternitas Multipel Anak Perempuan dalam Novel Brutal”. Di dalam artikel ini, apabila pada artikel-artikel terdahulu interseksionalitas yang memunculkan subalternitas multipel ditujukan pada perempuan dalam konteks ketubuhannya atau identitas etnis dan politiknya, tulisan ini lebih menyorot pada persoalan segregasi usia secara khusus, yakni anak perempuan. Yang membedakan lagi dari tulisan lainnya, jika sebelumnya perempuan mengalami subordinasi multipel oleh sistem dominasi maskulin, di dalam analisis, penulis berargumen bahwa novel Brutal menunjukkan dominasi dari perempuan lain yang lebih dewasa, yakni ibunya, yang memiliki mindset berpikir yang melanggengkan dominasi maskulin.

Interseksi antara gender, etnisitas, dan pendidikan menjadi aspek penting yang dikaji oleh Eka Mardiana dalam tulisannya yang berjudul “Kontradiksi Subaltern dalam The Secret Life of Bees Karya Sue Monk Kidd”. Penulis menjelaskan sebuah sistem berpikir hierarkis yang cukup kompleks bahwa rasisme dan diskriminasi rasial tidak secara general dialami oleh orang kulit hitam. Ada hierarki-hierarki berinterseksi yang menyebabkan seseorang mengalami subordinasi multipel. Perempuan kulit hitam dapat mengalami nasib yang berbeda karena kategori identitas lain yang menyertainya, yakni pendidikan atau kelas sosialnya.

Interseksionalitas dalam perkembangannya tidak hanya mengaitkan gender dengan kategori sosial yang lain seperti etnisitas, kelas sosial, usia, pendidikan, agama, dan sebagainya. Di dalam gender itu sendiri terjadi interseksi-interseksi. Tulisan berjudul “Princess Masculin: Mulan dan Merida” yang ditulis oleh Gilang Nur Gemilang ini menjelaskan interseksionalitas inside gender tersebut. “Diri” yang secara identitas terbagi-bagi dalam konsep maskulin dan feminin sebagai nilai yang diacu setiap individu, tidak secara paralel diaplikasikan oleh individu sesuai harapan sosialnya. Adopsi nilai-nilai feminin oleh laki-laki atau nilai maskulin oleh perempuan adalah bentuk interseksionalitas yang bukan merupakan hal baru di dalam kehidupan sosial apalagi di dalam sastra yang merupakan karya imajiner. Lewat tokoh Mulan dan Merida, penulis menjelaskan inside gender intersectionality ini.

Tulisan selanjutnya berjudul “Novel Vegetarian Karya Han Kang Sebagai Budaya ‘Vegan Ekstrem’ di Korea Selatan” yang ditulis oleh Inaqotul Fikroh, Inggit Dwi Karunia, dan Isnan Waluyo dengan menggunakan pendekatan ekofeminisme. Penulis melakukan pembacaan kritis terhadap novel yang melakukan perlawanan terhadap konstruksi tubuh ideal di Korea Selatan yang disebut sangat utopis dan bertentangan dengan perawatan pada alam. Penulis berargumen bahwa tulisan Han Kang relevan dengan pemikiran Warren mengenai perlawanan terhadap cara berpikir patriarki yang bersifat hierarkis dan opresif yang telah merusak perempuan dan alam. Perempuan menurut penulis telah “dinaturalisasi” (natural=alami) dan alam telah “difeminisasikan”.

Persoalan mengenai tubuh perempuan Korea Selatan yang lain juga ditulis oleh Siswantia Sar dalam artikelnya yang berjudul “Operasi Plastik dan Bulimia: Pendisiplinan Tubuh Perempuan Dalam Manhwa I Am Gangnam Beauty Karya Gi Maeng-Gi”. Pendisiplinan terhadap tubuh digambarkan dilakukan lewat operasi plastik dan obsesi untuk memiliki tubuh yang langsing dilakukan lewat praktik bulimia. Yang menjadi kritik penulis adalah bahwa pendisiplinan tubuh oleh para tokoh di dalam novel dilakukan mengikuti cara berpikir dan perspektif laki-laki. Cara berpikir seperti ini disebutkan sebagai sebuah penindasan terstruktur yang dibuat oleh rezim laki-laki, direproduksi terus-menerus, bahkan lewat komik-komik di Korea Selatan.

Tulisan yang cukup berbeda ditulis oleh Jakaria, Latifah Eka Pusparini, dan M. Thoriq Aufar dengan judul “Resistensi Hetaira dan Pelacur dalam Cerpen Nurjanah Karya Jujur Prananto: Kajian Feminisme Eksistensialis”. Merujuk pada Tong (1998) dikatakan bahwa golongan hetaira menggunakan tubuh serta memanfaatkan ke-“Liyan”-an mereka, bukan semata untuk alasan ekonomi, tetapi juga untuk menjelaskan ke-”Diri”-an di dalam penggunaan tubuh mereka tersebut. Menyitir Beauvoir (2016/1949), penulis menekankan penggunaan tubuh perempuan yang di-”Liyan”-kan tersebut di dalam perkawinan dan prostitusi. Sebuah refleksi kritis terhadap institusi perkawinan yang menurut penulis, menyetujui Beauvoir, menempatkan “diri” pada sebuah kontrak yang tidak berakhir.

Posisi perempuan di dalam lembaga perkawinan ditulis oleh Rosta Naziah Hasani, Sehla Rizqa Ramadhona. Novel berjudul Ginko Karya Watanabe Jun’ichi dijadikan objek material penelitian oleh para peneliti. Peneliti menganalisis novel yang menggambarkan perjuangan seorang perempuan yang berperspektif feminis untuk keluar dari belenggu budaya dan tradisi Jepang. Namun, perjuangan untuk keluar dari budaya patriarki pada akhirnya tidak berhasil karena dengan menikahi seorang misionaris Kristen, dia masuk ke dalam sistem patriarki yang lain. Menggunakan konsep kontrak seksual dari Carole Pateman (1988), peneliti menggarisbawahi pendapat Pateman bahwa laki-laki memiliki kebebasan di dalam perkawinan karena dia didukung oleh sistem patriarki yang terlembaga. Sementara itu, perempuan di dalam perkawinan tidak pernah bebas karena dialah objek yang diatur. Dengan demikian, kontrak seksual menempatkan dua entitas tidak seimbang di dalam lembaga perkawinan.

Artikel selanjutnya berjudul ”Fertilitas Perempuan Dalam The Hadmaid’s Tale Karya Margaret Atwwood” yang ditulis oleh Ninies Aini F. D., Nurliana Fitri, dan Rina Zuliana. Tulisan ini memberikan pandangan kritis mengenai tubuh perempuan yang sering digunakan oleh rezim kekuasaan untuk tujuan-tujuan negara. Perempuan di dalam novel digambarkan mengalami objektivikasi seksual yang bersifat terlembaga. Mereka disebut sebagai “rahim yang berjalan” yang tujuannya adalah untuk memenuhi hasrat reproduksi negara. Institusi yang dianggap bertanggung jawab dan terlibat adalah negara, agama, dan militer.

Artikel selanjutnya adalah mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam novel karya Okky Madasari yang ditulis oleh Muhammad Ikbal. Kembali di dalam novel ini mengkritisi peran negara, utamanya militer sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan. Bentuk-bentuk kekerasan, yakni fisik, seksual, dan psikologis dijelaskan di dalam novel ini sebagai temuan akan struktur otoritatif negara terhadap perempuan pada masa Orde Baru.

Masih mengenai objektivikasi perempuan di dalam novel, Muhammad Iqbal Rahadian menulis artikelnya yang berjudul “Objektivikasi Perempuan Dalam Novel Eleven Minutes Karya Paulo Cuelho”. Perempuan di dalam novel diceritakan mengalami penderitaan karena tidak adanya cinta laki-laki. Penulis menjelaskan objektivikasi perempuan di dalam novel oleh pengarang. Meskipun demikian, dominasi terhadap seksualitas perempuan di sini dijelaskan oleh penulis memiliki hierarki etnisitas, di mana orang kulit putih Eropa menjadi subjeknya dan perempuan kulit berwarna menjadi objeknya.

Artikel selajutnya berjudul “Pandji Semirang: Potret Rivalitas Perempuan dalam Karya Sastra” ditulis oleh Stefanus Krisandi Setiawan. Di dalam tulisan ini penulis berargumen bahwa tidak hanya laki-laki yang memarginalkan dan mendominasi perempuan. Akan tetapi, di dalam entitas perempuan sendiri ada dominasi yang dilakukan. Meneliti novel adaptasi dari cerita Panji, penulis menjelaskan misogini (kebencian terhadap perempuan) dan rivalitas yang menonjol di dalam cerita. Penulis berargumen bahwa misogini oleh perempuan terhadap perempuan merupakan struktur yang melanggengkan budaya patriarki.

Misogini yang lain dijelaskan oleh Idrus Dama dalam tulisannnya berjudul “Peliyanan Perempuan oleh Penulis Perempuan”. Dengan menganalisis cerpen-cerpen karya Asma Nadia, ditunjukkan oleh penulis ideal-ideal yang diciptakan pengarang cerpen dalam mengkonstruksi peliyanan terhadap perempuan. Perempuan yang cantik, ibu yang ideal adalah contoh-contoh konstruksi perempuan ideal yang meliyankan mereka yang tidak memiliki pilihan yang sama.

Artikel terakhir berjudul “Ilusi Apresiasi Diri dalam Lagu-Lagu Girlband: Bagaimana Perempuan Mencintai Dirinya”. Menganalisis lirik-lirik lagu, penulis menengarai bahwa di balik lirik-lirik lagu yang berisi empowerment terhadap perempuan, masih ada kendali laki-laki dalam mengontrol perempuan. Menggunakan lirik lagu Woman Like Me (dari Little Mix) dan The Lady is a Vamp (Spice Girl), perempuan masih ditempatkan sebagai objek karena fisiknya.

Artikel-artikel di dalam buku ini merupakan kontribusi dari para mahasiswa S2 Ilmu Sastra dalam kuliah Feminisme di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Kerja keras mereka selama satu tahun mempersiapkan buku ini menjadi kado istimewa bagi mereka sebagai bagian dari akademisi yang memiliki keprihatinan terhadap persoalan-persoalan gender di dalam masyarakat. Pandangan-pandangan mereka cukup kritis dan berani dalam mengkritisi rezim-rezim kekuasaan dalam praktik-praktik dominasi, khususnya terkait dengan gender. Apresiasi kepada mereka karena ketika kelas dimulai, hampir semuanya belum pernah memiliki kedekatan erat dengan perspektif feminisme atau kajian gender. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Gilang Nur Gemilang yang sudah membantu mengkompilasi dan mengedit awal bahasa dari tulisan-tulisan teman-temannya.

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Pusat Studi Wanita dan Badan Penerbit dan Publikasi Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan ruang agar buku ini memiliki tempat untuk dipublikasikan supaya dapat bermanfaat membangun perspektif berkeadilan gender di dalam konteks akademik di Indonesia. Buku ini merupakan inisiatif dari Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada sebagai usaha untuk pengembangan pengetahuan gender secara luas. Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat yang bagi semua yang sedang mencoba memahami kajian gender di dalam penelitian mereka.

Penulis

Wening Udasmoro - WENING UDASMORO adalah dosen di Program Studi Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada yang juga mengajar mata kuliah Analisis Wacana dan Feminisme di Program Studi Kajian Budaya dan Media UGM. Dia menyelesaikan S1 di Sastra Prancis UGM dan S2 bidang Sastra di UGM. Program Master dan Doktor dalam bidang Gender Studies diselesaikan di University of Geneva, Swiss. Riset-risetnya berfokus pada kajian Sastra, Gender dan Analisis Wacana Kritis. Beberapa karyanya antara lain adalah La Condition Féminine: une exception indonésienne?” dalam edited book L’Indonésie Contemporain diterbitkan oleh Institut de Recherche sur L’Asie du Sud-Est Contemporaine, Paris (2016), The Language Construction of Muslims as the Others in French Contemporary Discourses di Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies (2017), Representing the Other in A Voyage Round the World: Marquis Ludovic de Beauvoir’s History and Narration of 19th-Century Java di Journal on Asian Perspective (2018), Preachers, Pirates and Peacebuilding: Examining Non Violent Masculinities in Aceh (bersama Rahel Kunz dan Henry Myrttinen) di Asian Journal of Women Studies (2018), Contesting the Social Spaces: Gender Relation of Literary Communities in Yogyakarta and Surakarta di Indonesian Journal of Geography (2019), Experiencing Literature: Discourses of Islam Through the French Literary Text “Soumission” di Kritika Kultura Journal (2020).
Widya Nayati - WIDYA NAYATI adalah dosen di Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Widya lebih banyak berkecimpung di Arkeologi, terutama dalam hal Arkeologi Islam, Arkeologi Maritim /Arkeologi Ekonomi, serta Edukasi dan Promosi Cagar Budaya dan Museum. Widya menyelesaikan Sarjana Muda (1982) Keletakan Bekas Kota Plered di kabupaten Bantul-DIY: berdasarkan Interpretasi Foto Udara dan S1 (1985) di Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, UGM dengan judul Kota Banten Lama: Interpretasi Foto Udara. Gelar Master bidang Arkeologi diperoleh di The Australian National University (1994) The Archaeology of Trading Sites in the Indonesian Archipelago in the Sixteenth and Seventeenth Centuries: Possibilities and Limitations of the Evidence, sedangkan gelar PhD nya diperoleh di The National University of Singapore (2005) dengan judul Social Dynamics and Local Trading Pattern in the Bantaeng Region, South Sulawesi (Indonesia) circa 17th Century.

Beberapa karyanya antara lain ada dalam book chapter di buku berjudul : Nayati, Widya (ed.) 2011. Revitalisasi dan Pengembangan Nilai-nilai Kebudayaan Jawa untuk Penguatan Karakter Bangsa, Yogyakarta: Pusat Kajian Pengembangan Kebudayaan UGM, Pusat Studi Kebudayaan UGM bekerjasama dengan Penerbit Ombak, ISBN 978-602-7544-36-9 Widya Nayati (ed.), Kekuatan Jiwa Orang Jawa: Kebangkitan dari Bencana Gempa Bumi 2006 dan Erupsi Merapi 2010. Yogyakarta: Pusat Kajian Pengembangan Kebudayaan UGM.

Daftar Isi

Sampul
Kata Pengantar Editor
Daftar Pustaka
Gender Dan Diskriminasi Multidimensional Dalam Novel Musafir Cinta Karya Shamiroh Binti Al-Jazirah Al-Arabiyah
     Pengantar
     Gender dan Diskriminasi Multidimensional Dalam Novel
     Diskriminasi Pendidikan
     Diskriminasi Pihak yang Berkuasa
     Diskriminasi Usia
     Diskriminasi Dalam Masyarakat
     Simpulan
     Daftar Pustaka
(Re)Konstruksi Peran Perempuan Dalam Budaya Pesantren-Jawa: Kajian Novel Hati Suhita Karya Khilma Anis
     Pengantar
     Sekilas Tentang “Hati Suhita”
     Konstruksi Budaya Pesantren
     (Re)Konstruksi Peran Perempuan
     Perempuan Dalam Ranah Domestik (Private Sphere)
     Perempuan Dalam Ranah Publik (Public Sphere)
     Perempuan Ideal?
     Dominasi Maskulin
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Menjadi Diri Bagi Perempuan Pesantren Dalam Cerpen “Ning Ummi” Karya A. Musthofa Bisri
     Pengantar
     Takdir dan Sejarah Perempuan
     Mitos Perempuan
     Kehidupan Perempuan Kini
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Penarasian Perempuan Muslim Berhijab Di Amerika Serikat Pasca-9/11
     Pengantar
     Narasi Perempuan Muslim AS Dalam Rezim George W. Bush
     Konsep Symbolic Annihilation
     Narasi Perempuan dan Islamophobia Pasca 9/11
     Perjuangan Perempuan Berhijab di Amerika Serikat di Tengah Diskriminasi
     Legitimasi Narasi Perempuan Berhijab di Amerika Serikat
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Perempuan Afghanistan Di Bawah Dua Rezim Dalam Novel Wajah Terlarang Karya Latifa
     Pengantar
     Perempuan Dalam Ranah Domestik
     Perempuan Dalam Ranah Publik
     Gugatan Pengarang Perempuan
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Diskriminasi Teologi Terhadap Perempuan Ahmadiyah Dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari
     Pengantar
     Interseksi Gender dan Diskriminasi Teologi
     Diskriminasi Teologi Pra-Kerusuhan 1998
     Diskriminasi Teologi Pasca-Kerusuhan 1998
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Diskriminasi Ganda Perempuan Difabel: Melacak Batu Sandung Seorang Ratna Indraswari Ibrahim
     Pengantar
     Difabel dan Gender: Batu Sandung-kah?
     Diskriminasi Ganda Terhadap Perempuan Difabel
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Subalternitas Multipel Anak Perempuan Dalam Novel Brutal
     Pengantar
     Subaltern yang Tidak Dapat Berbicara
     Subalternitas Multiple Anak Perempuan Dalam Keluarga
     Subalternitas Multiple Anak Perempuan Dalam Masyarakat
     Suara-suara Anak Perempuan
     Subalternitas Anak Perempuan Dalam Perspektif Pengarang
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Kontradiksi Subaltern Dalam The Secret Life Of Bees Karya Sue Monk Kidd
     Pengantar
     Kontradiksi Subaltern Dalam The Secret Life Of Bees
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Princess Maskulin: Mulan Dan Merida
     Pengantar
     Maskulinitas Disney Princess Pada Karakter Tokoh Mulan (1998) dan Merida (2012)
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Vegetarian Karya Han Kang Sebagai Kritik Budaya ”Vegan Ekstrem” Di Korea Selatan
     Pengantar
     Vegetarian sebagai Kritik Konsumerisme Daging di Korea Selatan
     Vegetarian: Media Han Kang Mengkritik Budaya “Vegan Ekstrem”
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Operasi Plastik Dan Bulimia: Pendisiplinan Tubuh Perempuan Dalam Manhwa I Am Gangnam Beauty Karya Gi Maeng-Gi
     Pengantar
     Perempuan sebagai Objek Pendisiplinan Tubuh
     Operasi Plastik dan Bulimia Sebagai Upaya Pendisiplinan Tubuh
     Pengawasan Terhadap Tubuh Perempuan
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Resistensi Hetaira Dan Pelacur Dalam Cerpen “Nurjanah” Karya Jujur Prananto: Kajian Feminisme Eksistensialis
     Pengantar
     Eksistensi Pelacur Dalam Cerpen Nurjanah
     Hetaira dan Persaingan Panggung Orkes
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Posisi Perempuan Dalam Lembaga Pernikahan Pada Novel Ginko Karya Watanabe Jun’ichi
     Pengantar
     Kontrak Seksual
     Posisi Tokoh Ogino Ginko Sebagai Perempuan Dalam Pernikahan pada Novel Ginko
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Fertilitas Perempuan Dalam The Handmaid’s Tale Karya Margaret Atwood
     Pengantar
     Fertilitas, Standar Kecantikan, dan Objektivikasi Perempuan
     Perempuan dan Fungsinya di Dalam The Handmaid’s Tale
     Fertilitas dan Konstruksi Pemerintah
     Infertilitas: Kesalahan Perempuan atau Laki-laki?
     Atwood dan Narasi Perempuan di Tengah Kekuatan Negara, Militer, dan Agama
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari
     Pengantar
     Kekerasan terhadap Perempuan
     Kekerasan Fisik
     Kekerasan Psikologis
     Kekerasan Seksual
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Objektifikasi Perempuan Dalam Novel Eleven Minutes Karya Paulo Coelho
     Pengantar
     Objektifikasi Perempuan Dalam Novel Eleven Minutes Karya Paulo Coelho
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Pandji Semirang: Potret Rivalitas Perempuandalam Karya Sastra
     Pengantar
     Gambaran Rivalitas Antarperempuan Dalam Pandji Semirang
     Peran Hierarki Kelas Sosial dan Kemunculan Rivalitas
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Peliyanan Perempuan Oleh Penulis Perempuan
     Pengantar
     Perempuan Sebagai Buruh Rumah Tangga
     Pembatasan Seksualitas Perempuan
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Ilusi Apresiasi Diri Dalam Lagu-Lagu Girlband: Bagaimana Perempuan ‘Benar-Benar’ Mencintai Dirinya
     Pengantar
     Belenggu Mitos Kecantikan dan Gaze
     Apresiasi Perempuan Terhadap Dirinya Sendiri
     Perempuan Dalam Mitos Kecantikan
     Simpulan
     Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Biodata Editor