Memotret Kehidupan Dalam Kata: Di Balik Lensa Kata
Karya puisi fotografis atau fotografi puitis ini mengingatkan pada karya seorang sastrawati Iran Marjane Satrapi yang hidup di pengasingannya di Prancis dan menulis novel grafis, yakni novel yang digambarkan pula dengan seni grafis di dalam karya-karyanya, salah satunya adalah Persepolis yang sangat terkenal di dunia. Karya ini berisi pengalaman pribadi pengarang pada masa Revolusi Iran.
Karya ini juga mengingatkan pada karya Emmanuel Guibert, Didier Lefevre, dan Frederick Lemercier yang menulis karya mereka The Photographer into War Torn Afganistan, sebuah gabungan apik antara komik dengan fotografi tentang perang Afghanistan. Kisah ini, seperti halnya karya Marjane Satrapi, merupakan pengalaman mereka sebagai bagian dari Le Medecin sans Frontier di Afghanistan.
Kedua karya tersebut di atas dan antologi puisi fotografi Di Balik Lensa Kata ini memadukan karya imajiner, yakni puisi, dengan visualitas gambaran riil, yakni karya-karya fotografi. Ketiganya menjelaskan esensi yang sama, yakni memaknai sebuah pengalaman. Perbedaannya, jika kedua karya Prancis tersebut menceritakan tentang nuansa sendu, kelabu, kegetiran dan ironi-ironi kehidupan, antologi puisi fotografi Di Balik Lensa Kata ini bergelimang cahaya, cinta, harapan, dan ekstasi kehidupan. Ada beberapa hal yang penting disampaikan tentang karya antologi puisi fotografi yang sangat kontekstual ini, yaitu:
1. Pertama, karya ini menjadi kontekstual karena menjelaskan potret dunia masa kini yang "multidisiplin". pelajaran sastra masa klasik menjelaskan bahwa yang disebut karya sastra adalah prosa, puisi, dan drama. Ketiga komponen itu menjadi penting ketika zaman adalah zaman yang bersifat tertulis. Pertanyaannya, bagaimana ketika zaman menjadi digital? Manusia tidak tahu, mungkin 50 tahun lagi tidak diperlukan lagi tulisan tangan, semuanya mungkin bisa dilakukan hanya dengan cara “nunulâ€, bahkan tidak disadari bahwa sekarang ketika mahasiswa datang, tidak pernah lagi bawa pulpen karena semua sudah bawa laptop. Selain itu, mungkin juga tidak disadari bahwa semakin lama tulisan tangan manusia semakin jelek karena menjadi semakin jarang menulis.
2. Zaman digital ini menjadikan karya-karya semakin kreatif, seperti karya ini. Idenya adalah adanya penggabungan antara yang visual yang berisi pengalaman penjelajahan fotografernya (Harno Depe) yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk puisi oleh penulis puisinya (Novi Indrastuti). Tampaknya metodenya yang digunakan seperti ini.
3. Karya ini ketika dilihat, terutama bagi mereka yang suka berperjalanan (yang merupakan konteks orang Indonesia masa kini) merupakan pengalaman banyak orang. Setiap foto dan penggambaran puisinya, akan membawa penikmatnya kembali pada pengalaman masing-masing meskipun dengan cerita masing-masing, dan ekstasi masing-masing.
4. Perpaduan foto dan puisi ini juga menjelaskan perspektif yang berbeda. Pertama, mengenai kecintaan keduanya pada alam. Alam menurut keduanya adalah yang indah-indah saja (baik itu pagi, siang, maupun senja). Banyak orang bercerita mengenai keganasan alam, tetapi tidak dalam karya ini. Jadi, ketika banyak orang pesimis pada alam, karya ini justru memberikan optimisme pada alam dan manusia yang merawatnya. Kedua, ada sisi-sisi human yang bisa ditemukan dalam antologi ini. Makna-makna dibangun lewat gambaran fotografi yang sangat indah. Sebagai pengamat sastra, saya lebih tertarik melihat bagaimana sebuah makna digambarkan lewat sebuah foto.
5. Terakhir, akan sangat tepat apabila disitir sebuah kata bijak dari seorang Filsof dunia St Augustine, dia mengatakan: “The world is a book and those who do not Travel read only a page”. Bagi yang memiliki kesempatan, rezeki, dan peluang untuk berperjalanan, lakukanlah perjalanan agar bisa membaca banyak halaman. Namun demikian, bagi yang belum mempunyai rezeki, kesempatan, dan peluang untuk berperjalanan, bacalah puisi fotografi yang berisi pengalaman perjalanan ini.
Ikhtisar Lengkap
Penulis:
Harno Depe /
Novi Indrastuti
Penerbit: UGM Press
ISBN: 9786023862313
Terbit: Desember 2018
, 82 Halaman