Tampilkan di aplikasi

Buku UGM Press hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Memotret Kehidupan Dalam Kata: Di Balik Lensa Kata

1 Pembaca
Rp 45.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 135.000 13%
Rp 39.000 /orang
Rp 117.000

5 Pembaca
Rp 225.000 20%
Rp 36.000 /orang
Rp 180.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Karya puisi fotografis atau fotografi puitis ini mengingatkan pada karya seorang sastrawati Iran Marjane Satrapi yang hidup di pengasingannya di Prancis dan menulis novel grafis, yakni novel yang digambarkan pula dengan seni grafis di dalam karya-karyanya, salah satunya adalah Persepolis yang sangat terkenal di dunia. Karya ini berisi pengalaman pribadi pengarang pada masa Revolusi Iran.

Karya ini juga mengingatkan pada karya Emmanuel Guibert, Didier Lefevre, dan Frederick Lemercier yang menulis karya mereka The Photographer into War Torn Afganistan, sebuah gabungan apik antara komik dengan fotografi tentang perang Afghanistan. Kisah ini, seperti halnya karya Marjane Satrapi, merupakan pengalaman mereka sebagai bagian dari Le Medecin sans Frontier di Afghanistan.

Kedua karya tersebut di atas dan antologi puisi fotografi Di Balik Lensa Kata ini memadukan karya imajiner, yakni puisi, dengan visualitas gambaran riil, yakni karya-karya fotografi. Ketiganya menjelaskan esensi yang sama, yakni memaknai sebuah pengalaman. Perbedaannya, jika kedua karya Prancis tersebut menceritakan tentang nuansa sendu, kelabu, kegetiran dan ironi-ironi kehidupan, antologi puisi fotografi Di Balik Lensa Kata ini bergelimang cahaya, cinta, harapan, dan ekstasi kehidupan. Ada beberapa hal yang penting disampaikan tentang karya antologi puisi fotografi yang sangat kontekstual ini, yaitu:

1. Pertama, karya ini menjadi kontekstual karena menjelaskan potret dunia masa kini yang "multidisiplin". pelajaran sastra masa klasik menjelaskan bahwa yang disebut karya sastra adalah prosa, puisi, dan drama. Ketiga komponen itu menjadi penting ketika zaman adalah zaman yang bersifat tertulis. Pertanyaannya, bagaimana ketika zaman menjadi digital? Manusia tidak tahu, mungkin 50 tahun lagi tidak diperlukan lagi tulisan tangan, semuanya mungkin bisa dilakukan hanya dengan cara “nunul”, bahkan tidak disadari bahwa sekarang ketika mahasiswa datang, tidak pernah lagi bawa pulpen karena semua sudah bawa laptop. Selain itu, mungkin juga tidak disadari bahwa semakin lama tulisan tangan manusia semakin jelek karena menjadi semakin jarang menulis.

2. Zaman digital ini menjadikan karya-karya semakin kreatif, seperti karya ini. Idenya adalah adanya penggabungan antara yang visual yang berisi pengalaman penjelajahan fotografernya (Harno Depe) yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk puisi oleh penulis puisinya (Novi Indrastuti). Tampaknya metodenya yang digunakan seperti ini.

3. Karya ini ketika dilihat, terutama bagi mereka yang suka berperjalanan (yang merupakan konteks orang Indonesia masa kini) merupakan pengalaman banyak orang. Setiap foto dan penggambaran puisinya, akan membawa penikmatnya kembali pada pengalaman masing-masing meskipun dengan cerita masing-masing, dan ekstasi masing-masing.

4. Perpaduan foto dan puisi ini juga menjelaskan perspektif yang berbeda. Pertama, mengenai kecintaan keduanya pada alam. Alam menurut keduanya adalah yang indah-indah saja (baik itu pagi, siang, maupun senja). Banyak orang bercerita mengenai keganasan alam, tetapi tidak dalam karya ini. Jadi, ketika banyak orang pesimis pada alam, karya ini justru memberikan optimisme pada alam dan manusia yang merawatnya. Kedua, ada sisi-sisi human yang bisa ditemukan dalam antologi ini. Makna-makna dibangun lewat gambaran fotografi yang sangat indah. Sebagai pengamat sastra, saya lebih tertarik melihat bagaimana sebuah makna digambarkan lewat sebuah foto.

5. Terakhir, akan sangat tepat apabila disitir sebuah kata bijak dari seorang Filsof dunia St Augustine, dia mengatakan: “The world is a book and those who do not Travel read only a page”. Bagi yang memiliki kesempatan, rezeki, dan peluang untuk berperjalanan, lakukanlah perjalanan agar bisa membaca banyak halaman. Namun demikian, bagi yang belum mempunyai rezeki, kesempatan, dan peluang untuk berperjalanan, bacalah puisi fotografi yang berisi pengalaman perjalanan ini.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Harno Depe / Novi Indrastuti

Penerbit: UGM Press
ISBN: 9786023862313
Terbit: Desember 2018 , 82 Halaman

BUKU SERUPA













Ikhtisar

Karya puisi fotografis atau fotografi puitis ini mengingatkan pada karya seorang sastrawati Iran Marjane Satrapi yang hidup di pengasingannya di Prancis dan menulis novel grafis, yakni novel yang digambarkan pula dengan seni grafis di dalam karya-karyanya, salah satunya adalah Persepolis yang sangat terkenal di dunia. Karya ini berisi pengalaman pribadi pengarang pada masa Revolusi Iran.

Karya ini juga mengingatkan pada karya Emmanuel Guibert, Didier Lefevre, dan Frederick Lemercier yang menulis karya mereka The Photographer into War Torn Afganistan, sebuah gabungan apik antara komik dengan fotografi tentang perang Afghanistan. Kisah ini, seperti halnya karya Marjane Satrapi, merupakan pengalaman mereka sebagai bagian dari Le Medecin sans Frontier di Afghanistan.

Kedua karya tersebut di atas dan antologi puisi fotografi Di Balik Lensa Kata ini memadukan karya imajiner, yakni puisi, dengan visualitas gambaran riil, yakni karya-karya fotografi. Ketiganya menjelaskan esensi yang sama, yakni memaknai sebuah pengalaman. Perbedaannya, jika kedua karya Prancis tersebut menceritakan tentang nuansa sendu, kelabu, kegetiran dan ironi-ironi kehidupan, antologi puisi fotografi Di Balik Lensa Kata ini bergelimang cahaya, cinta, harapan, dan ekstasi kehidupan. Ada beberapa hal yang penting disampaikan tentang karya antologi puisi fotografi yang sangat kontekstual ini, yaitu:

1. Pertama, karya ini menjadi kontekstual karena menjelaskan potret dunia masa kini yang "multidisiplin". pelajaran sastra masa klasik menjelaskan bahwa yang disebut karya sastra adalah prosa, puisi, dan drama. Ketiga komponen itu menjadi penting ketika zaman adalah zaman yang bersifat tertulis. Pertanyaannya, bagaimana ketika zaman menjadi digital? Manusia tidak tahu, mungkin 50 tahun lagi tidak diperlukan lagi tulisan tangan, semuanya mungkin bisa dilakukan hanya dengan cara “nunul”, bahkan tidak disadari bahwa sekarang ketika mahasiswa datang, tidak pernah lagi bawa pulpen karena semua sudah bawa laptop. Selain itu, mungkin juga tidak disadari bahwa semakin lama tulisan tangan manusia semakin jelek karena menjadi semakin jarang menulis.

2. Zaman digital ini menjadikan karya-karya semakin kreatif, seperti karya ini. Idenya adalah adanya penggabungan antara yang visual yang berisi pengalaman penjelajahan fotografernya (Harno Depe) yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk puisi oleh penulis puisinya (Novi Indrastuti). Tampaknya metodenya yang digunakan seperti ini.

3. Karya ini ketika dilihat, terutama bagi mereka yang suka berperjalanan (yang merupakan konteks orang Indonesia masa kini) merupakan pengalaman banyak orang. Setiap foto dan penggambaran puisinya, akan membawa penikmatnya kembali pada pengalaman masing-masing meskipun dengan cerita masing-masing, dan ekstasi masing-masing.

4. Perpaduan foto dan puisi ini juga menjelaskan perspektif yang berbeda. Pertama, mengenai kecintaan keduanya pada alam. Alam menurut keduanya adalah yang indah-indah saja (baik itu pagi, siang, maupun senja). Banyak orang bercerita mengenai keganasan alam, tetapi tidak dalam karya ini. Jadi, ketika banyak orang pesimis pada alam, karya ini justru memberikan optimisme pada alam dan manusia yang merawatnya. Kedua, ada sisi-sisi human yang bisa ditemukan dalam antologi ini. Makna-makna dibangun lewat gambaran fotografi yang sangat indah. Sebagai pengamat sastra, saya lebih tertarik melihat bagaimana sebuah makna digambarkan lewat sebuah foto.

5. Terakhir, akan sangat tepat apabila disitir sebuah kata bijak dari seorang Filsof dunia St Augustine, dia mengatakan: “The world is a book and those who do not Travel read only a page”. Bagi yang memiliki kesempatan, rezeki, dan peluang untuk berperjalanan, lakukanlah perjalanan agar bisa membaca banyak halaman. Namun demikian, bagi yang belum mempunyai rezeki, kesempatan, dan peluang untuk berperjalanan, bacalah puisi fotografi yang berisi pengalaman perjalanan ini.

Pendahuluan / Prolog

Prakata
Antologi Puisi Fotografi diciptakan atas dasar kesadaran akan tingginya kadar kemanfaatan karya kreatif bagi kehidupan manusia. Melalui antologi puisi ini, penyair ingin berbagi perbendaharaan pengalaman karena pada hakikatnya puisi merupakan ekspresi jiwa penyair yang diperoleh melalui berbagai pengalaman dalam dinamika perjalanan hidupnya dan dituangkan dalam bahasa yang indah, padat, dan kaya makna.

Upaya menggabungkan dua media kreatif, yaitu fotografi dan puisi menjadi awal terciptanya antologi pusi fotografi ini. Saling memperkuat dalam balutan sinergi ini menjadikan karya fotografi memberikan sentuhan dan penguatan terhadap sebuah puisi, demikian juga karya puisi menghasilkan makna lebih kuat dengan kehadiran sebuah karya fotografi. Kreativitas dalam menghasilkan karya baru ini diharapkan dapat memberikan dorongan dalam terwujudnya dokumentasi terhadap sebuah karya.

“Puisi dan fotografi merupakan dua bidang kerja kreatif yang memiliki kekhususan dalam penciptaan. Saya sampaikan penghargaan yang tinggi kepada penyair dan fotografer yang telah melahirkan karya sinergis ini untuk menyemarakkan kegiatan kreatif di tanah air. Semoga masyarakat dapat menerima manfaat sekaligus memberikan apresiasi terhadap karya ini,” ujar Dr. Ing. Abdur Rohim Boy Berawi, Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan Badan Ekonomi Kreatif (BEKraf) RI.

Penulis

Harno Depe - Berawal dari pengalaman kolaborasi untuk menyusun buku antologi puisi fotografi “Di Balik Lensa Kata”, Harno Depe merasa tertantang untuk menghadirkan nuansa yang berbeda pada buku antologi puisi fotografi kedua. Dalam “Bingkau Kehidupan” ini, satu foto digunakan untuk membingkai satu topik yang berisi beberapa puisi. Tantangannya lebih besar karena harus memahami beberapa puisi dalam satu topik, dan menentukan secara tepat sebuah foto yang mewakili nuansa dari puisi tersebut. Harapannya agar pembaca dapat berhenti sejenak ketika berganti topik, menyiapkan diri untuk berkontemplasi untuk hanyut dalam untaian kata dari puisi yang tersaji.

Prof. Dr. Harno Dwi Pranowo, kesehariannya tugasnya sebagai dosen di Departemen Kimia FMIPA UGM. Kegiatan fotografinya lebih banyak dipupuk dari kegemaran dan perkenalannya dengan komunitas penghobi fotografi. Kebiasaan menggunakan kamera dalam setiap perjalannya inilah yang terus diasah dalam setiap perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia dan ke manca negara di saat menunaikan tugas dan perjalanan pengembangan keilmuannya. Keterlibatanya menemani mahasiswa yang memiliki minat fotografi di Unit Kegiatan Mahasiswa bidang Fotografi UGM yang dikenal dengan sebutan UFO (Unit Fotografi Universitas Gadjah Mada), memberi kesempatan untuk makin menyatu dengan kegiatan fotografi.
Novi Indrastuti - Doktor sastra lulusan universitas di Korea ini sudah sejak lama berkecimpung dalam jagat perpuisian. Sebagian besar karya ilmiah yang ditulis oleh penyair yang sehari-harinya adalah dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM ini selalu bersentuhan dengan dunia puisi. Mata kuliah yang diampunya, yakni “Teori Puisi” secara langsung juga memiliki relasi dengan puisi. Novi Indrastuti juga sering diminta untuk membaca puisi, baik di dalam maupun di luar negeri. Karena kecintaannya pada puisi, dia pun bertekad mengembangkan dan memperkenalkan puisi Indonesia di mata dunia maupun di tanah air tercinta.

Novi Siti Kussuii lndrastuti lahir di Jogiakarta pada 5 November. Novi, demikian panggilan akrabnya, sehari-harinya mengabdikan diri sebagai staf pengaiar Jurusan Sastra lndonesia, Fakultas llmu Budaya, Universitas Gadiah Mada. Selain mengaiar di fakultasnya, dia iuga mengampu mata kuliah bahasa indonesia di fakultas lain di lingkungan UGM dan beberapa universitas di Jogiakarta.


Daftar Isi

Sampul
Daftar Isi
Ulasan Puisi “Di Balik Lensa Kata”
Kata Pengantar
Sambutan
Menggapai Puncak Asa
Sang Pemimpi di Tengah Lautan Pasir
Dalam Pelukan Pilar Jembatan
Tangga Impian
Elegi Nyanyian Burung
Bersama Kabut
Gemericik Air Mengalir
Senandung Alam
Filantropi Rembulan
Renjana Telah Membatu
Bara Dendam
Menyapa Pagi
Bertabuhlah di Pulau Anganmu
Menanti Deburan Ombak
Di Pantai hati
Berayun dalam Mimpi
Nokturnal
Cermin Air
Menatap Bayang Senja
Senja Melankolis
Karang Jiwa yang Resah
cahaya di mulut gua
Di sela pucuk-pucuk pinus
Bersamamu adalah candu
katakan dengan Bunga
Sihir Kopi
Hura kegamangan
Bercinta dengan sang bagaskara
Rendezubus di kanvas maya
Serenada di balik derai hujan
Rayuan Bunga
Pohon cinta telah meranggas
Telaga membri
Tenggelam dalam biru
menanti Langit Lazuardi
Sejarah Menindih Sejarah
Tradisi dan modernisasi
cintaku yang purba
desah malam
helai-helai Daun Jatuh
Arca di Kolam Rindu
Bayangmu Merayuku
Meniti Lorong Kehidupan
Mengenggam Warisan Naliluhung
Mantera Bergatra
Senandung d Balik Mendung
Hidup adalah Pusaran
Roda Kehidupan
Mencari Nir Kehidupan
De Ja Vu: Pada Sebuah Malam
Lilin Keikhlasan
Berguru pada Bambu
Daun Kuning Merabuk Bumi
Penjara Rasa
Menuju Kolam Pertaubatan
Memahat Kaligrafi Cinta
Senandung Doa
Padamu
Sejumput Do'a
Keterangan Foto
Keterangan Foto
Tentang Penyair