Tampilkan di aplikasi

Buku Adab hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Epistemologi Pergerakan Intelektual Dari Masa Ke Masa

Sebuah Ulasan Komparatif

1 Pembaca
Rp 75.500 13%
Rp 65.500

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 196.500 13%
Rp 56.767 /orang
Rp 170.300

5 Pembaca
Rp 327.500 20%
Rp 52.400 /orang
Rp 262.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Sejarah dunia keilmuan Islam mengalami stagnasi dan kemunduran, sehingga menjadi sumber perdebatan yang tak henti-hentinya dan bahkan menyebabkan ilmuwan kontemporer terbelah dalam argumentasi yang panjang lebar nan membingungkan. Di satu sisi, ada yang mengklaim adanya semacam “indoktrinasi” terhadap khazanah warisan keilmuan klasik serta masih terus mengadopsi secara taken for granted, sehingga seolah terperangkap di gelanggang pemikiran klasik itu. Namun pada sisi lain, kajian dalam kerangka epistemologi sains modern yang berbasis kecerdasan rasional, kecerdasan artifisial, dan kecerdasan digital tampak menyebabkan terjadinya penyembahan terhadap “berhala rasionalisme dan empirisme”.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Muhammad Arsyad

Penerbit: Adab
ISBN: 9786236233122
Terbit: April 2021 , 160 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Sejarah dunia keilmuan Islam mengalami stagnasi dan kemunduran, sehingga menjadi sumber perdebatan yang tak henti-hentinya dan bahkan menyebabkan ilmuwan kontemporer terbelah dalam argumentasi yang panjang lebar nan membingungkan. Di satu sisi, ada yang mengklaim adanya semacam “indoktrinasi” terhadap khazanah warisan keilmuan klasik serta masih terus mengadopsi secara taken for granted, sehingga seolah terperangkap di gelanggang pemikiran klasik itu. Namun pada sisi lain, kajian dalam kerangka epistemologi sains modern yang berbasis kecerdasan rasional, kecerdasan artifisial, dan kecerdasan digital tampak menyebabkan terjadinya penyembahan terhadap “berhala rasionalisme dan empirisme”.

Pendahuluan / Prolog

Prakata Penulis
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat (QS. Al Araf, Ayat 26).

Alhamdulillah, aneka jenis epistemologi yang penulis kembangkan dari buku terdahulu: “Prophetic Epistemology Discourse” (Peribadi, 2020) tertuang dalam buku ini. Hal itu, baik yang berbasis pada pengetahuan logis maupun yang berintikan pada sumber pengetahuan supralogis. Kini, mungkin saja memang kita harus mulai melintasi sebuah jembatan epsitemologis untuk mengembangkan proses integrasi, kolaborasi, dialektika, prospektif dan pluralistik sebagai prinsip paradigma keilmuan Unity of Sciences dan Integratif-Interkonektif (Abdullah, 2015; Junaedi dan Wijaya, 2019). Sebaliknya, kita pun memang harus waspada dengan aneka ragam idiologi dan produk pemikiran yang tersenandung kepentingan terselubung (hidden interests).

Mungkin ada baiknya kita kembali mengikuti sepak terjang sang arsitek paradigma keilmuan Islam sekaliber Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Al Gazali. Tak pelak lagi, ketika kita mengikuti jejak para ulama terdahulu (salaf) dari golongan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah yang belum terpapar dengan filsafat Yunani dan olah nalar sejenisnya. Betapa tidak, jembatan epistemologi yang mereka rakit merupakan titian yang telah berpadu dengan kitab suci Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Arif, 2008; Gholib, 2009; Firas, 2016; Soleh, 2016; Junaedi dan Wijaya, 2019).

Betapa beragam epistemologi yang telah mengemuka dan berkibar mulai dari aliran pemikiran Islam klasik, sampai pada aliran modern dan kontemporer. Selain menunjukkan kecerdasan ulama, kaum sufi dan para cendikia muslim di masa lalu, juga sekaligus menjadi bukti nyata bahwa Islam yang tunggal itu dan lahir dari Yang Maha Tunggal, justru tidak membuahkan epistemologi yang tunggal dan bahkan menjelmah aneka epistemologi yang revolusioner. Ikhwal ini, sesungguhnya telah bergumul sejak lama dalam benak para ulama seperti Imam Abu Hanifah (699-767) yang terkesan memilih epistemologi Burhani dan Imam Malik (711-795) yang lebih cenderung kepada epistemologi Bayani. Sedangkan Imam Muhammad al-Syafi’i (767-820) tampak mengfungsikan keduanya sebagai proses sintetis antara epistemologi Burhani dan Bayani.

Sementara Ahmad bin Hanbal (780-855) tidak mengikuti Imam Syafi’i sebagai gurunya karena terkesan memilih epistemologi Bayani, namun Imam Bukhari sebagai muridnya melakukan studi eksplorasi sepanjang umurnya untuk mengidentifikasi dan memastikan status hadis sahih, lemah dan palsu (Firas, 2016). Sungguh mengharukan, karena spirit dan kinerjanya kemudian diikuti oleh para cendikiawan muslim, terutama di abad kesembilan sampai pada abad ketiga-belas sebagai “Masa Keemasan Intelektual Muslim”.

Di antaranya adalah ilmuwan matematika terbesar yang bernama Muhammad bin Musa al-Khwarizmi dan Umar Khayyam, al- Biruni dan al-Majriti sebagai ahli astronomi, Ibnu Battuta dan al-Mas’udi sebagai ahli geografi, al-Razi dan Ibnu Sina sebagai ahli kedokteran, dan Ibnu al-Haytham sebagai ahli fisika. Seiring dengan itu, di abad pertengahan dunia Islam dimeriahkan dengan gerakan-gerakan pemikiran yang spektakuler, sehingga beragam mashab pemikiran lahir dan berkembang. Karena itu, adalah tidak mengherankan jika pada masa itu di belahan dunia Barat dan Timur berada dalam era keemasan.

Para pemikir saling berdiskusi dan berdebat di antara penganut Pytagorean, pemikir Aristotelean dan Neo-Platonis hingga perseteruan antara al Ghazali dan Ibn Rusdh di pihak Sunni serta Suhrawardi dan Mulla Shadra di kalangan pemikir Syiah (Bagir, 2005; Mutahahhari, 2010; Wijaya, 2014; Firas, 2016; Wijaya, 2017a; Boer, 2019).

Semoga Tuhan memberi balasan setimpal kepada semua hamba-Nya yang telah memberi kontribusi dalam proses penulisan buku ini, baik berupa informasi atas keberadaan sumber-sumber bacaan yang relevan, dan maupun dalam bentuk diskusi hangat serta debat argumentatif. Penulis menyadari atas kekurangan dan ketimpangan yang mungkin tersenandung di dalamnya. Karena itu, saran, tanggapan dan kritikan yang konstruktif sungguh-sungguh penulis harapkan dan dambakan.

Kendari, April 2021

Peribadi, dkk.,

Daftar Isi

Cover
Refleksi
Pengantar Editor
Prakata Penulis
Daftar Isi
Prawacana
Pertama: Epistemologi Keyakinan dan Keraguan
Kedua: Epistemologi Bayani
Ketiga: Epistemologi Irfani
Keempat: Epistemologi Burhani
Kelima: Epistemologi Peripatetik Al Kindi
Keenam: Epistemologi Integralistik Ibnu Sina
Ketujuh: Epistemologi Filsafat Peripatetik-Teleologi Sibnu Rusyd
Kedelapan: Epistemologi Wahdah Al-Wujud Ibn Arabi
Ketujuh: Al Ghazali: Dari Akademis ke Sufisme
Kesepuluh: Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun
Kesebelas: Epistemologi Filsafat Iluminasi: Suhrawardi
Kedua belas: Epistemologi Filsafat Transendent: Mulla Shadra
Ketiga belas: Epistemologi Iluminasi-Empiris: Mehdi H'airi Yazdi
Keempat belas: Epistemologi Tindakan : Muhammad Iqbal
Kelima Belas: Dialektika Filosofis
Keenam Belas: Epistemologi Integralisme Al-Farabi
Ketujuh Belas: Sintetis Burhani dan Irfani
Kedelapan Belas: Paradigma Modernisasi: Nurcholish Madjid
Kesembilan Belas: Epistemologi Historis-Struktural: Dawam Rahardjo
Kedua Puluh: Epistemologi Pribumi Sasi Islam: Abdurahman Wahid
Kedua Puluh Satu: Epistemologi Tafsir Konteporer
Kedua Puluh Dua: Epistemologi Islamisasi Pengetahuan: Naquin Al-Attas
Kedua Puluh Tiga: Islaminisasi Ilmu Pengetahuan: Al-Faruqi
Kedua Puluh Empat: Epistemologi Integrasi-Interkoneksi: Amin Abdullah
Kedua Puluh Lima: Epistemologi Ilmu Sosial Profetis (ISP): Kuntowijoyo
Kedua Puluh Enam: Diskursus Epistemologi Pra-Wahyu dan Wahyu
Kedua Puluh Tujuh: Epistemologi 165 ESQ Power: Ary Ginanjar Agustian
Epilog: Simpulan Komparatif
Bibliografi
Sekilah Tentang Penulis