Tampilkan di aplikasi

Buku Al Mawardi Prima hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Nutrisi Al-Qur'an

Untuk Buah Hatiku

1 Pembaca
Rp 27.500 40%
Rp 16.500

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 49.500 13%
Rp 14.300 /orang
Rp 42.900

5 Pembaca
Rp 82.500 20%
Rp 13.200 /orang
Rp 66.000

Saya mengirimkan sms ke 50 orang sahabat yang memiliki anak usia 10-30 tahun. Hanya 6 sahabat saja yang merespon dan memberi komentar. Pesan singkat itu berbunyi, “Dear all, apa kabar? Sharing dong.. gimana caranya mengajak anak agar khatam Al-Qur’an sebelum baligh, minimal bisa khatam di usia 10 tahun?”

Yang pertama menjawab, seorang sahabat yang bekerja di sebuah perusahaan komputer raksasa yang dulu beken dengan nama The Big Blue alias si Gajah Biru.

“Gampang, ku kirim saja dia ke Al-Azhar. Lulus SD khatam 3X.”

Sms balasan kedua datang dari Bogor. “Bunnn..., si abang baru setengah Al-Qur’an.. habis bacanya cuma satu ‘aign sehari.” Good!

Berikutnya si pemilik sekolah Islam di Depok, “Makasih ya Bun, sudah kasih ide. Akan kucoba di sekolah.” Lho, maksudku pengalamannya dalam membimbing putra-putrinya sendiri. Hehehe...

Sms selanjutnya lucu. “Mau bikin TPA ya, Mbak? Coba aja cari metodenya ke pesantren.”

Sms ke-5 dari Kepala Cabang sebuah BUMN. “Hi dear, kangen ya sudah lama nggak ketemu?? Ku kirim lewat email sharing-nya deh.” Siiip! Terima kasih Mbak Yuni Tarmidi, kisah Dhyka ketagihan khatam Al-Qur’an dan bisa khatam 2 kali di usianya yang ke-10 telah menginspirasi saya lho.

Yang ke-6 menelpon langsung dari Bandung. “Chiii..., buat apa? Lagi nulis buku lagi ya? Yang pas

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Chichi Sukardjo
Editor: Tim AMP Press

Penerbit: Al Mawardi Prima
ISBN: 9789793862675
Terbit: Februari 2016 , 125 Halaman










Ikhtisar

Saya mengirimkan sms ke 50 orang sahabat yang memiliki anak usia 10-30 tahun. Hanya 6 sahabat saja yang merespon dan memberi komentar. Pesan singkat itu berbunyi, “Dear all, apa kabar? Sharing dong.. gimana caranya mengajak anak agar khatam Al-Qur’an sebelum baligh, minimal bisa khatam di usia 10 tahun?”

Yang pertama menjawab, seorang sahabat yang bekerja di sebuah perusahaan komputer raksasa yang dulu beken dengan nama The Big Blue alias si Gajah Biru.

“Gampang, ku kirim saja dia ke Al-Azhar. Lulus SD khatam 3X.”

Sms balasan kedua datang dari Bogor. “Bunnn..., si abang baru setengah Al-Qur’an.. habis bacanya cuma satu ‘aign sehari.” Good!

Berikutnya si pemilik sekolah Islam di Depok, “Makasih ya Bun, sudah kasih ide. Akan kucoba di sekolah.” Lho, maksudku pengalamannya dalam membimbing putra-putrinya sendiri. Hehehe...

Sms selanjutnya lucu. “Mau bikin TPA ya, Mbak? Coba aja cari metodenya ke pesantren.”

Sms ke-5 dari Kepala Cabang sebuah BUMN. “Hi dear, kangen ya sudah lama nggak ketemu?? Ku kirim lewat email sharing-nya deh.” Siiip! Terima kasih Mbak Yuni Tarmidi, kisah Dhyka ketagihan khatam Al-Qur’an dan bisa khatam 2 kali di usianya yang ke-10 telah menginspirasi saya lho.

Yang ke-6 menelpon langsung dari Bandung. “Chiii..., buat apa? Lagi nulis buku lagi ya? Yang pas

Pendahuluan / Prolog

Pengantar
Mendidik buah hati untuk mencintai Al-Qur’an adalah tugas se

Daftar Isi

Sampul
Pengantar Penerbit
Ucapan Terima Kasih
Daftar Isi
     Apa Kata Duniaaa...?
     Mrs. Perfecto!
     Bunyi Keretuk...keretuk...Nan Ajaib!
     Aku Cinta Pada-Mu, Tuhan
     Ahmad Khalil, Sahabat Terpuji
     Serangkum Kiat : Mana Lebih Dulu? Telur Atau Ayam?
     Si Bunda ...

Kutipan

Apa Kata Duniaaa?
Ngebayangin punya anak sendiri? Hiiii..., serem! Mendingan pelihara anak kucing deh... atau kura-kura. Hmm..., ikan juga oke. Tapi punya anak? Punya makhluk-makhluk kecil menjengkelkan yang bisanya cuma nangis, teriakteriak, egois dan menuntut ini itu dari kita..., iihh... no way-lah yaw! Belum lagi gara-gara anak, terus aku harus berhenti kerja. Ngapain juga sekolah capek-capek kalau akhirnya harus masuk dapur, jadi gendut dan tidak cantik lagi hanya karena punya anak, mendingan nggak usah nikah sekalian.

Lihat saja Teh Nia..! Gara-gara punya anak (kembar lagi), dia membunuh karirnya yang moncer di dunia teknologi komunikasi dengan mengurus dua berandal ciliknya itu. Sungguh aku nggak habis pikir, setan mana yang merasuki IQ 128-nya dan gelar doktor (Ph.D) yang disabetnya dari salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri Uncle Sam itu, dengan memilih menjadi ibu rumah tangga. Bodoh! Mbak Lili sami mawon, juga sobatku Lita.

Waktu kutanya, “Ngapain juga berhenti kerja hanya karena punya anak, bukankah banyak tenaga kerja yang bisa diupah? Teknologi juga sudah sangat maju dan bisa membantu perempuan sebagai ibu memonitor bayinya di rumah dari kantor.”

“Ghea, memang benar teknologi saat ini begitu maju dan sangat membantu kami para ibu. Masalahnya, nuraniku tidak bisa diajak kompromi untuk tetap bekerja sambil mengurus Haikal dan Rayhan. Jadi, aku memilih bekerja di rumah mengurus si kembar. Hati teteh nggak nyaman menyerahkan Haikal dan Rayhan ke tangan orang lain. Yang penting, sebagai ibu, Teh Nia ikhlas ingin menyempurnakan memberi ASI selama dua tahun seperti firman Allah Swt dalam surah Al-Baqarah ayat 233. Kang Ridwan juga setuju seribu persen! Malah Kang Ridwan bilang, ‘Bun, Ayah mau mengajak teman-teman mendukung gerakan Kembalikan Fungsi Ibu sebagai Pendidik Pertama dan Utama, dan Fungsi Ayah sebagai Pencari Nafkah Pertama dan Utama.’ Ghea tau nggak, yang penting bersyukur..., dan teteh bersyukur diamanahi Allah Swt si kembar Haikal dan Rayhan.” Ceramah Teh Nia benar-benar membuatku pening kepala! Pakai bawa-bawa Al-Qur’an lagi. Apa bagusnya seeehh..., mengurus anak dan meninggalkan karir?