Tampilkan di aplikasi

Buku Bitread hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Tadarus The Bandung Connection

1 Pembaca
Rp 63.000 50%
Rp 31.500

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 94.500 13%
Rp 27.300 /orang
Rp 81.900

5 Pembaca
Rp 157.500 20%
Rp 25.200 /orang
Rp 126.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Berita-berita yang bermunculan di media massa dan media sosial, seolah mengurung bangsa Indonesia kembali ke dalam inferiortitas. Rasa minder yang diidap oleh bangsa terjajah. Sedikit sekali berita-berita baik yang berkembang membangkitkan rasa bangga di dada anak-anak bangsa, sehingga memunculkan semangat untuk berkarya dan berusaha menjadi bangsa yang berjaya. Catatan-catatan harian di dalam buku ini ingin mengupas sebuah helaran maha dahsyat hasil karya para pendiri bangsa Indonesia. Di kala bangsa lainnya melihat Indonesia sebagai bangsa yang baru 10 tahun merdeka, para pendiri bangsa ini tanpa ragu mengadakan pertemuan dengan perwakilan bangsa-bangsa kulit berwarna yang pertama kali di dunia: Konperensi Asia-Afrika 1955. Sebuah helaran yang mengubah cara pandang dunia terhadap diri mereka dan bangsa Indonesia. Dilihat dari sudut pandang seorang mahasiswa yang mengikuti sebuah komunitas baca di Museum Konperensi Asia-Afrika, pembaca dapat menyelami apa yang ada dalam pikirannya, menziarahi KAA 1955 dari ingatan ke jalanan, dari mata ke pena.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Pramukti Adhi Bhakti

Penerbit: Bitread
ISBN: 9786232245662
Terbit: Oktober 2020 , 104 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Berita-berita yang bermunculan di media massa dan media sosial, seolah mengurung bangsa Indonesia kembali ke dalam inferiortitas. Rasa minder yang diidap oleh bangsa terjajah. Sedikit sekali berita-berita baik yang berkembang membangkitkan rasa bangga di dada anak-anak bangsa, sehingga memunculkan semangat untuk berkarya dan berusaha menjadi bangsa yang berjaya. Catatan-catatan harian di dalam buku ini ingin mengupas sebuah helaran maha dahsyat hasil karya para pendiri bangsa Indonesia. Di kala bangsa lainnya melihat Indonesia sebagai bangsa yang baru 10 tahun merdeka, para pendiri bangsa ini tanpa ragu mengadakan pertemuan dengan perwakilan bangsa-bangsa kulit berwarna yang pertama kali di dunia: Konperensi Asia-Afrika 1955. Sebuah helaran yang mengubah cara pandang dunia terhadap diri mereka dan bangsa Indonesia. Dilihat dari sudut pandang seorang mahasiswa yang mengikuti sebuah komunitas baca di Museum Konperensi Asia-Afrika, pembaca dapat menyelami apa yang ada dalam pikirannya, menziarahi KAA 1955 dari ingatan ke jalanan, dari mata ke pena.

Pendahuluan / Prolog

Catatan Pengawal
Akhir September 2014, seorang dosen mengajak saya untuk menemani beliau menjadi narasumber diskusi di dalam sebuah kelompok baca. Pak MIF Baihaqi namanya. Ketika itu, beliau diundang untuk membahas mengenai sosok Mohammad Hatta, dari sisi psikologi, dari sisi manusianya. Bukan tanpa alasan, karena kelompok baca ini sedang “menadaruskan” buku Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta. Kegiatan semacam ini sudah dilakukan kelompok baca yang diberi nama Asian-African Reading Club (AARC) setiap Rabu sore, sejak tahun 2009.

Bukan tanpa alasan pula kenapa mereka menamakan diri Asian-African Reading Club. Karena ini ada sangkut-pautnya dengan tempat mereka menancapkan pena di dunia literasi, Museum Konperensi Asia-Afrika. Tempatnya mewah, nampak gagah, dan terasa internasional. Bersebelahan dengan Gedung Merdeka, tempat bersejarah berkumpulnya para pemimpin dari benua Asia dan Afrika merumuskan pandangan mereka terhadap perdamaian yang dibutuhkan dunia pada saat itu, di dalam konferensi rakyat kulit berwarna pertama di dunia, Konperensi Asia-Afrika 1955 (KAA 1955). Kelompok baca ini seakan-akan sebuah klub baca yang sangat besar, yang bahkan meliputi dua benua, Asia dan Afrika. Ini pikiran pertama yang muncul di benak saya saat menemani dosen mengawal diskusi Rabu sore itu.

Seperti yang saya katakan, kegiatan membaca buku yang mereka lakukan dengan cara tadarusan. Seperti membaca AlQur’an bersama-sama di bulan Ramadhan, kira-kira begitulah cara mereka mengkhatamkan sebuah buku, kalimat demi kalimat, bab demi bab. “Yang membaca dan yang mendengarkan, samasama mendapatkan pahala,” begitu kata sang Sekretaris Jenderal AARC, Adew Habtsa. Seusai menadaruskan beberapa bab, istirahat Maghrib sesaat, kemudian dilanjutkan dengan berdoa dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Menggemakan lagu kebangsaan di tempat itu sungguh luar biasa rasanya, seperti diajak mengarungi sejarah dan merasakan sendiri semangat para pendiri bangsa ini mengadakan KAA 1955. Kegiatan tadarus buku itu diakhiri dengan diskusi hangat seputar bab yang sudah dibaca sebelumnya hingga pukul 20.00. Setiap Rabu, selalu hadir narasumber yang berbeda dengan latar belakang berbeda dan keilmuan yang berbeda pula.

Entah bagaimana, sore itu tiba-tiba saya merasa jatuh cinta pada kelompok baca ini. Suasana tadarusan yang guyub terbentuk antar peserta yang hadir. Mereka berasal dari mana-mana. Ada mahasiswa, pegawai, pensiunan, siswa, guru, dosen, dan lain sebagainya. Bahkan peserta tertua berumur 80 tahun hadir mengikuti kegiatan ini. Diskusi yang santai, namun berbobot, juga memberi nilai tambah pada AARC. Inilah yang akhirnya membuat saya datang kembali setiap Rabu di Museum Konperensi AsiaAfrika, menggabungkan diri dengan kelompok baca “dua benua” itu.

Seiring waktu berjalan, Demokrasi Kita-pun khatam dan dilanjutkan dengan buku Aku Muda Kemarin Esok Hari. Buku ini berisi sebagian pemikiran H.O.S. Tjokroaminoto yang akan menjadi topik utama pada diskusi beberapa minggu selanjutnya.

Memang tidak semua bagian buku itu dibaca, hanya yang berkaitan dengan pemikiran Pak Tjokro saja. Maka, saya pikir setelah khatam buku ini, akan dilanjutkan dengan Islam dan Sosialisme, buku utama mengenai pemikiran Tjokroaminoto. Nyatanya, dewan syuro AARC berkata lain.

Perlu disinggung sedikit bahwa AARC memiliki sekelompok orang yang tergabung dalam dewan syuro yang bertugas menentukan buku apa yang selanjutnya akan ditadaruskan setelah khatam sebuah buku. Kali ini, setelah khatam buku yang berisi sedikit pemikiran Pak Tjokro itu, dewan syuro AARC memilih The Bandung Connection karya Roeslan Abdulgani.

Inilah pertama kalinya saya mengenal KAA 1955 secara intens. Berkelindan dengan untaian sejarah yang dipaparkan oleh Roeslan Abdulgani, sebagai Sekretaris Jenderal KAA 1955, seolah saya sendiri menyaksikan momen besar itu terwujud hanya terpaut 10 tahun sejak bangsa Indonesia merdeka tahun 1945. Pengalaman itu begitu dekat, bahkan saya seakan bisa ikut merasakan kekhawatiran para panitia mengundang puluhan negara dari dua benua di tengah himpitan kecaman negara-negara penjajah. Bermodalkan niat baik dan egaliter, konferensi ini ingin mengeratkan kerja sama dan perdamaian dunia. Dasasila Bandung dideklarasikan, bukan sebagai tata aturan baku, tetapi sebagai tuntunan spirit dunia yang moral force-nya besar sekali1. Seolah-olah Dasasila Bandung menjadi pancasila-nya dunia.

Pada khataman buku Demokrasi Kita, Adew Habtsa berkata sambil berkelakar, “Tuntasnya sebuah buku, bukan berarti tuntas segalanya. Tetapi awal perjalanan spiritual.” Itulah yang menginspirasi saya untuk menulis kilas balik apa yang terjadi sepanjang saya mengikuti tadarus dan diskusi AARC mengenai buku The Bandung Connection, kemudian mengunggahnya ke dalam blog2.

Kini, tulisan-tulisan itu dan beberapa tulisan lain yang berkaitan dengan pengalaman bersentuhan langsung dengan buku tersebut, saya coba hadirkan ke dalam secarik kertas agar menjangkau dan menginspirasi lebih banyak orang. Kiranya, tulisan-tulisan ini akan menjadi awal “perjalanan spiritual” itu untuk mendalami Spirit Bandung, semangat yang menggerakkan para pendiri bangsa ini untuk mengekspor kemerdekaan Indonesia ke seantero dunia.

Bandung, 4 Maret 2016 - 11 April 2017

Penulis

Pramukti Adhi Bhakti - sehari-hari bekerja sebagai desainer grafis lepas serta menjadi pemandu wisata sejarah, pendidikan, dan budaya bersama Cemara Wisata. Di sela-sela pekerjaannya, ia menyempatkan diri hadir setiap hari Rabu sore di tadarus buku Asian-African Reading Club sejak tahun 2014 sampai sekarang.

Buku yang Anda pegang ini merupakan catatan harian yang ia tulis selama mengikuti tadarus buku The Bandung Connection di komunitas tersebut. Pada tahun 2020, ia sempat menerbitkan terjemahan buku The Color Curtain: Reportase Konperensi AsiaAfrika 1955 di Bandung dan antologi buku Membaca Mohammad Yamin dan Kisah-Kisah di Balik Tadarusan Buku AARC. Tulisantulisannya dapat Anda temukan di blog pramredesign.wordpress. com dan akun instagram @pramredesign

Daftar Isi

Cover Depan
Hak Cipta
Catatan Pengawal
Daftar Isi
Ziarah Ingatan
     Roh Bandung (1)
     Roh Bandung (2)
     Roh Bandung (3)
     Roh Bandung (4)
     Anima Symbolicum
     Igama, Agama, Ugama
     Museum Bawah Tanah: Bandung Pisan
     Sejarah Kecil
     Kenapa Bandung?
     Kekerasan Seksula dan Seni Kehidupan
     Magma Bandung
     Jalur Informasi Konferensi Asia-Afrika
     The Bandung Connection: Khatam
Ziarah Jalanan
     Asia-African Student Conference
     Kondangan dan Napak Tilas
     Mereka yang berada di balik layar (1)
     Mereka yang berada di balik layar (2)
     Catatan Penggugah
     Asia-African Reading Club
Profil Penulis
Tentang Bitread
Cover Belakang

Kutipan

Igama, Agama, Ugama
Seperti biasa, seusai diskusi Asian-African Reading Club – Museum Konperensi Asia-Afrika (AARC-MKAA) setelah penutupan acara, selalu diadakan ritual berfoto bersama. Begitu pula yang terjadi pada diskusi AARC bersama Rendy Suhardiman tanggal 7 Januari 20156. “Tak terekam dalam foto, tak terekam dalam sejarah,” begitu kata Kang Adew mah. Maka, berfotolah kami dalam berbagai pose, yang kemudian segera beredar luas di jaringan media sosial dunia maya.

Sesaat setelah berfoto bersama, setiap orang sibuk memberesi barang masing-masing, termasuk sampah yang mungkin tergeletak di dalam ruang itu. Saya sendiri malah mencolek Kang Topik Mulyana untuk menanyakan beberapa hal. Inti dari yang saya tanyakan adalah tentang apa yang beliau jelaskan pada saat menjadi pembicara dalam diskusi AARC sebelumnya, mengenai istilah igama, agama, dan ugama7. Memang sih hanya sedikit yang beliau jelaskan, tapi justru yang sedikit itulah yang menjadi penting.

Melanjutkan penjelasan sebelumnya, istilah igama digunakan oleh pemeluk Hindu untuk mendeskripsikan hubungan antara rakyat dan Tuhan – khususnya para Dewa. Istilah agama dalam kepercayaan Hindu digunakan untuk menjelaskan hubungan antara rakyat dan raja. Memang, kedudukan raja dalam kepercayaan Hindu memiliki derajat yang mulia, sehingga diperlukan istilah yang berbeda dalam mendeskripsikan hubungan antara rakyat dan pemimpinnya. Sedangkan istilah ugama digunakan untuk menjelaskan hubungan antara rakyat dengan rakyat. Kita tahu bersama bahwa dalam Hindu terdapat kasta-kasta yang membedakan antara segolongan rakyat dengan segolongan rakyat lainnya. Nah, untuk mendeskripsikannya muncullah istilah ugama. Oleh karena itu, untuk mendeskripsikan hubungan antara manusia dan Tuhan, lebih tepat menggunakan istilah igama dibanding istilah agama.

Tjokroaminoto dalam banyak tulisannya, termasuk dalam Islam dan Sosialisme, banyak menggunakan istilah igama dibandingkan istilah agama. Pada saat saya menanyakan pada Kang Topik, kenapa sekarang lebih banyak digunakan istilah agama dibandingkan dengan istilah igama, beliau sendiri tidak tahu jawabannya. Kang Topik pun sedang mempelajari perubahan istilah tersebut dalam literatur bahasa Indonesia. Tampaknya akan ada banyak pendapat berbeda mengenai perubahan istilah ini