Tampilkan di aplikasi

Buku Marja hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Tahafut Al-Falasifah

Kerancuan Para Filosof

1 Pembaca
Rp 79.000 15%
Rp 67.150

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 201.450 13%
Rp 58.197 /orang
Rp 174.590

5 Pembaca
Rp 335.750 20%
Rp 53.720 /orang
Rp 268.600

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

"Setelah melihat nadi kebodohan berdenyut dalam diri orang-orang bodoh itu, saya merasa penting untuk menulis buku ini sebagai sanggahan atas para filsuf terdahulu serta eksplorasi atas kerancuan dalam keyakinan berikut inkonsistensi berbagai teori mereka dalam persoalan yang terkait dengan metafisika.

Buku ini juga akan menyingkap relung-relung terdalam dari elemen pemikiran mereka yang dapat mewujudkan suka cita kaum intelektual dan memberikan pelajaran pada para cendikiawan. Yang saya maksud di sini adalah persoalan-persoalan akidah dan pendapat-pendapat yang menjadi medan perdebatan dengan kelompok mayoritas umat Islam.—Imâm al-Ghazzâlî Inilah Tahafut al-Falasifah karya paling monumental sang Hujjah al-Islâm Imâm al-Ghazzâlî, yang telah menetapkan panggung penyerangan paling sukses terhadap legitimasi dan bahasa pertanyaan logosenterik tentang wujûd (being).

Sampai Ibnu Rusyd (520/1126-595/1198) menulis pembelaan paling brilian terhadap filsafat dalam Tahâfut at-Tahâfut, cengkeraman kutukan Al-Ghazzâlî terhadap filsafat melalui karya ini sangat menggurita. Akan tetapi, justru berbarengan dengan itu, karya ini telah menjadikan diskursus filsafat di dunia Islam saat itu, bahkan hingga kini, menjadi sehat dan penuh gairah.

Diskursus filsafat Islam khususnya, serta diskursus filsafat di dunia Islam pada umumnya, tidak mungkin melepaskan rujukannya pada salah satu dari dua karya klasik yang telah menjadi cikal bakal perkembangnnya: Hikmah al-Israq karya As-Suhrawardi ‘al-Maqtul’, serta karya yang sekarang ada di tangan Anda, Tahâfut al-Falasifah karya Imâm al-Ghazzâlî."

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Imam Al-Ghazali
Editor: Irwan Kurniawan / Mathori A Elwa

Penerbit: Marja
ISBN: 9786026297389
Terbit: Oktober 2016 , 308 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

"Setelah melihat nadi kebodohan berdenyut dalam diri orang-orang bodoh itu, saya merasa penting untuk menulis buku ini sebagai sanggahan atas para filsuf terdahulu serta eksplorasi atas kerancuan dalam keyakinan berikut inkonsistensi berbagai teori mereka dalam persoalan yang terkait dengan metafisika.

Buku ini juga akan menyingkap relung-relung terdalam dari elemen pemikiran mereka yang dapat mewujudkan suka cita kaum intelektual dan memberikan pelajaran pada para cendikiawan. Yang saya maksud di sini adalah persoalan-persoalan akidah dan pendapat-pendapat yang menjadi medan perdebatan dengan kelompok mayoritas umat Islam.—Imâm al-Ghazzâlî Inilah Tahafut al-Falasifah karya paling monumental sang Hujjah al-Islâm Imâm al-Ghazzâlî, yang telah menetapkan panggung penyerangan paling sukses terhadap legitimasi dan bahasa pertanyaan logosenterik tentang wujûd (being).

Sampai Ibnu Rusyd (520/1126-595/1198) menulis pembelaan paling brilian terhadap filsafat dalam Tahâfut at-Tahâfut, cengkeraman kutukan Al-Ghazzâlî terhadap filsafat melalui karya ini sangat menggurita. Akan tetapi, justru berbarengan dengan itu, karya ini telah menjadikan diskursus filsafat di dunia Islam saat itu, bahkan hingga kini, menjadi sehat dan penuh gairah.

Diskursus filsafat Islam khususnya, serta diskursus filsafat di dunia Islam pada umumnya, tidak mungkin melepaskan rujukannya pada salah satu dari dua karya klasik yang telah menjadi cikal bakal perkembangnnya: Hikmah al-Israq karya As-Suhrawardi ‘al-Maqtul’, serta karya yang sekarang ada di tangan Anda, Tahâfut al-Falasifah karya Imâm al-Ghazzâlî."

Pendahuluan / Prolog

Al-ghazzal: Biografi Dan Pemikirannya
ABU Hâmid al-Ghazzâlî dilahirkan pada pertengahan abad ke-5 H, bertepatan dengan tahun 450 M di Thûs, sebuah kota di Khurâsân. Tidak lama setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. Pada masa kecil, Al-Ghazzâlî hidup dalam kemiskinan. Tetapi ia mendapat bimbingan seorang sufi, yang kelak me-masukkannya ke satu sekolah penampungan anak-anak tak mampu.

Di Thûs, Al-Ghazzâlî belajar berbagai ilmu pengetahuan. Setelah itu, ia pergi ke Jurjân, kemudian ke Naisabûr, pada saat Imam Haramain “Cahaya Agama”, Al-Juwainî, menjabat sebagai kepala Madrasah Nizhâmiyyah. Di bawah asuhan Al-Juwainî ini, AlGhazzâlî mempelajari ilmu fiqh, ushûl, manthiq, dan kalâm, hingga kematian memisahkan keduanya ketika Al-Juwainî meninggal dunia.

Pada tahun 478 H, Al-Ghazzâlî keluar dari Naisabûr menuju ke Mu’askar dan ia menetap di sana sampai diangkat menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nizhâmiyyah di Baghdad pada tahun 484 H. Di tempat ini, Al-Ghazzâlî mencapai puncak prestisius dalam karir keilmuannya, sehingga kuliahnya dihadiri oleh tiga ratus ulama terkemuka.

Karena suatu persoalan, ia keluar dari Madrasah Nizhâmiyyah menuju pengasingan di padang pasir selama sembilan tahun. Dalam rentang waktu itu, Al-Ghazzâlî berkunjung ke Syâm, Hijâz, dan Mesir untuk kemudian kembali ke Naisabûr. Setelah itu, ia kembali lagi ke Thûs hingga menghembuskan nafas terakhirnya pada 14 Jumadil Akhir 505 H. Al-Ghazzâlî pergi meninggalkan alam fana ini, namun seolah ia mengucapkan kata-kata seperti yang pernah diucapkan oleh Francis Bacon, filosof Inggris (wafat tahun 1626 M), “Aku menghadapkan ruhku ke haribaan Tuhan. Meskipun jasadku dikubur dalam tanah, namun aku akan bangkit bersama namaku pada generasi-generasi mendatang serta pada seluruh umat manusia.” Al-Ghazzâlî hadir pada saat Dunia Islam diliputi silang pendapat dan pertentangan. Masing-masing kelompok, aliran, dan faksi mengklaim diri sebagai yang benar. “Masing-masing kelompok bangga dengan anutannya sendiri.”

Jika pandangan aliran-aliran yang ada tidak mungkin semuanya benar—karena masing-masing berseberangan secara diametral dan juga karena ada sabda Nabi Muhammad Saw yang menyatakan, “Umatku akan terpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang selamat darinya adalah satu golongan,” dan jika Al-Ghazzâlî amat besar perhatiannya terhadap keselamatan di akhirat, juga sangat khawatir terhadap buruknya akibat dan jeleknya tempat kembali, maka apa yang ia lakukan?

Daftar Isi

Sampul
Pengantar Cetakan Ketiga
Catatan
Al-ghazzali Biografi Dan Pemikirannya
Nilai Buku Tahafut Dari Sudut Pandang Al-ghazzli
Bismillâhir-rahmanir-rahîm
Daftar Isi
     Masalah Pertama
     Masalah Kedua
     Masalah Ketiga
     Masalah Keempat
     Masalah Kelima
     Masalah Keenam
     Masalah Ketujuh
     Masalah Kedelapan
     Masalah Kesembilan
     Masalah Kesepuluh
     Masalah Kesebelas
     Masalah Keduabelas
     Masalah Ketigabelas
     Masalah Keempatbelas
     Masalah Kelimabelas
     Masalah Keenambelas
     Masalah Ketujuhbelas
     Masalah Kedelapanbelas
     Masalah Kesembilanbelas
     Masalah Keduapuluh
Penutup
Indeks