Ikhtisar
Kajian hadis identik dengan Sahabat. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Lewat Sahabat, hadis Nabi yang keluar pada 15 abad yang lalu sampai kepada kita sekarang. Dalam bayangan umat Islam, tanpa jasa mereka mustahil hadis Nabi terjaga dan terpelihara dengan baik seperti sekarang.
Mayoritas umat Islam memandang sakral generasi Sahabat. Meski ada beberapa perilaku Sahabat yang menyimpang dari norma Kitab Suci, seperti disebut oleh Fuad Jabali, Kamaruddin Amin, dan Muhammad Zain, semua Sahabat masih dipandang sebagai panutan yang harus dicontoh oleh generasi yang datang kemudian. Masa Sahabat dianggap sebagai masa ideal yang tak tertandingi oleh masa-masa sesudahnya.
Keyakinan seperti itu telah mengakar kuat dalam ideologi mainstream umat Islam. Semua perilaku Sahabat dinilai sebagai takwil dalam lingkup ijtihad; bila benar mendapat dua pahala dan bila salah mendapat satu pahala. Akibatnya, kajian tentang Sahabat dan kaitannya dengan pelbagai perilaku negatif mereka, menurut Kamaruddin, menjadi perdebatan sirkular yang tidak berujung-pangkal. Berbeda dengan banyak kajian yang pernah ada, buku ini memberikan perspektif baru dalam melihat Sahabat, bahwa Sahabat tidaklah seindah yang dibayangkan. Ada apa dengan mereka?
Pendahuluan / Prolog
Pendahuluan
Penelitian ini ingin membantah teori ‘adâlat ash-shahâbah yang oleh mainstream ahli hadis dimaknai sebagai keterbebasan sahabat dari penyebaran hadis palsu secara sengaja. Menurut Israr Khan, ada banyak fakta yang mendukung keadilan sahabat.
Kesetiaan, ketaatan dan kesiapan sahabat untuk berkorban jiwa dan raga serta kecintaan kepada Nabi yang melebihi kecintaan kepada diri mereka sendiri memustahilkan mereka untuk berbuat bahkan sekadar berpikir dusta atas nama Nabi. Sahabat adalah penjaga Sunnah Nabi dari segala upaya pemalsuan.
Ketaatan yang disebut Israr sebagai ‘fakta’ yang menunjukkan kesetiaan sahabat ternyata berbenturan dengan fakta lain yang menunjukkan ketidaktaatan sebagian mereka terhadap Nabi. Argumentasi siap berkorban membela Nabi bertentangan dengan fakta lain yang menunjukkan upaya sebagian mereka menghindari, bahkan melarikan diri, dari medan perang.
Perilaku sebagian sahabat banyak yang bertentangan dengan petunjuk Al-Quran dan Sunnah Nabi. Walîd bin ‘Uqbah adalah contoh sahabat yang masih minum anggur.7 Walau sudah menjadi khalifah, ‘Umar bin Khaththâb masih mabuk. Bahkan di saat-saat terakhir menjelang ajalnya beliau tidak bisa meninggalkan kebiasaannya minum anggur, demikian tulis Al- Jashshash (w. 370 H).
Semua fakta di atas jelas-jelas menunjukkan perilaku sebagian sahabat (‘Umar bin Khaththâb dan Wâlid bin ‘Uqbah) yang bertentangan dengan prinsip keadilan yang dibuat ahli hadis. Namun demikian, arus mainstream masih memegang teguh doktrin warisan ini. Kaidah jarh wa ta‘dîl tidak diberlakukan surut.
Sahabat dikecualikan dari syarat ‘adâlah yang harus dimiliki seorang rawi betapapun banyak perilaku sebagian mereka yang bertabrakan dengan kriteria ‘adâlah yang telah dirumuskan. Ada cognitive dissonance dalam membaca sejarah sahabat. Ada jarak antara doktrin dengan realitas sejarah, tulis Fuad Jabali.
Perilaku sebagian sahabat (‘Umar bin Khaththâb dan Wâlid bin ‘Uqbah) ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Sejak halaman pertama sejarah, sebagian sahabat sudah penuh dengan noda hitam penyimpangan dan merah darah peperangan. Nyawa-nyawa tak berdosa dikorbankan demi syahwat politik segelintir elit sahabat. Tidak salah jika Munawir Sjadzali menyebut sahabat sebagai political animals.
Namun sayang, bagaimana menerangkan kontradiksi seperti ini kemudian dibiarkan mengambang oleh ahli hadis. Bagaimana mendamaikan penyimpangan sebagian sahabat dengan doktrin keadilan sahabat, menurut Amin, melahirkan perdebatan sirkular yang tidak berujung pangkal. Pilihan aman lebih diminati semua pihak yang terlibat dalam polemik tentang sahabat.
Dalam membahas fitnah antarsahabat, misalnya, tidak ada yang berani menyebut kubu mana yang benar. Semuanya, menurut Jabali, berujung pada konsekuensi yang sama; menggantung keputusan, menghindari label sesat, atau tuduhan Syi‘ah pencaci-maki sahabat, atau antek orientalis penghancur Islam yang halal darahnya, serta banyak tuduhan lain yang ditujukan kepada mereka yang berbeda dengan paham mainstream.
Penulis
Dr. Muhammad Babul Ulum - Penulis lahir tahun 1974 di wilayah yang dikenal dengan sebutan kota santri, Buaran, Pekalongan. Sejak kecil akrab dengan tradisi Islam tradisional. Muludan, tahlilan, haulan, tradisi yang tak pernah ia lewatkan. Bulan mulud adalah saat-saat yang paling menyenangkan. Marhaban di masjid kampung saat mahal al-qiyâm meneriakkan yâ Nabî salâm ‘alayk, thala‘a al-badru berlomba dengan suara serak bapak-bapak yang diiringi dengan terbangan adalah kenangan indah masa kecil yang takkan terlupakan.
Saat-saat indah itu tak dirasakannya lagi ketika ‘terpaksa’ harus ke Pondok Pesantren Modern. Sempat nyantri di Pondok Pesantren Pabelan (1986-1987), yang walau sebentar meninggalkan banyak kenangan yang tak terlupakan. Mandi di sungai dari aliran gunung Merapi, saat banjir bandang datang secara tiba-tiba berlarian menyelamatkan diri, tak sempat memikirkan pakaian yang akhirnya hanyut dibawa air. Dan walau makan hanya dengan tewel yang diiringi suara bebek dan ayam yang menanti ‘belas kasihan’ para santri, terasa sangat nikmat.
Daftar Isi
Sampul
Pengantar Penulis
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Rumusan Masalah
Signifikansi Penelitian
Penelitian Terdahulu
Metodologi Penelitian
Sistematika Penulisan
BAB II Sahabat Nabi
Sahabat
BAB II Hadis Nabi
Polemik Tadwîn
Pemalsuan Hadis
Otentisitas Hadis
BAB IV GEOSOSIAL POLITIK ARAB
Historiografi Arab
Jazirah Arabia
Masa Kenabian
BAB V Genesis Al-Mu'awiyat
Landasan Epistemologi
Teori Konspirasi
Otoritas Ahlulbait versus Sahabat
Aktor Intelektual
Modus Operandi
BAB VI Hadis-Hadis Al-Mu'awiyat
Fadhâ’il ‘Alî
Al-Matsâlib
Al-Manâqib
BAB VII Penutup
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Lampiran
Indeks
Tentang Penulis
Modus Operandi