Tampilkan di aplikasi

Buku Media Cendekia Muslim hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Seteru Umat

Ikhtiar Mematik HIkmah di Selingkung Seteru

1 Pembaca
Rp 67.500 15%
Rp 57.375

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 172.125 13%
Rp 49.725 /orang
Rp 149.175

5 Pembaca
Rp 286.875 20%
Rp 45.900 /orang
Rp 229.500

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Hari ini, kita sebagai umat yang satu kembali mendengar dengung seteru tanpa ujung. Seteru yang tak mampu mewujudkan satu yang dirindu. Seteru yang semakin membuat kita jauh pada ejawantah khairu ummah sebagaimana yang dijanjikan Allah dalam surat Ali Imran ayat 110. Kita tetap menjadi seteru abadi bukan hanya kala panggung kuasa ditampilkan. Tapi pada hal-hal pelik tentang soalan-soalan perbedaan yang terkadang membuat banyak rasa merasa terganjal.

Namun, hari-hari ini seteru beda itu kembali menguar, ejawantah dalam perihal-perihal lain ketika panggung kuasa menampilkan banyak wajah yang dulu berderet memanggungkan kebaikan-kebaikan serta kesungguhan mereka dalam hal membela terhadap umat. Mereka yang tegak dan kemudian memilih jalan berbeda di seberang. Menjadi catatan-catatan lain ketika kemudian mereka yang sok segalanya menderaskan caci maki dan hujatan pada ijtihad-ijtihad tak biasa mereka yang kemudian mengular menjadi ketakbiasaan di segala tempat.
Media-media kita hari ini seolah mengamini keseluruhan hikayat seteru itu. Menjadi batu untuk segera menggegaskan apa-apa yang perlu diluruskan sementara diri sendiri masih perlu diluruskan.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Aldy Istanzia Wiguna

Penerbit: Media Cendekia Muslim
ISBN: 9786026647339
Terbit: April 2019 , 154 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Hari ini, kita sebagai umat yang satu kembali mendengar dengung seteru tanpa ujung. Seteru yang tak mampu mewujudkan satu yang dirindu. Seteru yang semakin membuat kita jauh pada ejawantah khairu ummah sebagaimana yang dijanjikan Allah dalam surat Ali Imran ayat 110. Kita tetap menjadi seteru abadi bukan hanya kala panggung kuasa ditampilkan. Tapi pada hal-hal pelik tentang soalan-soalan perbedaan yang terkadang membuat banyak rasa merasa terganjal.

Namun, hari-hari ini seteru beda itu kembali menguar, ejawantah dalam perihal-perihal lain ketika panggung kuasa menampilkan banyak wajah yang dulu berderet memanggungkan kebaikan-kebaikan serta kesungguhan mereka dalam hal membela terhadap umat. Mereka yang tegak dan kemudian memilih jalan berbeda di seberang. Menjadi catatan-catatan lain ketika kemudian mereka yang sok segalanya menderaskan caci maki dan hujatan pada ijtihad-ijtihad tak biasa mereka yang kemudian mengular menjadi ketakbiasaan di segala tempat.
Media-media kita hari ini seolah mengamini keseluruhan hikayat seteru itu. Menjadi batu untuk segera menggegaskan apa-apa yang perlu diluruskan sementara diri sendiri masih perlu diluruskan.

Pendahuluan / Prolog

Seteru Umat
Alhamdulillah, atas seizin Sang Pemilik Kata, draft sederhana ini dapat terselesaikan dengan baik. Ikhtiar yang diawali dari obrolan panjang tentang perjalanan mendaki dan menafsir selingkung seteru hingga beda di tubuh umat. Perjalanan yang kemudian padanya pahatan kata ini kelak akan dikembalikan.

Menjadi pusaranpusaran sederhana yang padanya pula serangkaian ide tentang memberdayakan dan menjadikan umat sebagai khairu ummah sebagaimana termaktub dalam Q.S Ali Imran ayat 110 bisa tercapai meski diawali dengan serakan kata tanpa bentuk, serangkaian kalimat yang seringkali lucah begitu saja di sepanjang tuturan tanpa henti seiring solusi tentang persoalan-persoalan seteru dan beda di tubuh umat yang semakin beriak.

Menelusuri Hikmah Le Bon dan Makna Anggitan Aldy
Bismillâhirrahmânirrahîm

Gustave Le Bon, pemikir multidisiplin Prancis, pernah tercatat meratap sedih atas kemenangan leluhurnya. Oktober 732 Masehi, dalam pertempuran Tours, di selatan Prancis, pasukan Franka di bawah pimpinan Karl Martell berhasil memukul mundur pasukan Muslimin di bawah pimpinan Abdurrahman al-Ghafiqi. Dalam pertempuran yang di sejarah Islam disebut “Balath asy- Syuhada” itu, Abdurrahman menemui jalan syahid.

Bagi bangsa Eropa, sebagai representasi peradaban Barat, kemenangan leluhur mereka atas umat Islam merupakan capaian luar biasa. Kemenangan amat penting sebagai episode awal sebelum kelak pecah Perang Salib di Baitul Maqdis.

Edward Gibbon, sejarawan Barat, menggambarkan imbas kemenangan pasukan Martell: menghambat jatuhnya Eropa pada kurun berikutnya menjadi negeri Islam. “Membebaskan nenek moyang kita Britania begitu juga tetangga-tetangga kita dari belenggu pemerintahan dan kepercayaan Quran yang melindungi kebesaran Roma dan memperlambat kejatuhan Konstantinopel.” Sejarawan lain di Barat pernah berujar, “Andaikata hari itu pasukan Martell kalah, hari ini kita dapati orangorang di Oxford tengah mempelajari Quran.” Demikian dicatat oleh M.A. Enan (1983) dalam Decisive Moments in the History of Islam.

Lantas, apa alasan Le Bon menangisi kekalahan Muslimin dalam pertempuran Tours? Mungkin saja ia tangisi penuh suka kemenangan leluhurnya. Tapi, ia merasa ada tangisan yang jauh lebih penting dari kekalahan Muslimin. “Kemenangan Martell memperlambat majunya Eropa,” argumen Le Bon. Ya, andaikata Muslimin menang, Eropa futuh sebagai jazirah Islam, yang ini besar kemungkinan membawa pengaruh pada cara berpikir bangsa-bangsa setempat lebih beradab. Dunia pengetahuan masa itu memang milik Muslimin. Transfer pengetahuan akan diyakini hadir seiring kemenangan dan bercokolnya Muslimin di negeri leluhur Le Bon.

Apa makna penting pilihan sikap Le Bon tersebut? Kejujuran menilai. Termasuk menilai pengalaman masa lalu, sejarah. Tetap jujur tanpa membelokkan arahnya agar sesuai selera nafsu kita. Mengalihkan narasi sejarah menjadi berita penabalan kemenangan syahwat kita, padahal sesungguhnya itu satu tindakan yang meruntuhkan peradaban. Yang diperbuat Le Bon adalah tindakan rasional, hasil kumulasi membaca-mendedah-membandingkan.

Ia berani menuliskan meski, barangkali, berbeda 180 derajat dengan pendapat dan sokongan banyak orang di suku bangsanya. Tapi, ia melaju untuk tetap mengukirkan kata-kata. Menyesali sejarah tapi sebetulnya menyadarkan pengalaman baru bagi sesiapa yang membacanya dengan saksama penuh hikmah.

Dalam benaman teks, keindahan kata-kata, melakukan tindakan sebagaimana diperbuat Le Bon perlu keberanian. Tidak semata-mata kecerdasan yang dihajatkan. Membaca masa silam untuk menjadi cerminan bagi pengalaman hari ini, esok, dan lusa. Becermin pada pengalaman masa lalu yang menyuratkan kemenangan, lantas menarik kritik tajam untuk perilaku kita hari ini, jelas perlu memberikan ruang untuk bertafakur lebih.

Seperti Le Bon yang mampu menjarak dengan warta kemenangan dan memilih tajam menukik pada apa yang hilang dari raihan momen masa lalu itu. Jadi, beratnya becermin dari pengalaman masa silam itu bukan hanya pada peristiwa tragis dan melukakan, melainkan juga pada kejadian-kejadian menggembirakan.

Ringkasnya, pada setiap pengalaman masa lalu, dukakan ataupun sukakan hati ini, harus ada kesetiaan untuk objektif memetik hikmah. Menyiti perkataan Abu alib al-Makki, “hikmah merupakan karunia pertama yang Allah khususkan kepada al-hukama (para pencari hikmah).” Le Bon, seorang bukan Islam, menempuh karunia itu walau niatnya barangkali tidak sampai dalam bingkai menggapai hidayah risalah-Nya. Justru itulah, saban ada keberanian upaya menggali, mengulik telaten hikmah, yang diperbuat seorang Muslim, apatah lagi ia masih muda, merupakan satu hal menggembirakan. Melegakan jiwa ini agar paramuda Muslim tak temaram dalam larutan teks banal.

Dengan begitu, kita bisa meletakkan arti penting kulikan Kang Aldy Istanzia Wiguna dalam buku ini. Sengaja saya beberkan Le Bon, agar kita menepati konteks pentingnya buku anggitan pengusung sastra islami di komunitas epistemik Persatuan Islam. Kang Aldy mengajak kita bukan saja untuk bangkit dengan teks, seacap yang diperbuatnya di pelbagai majelis, melainkan juga menelusuri pelita sejarah, khususnya para alim negeri ini. Misalkan saja dalam menyikapi perbedaan dalam tubuh umat; satu tema yang selalu hangat. Ulasan meruah di banyak pagina buku ini tentang persatuan dan bagaimana menerima beda yang kadung menganga, kiranya bisa menjadi inspirasi kita khususnya lagi para aktivis muda Islam.

Arkian, semoga upaya Kang Aldy ini menjadi satu jariyah. Jariyah dalam kerangka membangkitkan etos berilmiah dalam beramal. Ilmu sebelum berbicara lantang dan beramal gemilang. Insyaa-Allah

Samben Library, Jumadil Awal 1440/Januari 2019

Yusuf Maulana, kurator buku-lawas,
pemahat Mufakat Firasat dan Seteru Berjamaah

Penulis

Aldy Istanzia Wiguna - Aldy Istanzia Wiguna dilahirkan di Bandung 20 Maret 1991. Pernah bekerja sebagai redaktur di Bandung Barat Pos dan kini mengajar bahasa Indonesia di Pesantren Persatuan Islam 20 Ciparay yang merupakan almamaternya. Ia tinggal di Jalan Moch Ramdan Kampung Leles RT 05/12 Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. Menulis di beberapa media daring dan buku-buku antologi. Oretannya bisa dinikmati di huruftakselesai.wordpress.com. Bisa diajak berbincang juga di facebook Aldy Istanzia Wiguna, instagram di @aldyistanzia atau via email di aldy.istanziawiguna@ gmail.com

Daftar Isi

Sampul
Ucapan Terima Kasih
Menelusuri Hikmah Le Bon dan Makna Anggitan Aldy
Daftar Isi
Fragmen 1: Amarah ‘Alim
Fragmen 2: Alir Mengalir
Fragmen 3: Berbeda Sejama’ah
Fragmen 4: Bertukar Jalan
Fragmen 5: Bila Bertanya
Fragmen 6: Dipeluk Agama
Fragmen 7: Ikhtiar Berjama’ah
Fragmen 8: Isyarat Pendengki
Fragmen 9: Mewacanakan Arah
Fragmen 10: Menegur Seteru
Fragmen 11: Mengasuh Republik
Fragmen 12: Menjadi Buih
Fragmen 13: Merakit Perahu
Fragmen 14: Mufakat ‘Alim
Fragmen 15: Patik Hikmah
Fragmen 16: Persimpangan Jalan
Fragmen 17: Segenggam Menang
Fragmen 18: Seteru Sejamaah
Fragmen 19: Suluh Republik
Fragmen 20: Tungku Ukhuwah
Fragmen 21: Sekawan Seteru
Fragmen 22: Kepada Luka
Fragmen 23: Hamka
Fragmen 24: Melayani Umat
Fragmen 25: Seteru Umat
Fragmen 26: Muhammad
Fragmen 27: Menitip Al-Quds
Fragmen 28: Kusir Penguasa
Fragmen 29: Mengoyak Madah
Fragmen 30: Seturut Umur
Bukankan Beda?
Tukang Cerita