Tampilkan di aplikasi

Buku MNC Publishing hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Dari Ang Hien Ho, Ratna Indraswari Ibrahim Hingga Hikayat Keboagung

Kumpulan Kolom Budaya

1 Pembaca
Rp 99.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 297.000 13%
Rp 85.800 /orang
Rp 257.400

5 Pembaca
Rp 495.000 20%
Rp 79.200 /orang
Rp 396.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

VOLUNTEER BUDAYA: Komentar itu dicetuskan Pak Husnun N. Djuraid setelah tahu sosok Mas Abdul Malik. Pak Husnun dulu wartawan Jawa Pos, Pemimpin Redaksi Malang Post yang pertama dan sekarang Komisaris Malang Post. Beliau selalu mengikuti tulisan Mas Abdul Malik, kemudian bertanya kepada saya tentang sosok kolumnis Malang Post yang satu ini. Mas Malik memang rela memberikan waktu dan energi untuk mengisi ruang budaya di Harian Malang Post. Tanpa imbalan apapun.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Abdul Malik

Penerbit: MNC Publishing
ISBN: 9786021778937
Terbit: Maret 2022 , 253 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

VOLUNTEER BUDAYA: Komentar itu dicetuskan Pak Husnun N. Djuraid setelah tahu sosok Mas Abdul Malik. Pak Husnun dulu wartawan Jawa Pos, Pemimpin Redaksi Malang Post yang pertama dan sekarang Komisaris Malang Post. Beliau selalu mengikuti tulisan Mas Abdul Malik, kemudian bertanya kepada saya tentang sosok kolumnis Malang Post yang satu ini. Mas Malik memang rela memberikan waktu dan energi untuk mengisi ruang budaya di Harian Malang Post. Tanpa imbalan apapun.

Pendahuluan / Prolog

Tumbu Ketemu Tutup
VOLUNTEER BUDAYA: Komentar itu dicetuskan Pak Husnun N. Djuraid setelah tahu sosok Mas Abdul Malik. Pak Husnun dulu wartawan Jawa Pos, Pemimpin Redaksi Malang Post yang pertama dan sekarang Komisaris Malang Post. Beliau selalu mengikuti tulisan Mas Abdul Malik, kemudian bertanya kepada saya tentang sosok kolumnis Malang Post yang satu ini. Mas Malik memang rela memberikan waktu dan energi untuk mengisi ruang budaya di Harian Malang Post. Tanpa imbalan apapun.

Saya kali pertama bertemu dengan Mas Malik ketika Malang Post dan Arema menggelar puncak ulang tahun di depan stasiun Kota Baru, malam hari, 5 Agustus 2013. Puncak ulang tahun diisi oleh Emha Ainun Nadjib dan Kiai Kanjeng. Kami dikenalkan oleh Marga Nurtantyo kini Pemimpin Redaksi Harian Malang Ekspres (Malang Post Group). Kisah ini juga ditulis Mas Malik pada kolom budaya Malang Post ke 40 di buku ini.

Saat itu, saya baru beberapa hari tiba di Malang, dari Sekolah Jurnalisme Kebudayaan di Bogor, bulan Juli 2013. Hasrat saya untuk lebih menghidupkan lagi halaman budaya di Malang Post sedang tinggi. Bertemu Mas Malik adalah salah satu rancangan dari Tuhan, untuk memenuhi hasrat itu. Saya jelaskan kebijakan redaksi Malang Post, dan Mas Malik menerimanya dengan ikhlas.

Maka bertemu dengan Mas Malik malam itu, menambah energi untuk menggarap halaman budaya secara serius, dengan semangat tulus dan ikhlas. Tumbu ketemu tutup.

Pada edisi pertama, saya memang tambahkan kata-kata budayawan di bawah nama Abdul Malik. Ini terinspirasi pertemuan kami kali pertama, di acara Emha Ainun Najib. Saya tersenyum saja, ketika Mas Malik menelepon dan merasa agak risih dengan kata-kata budayawan itu. Katanya, istilah itu terlalu besar buat seorang Abdul Malik. Padahal, melihat kiprahnya, Mas Malik memang layak menyandang predikat itu. Karena memang ia berkecimpung seluas-luasnya dalam kebudayaan.

Harus diakui, Mas Malik memberikan inspirasi untuk laporan jurnalistik bagi awak redaksi Malang Post. Sejak tulisan Mas Malik yang pertama terbit Minggu 24 November 2013, tentang Ang Hien Hoo. Saya bahkan kemudian menuliskannya secara berseri di Malang Post, setelah dikenalkan oleh Mas Malik dengan sumber penting Ang Hien Hoo.

Semangat dan gagasan Mas Malik menulis tokoh, aktivitas seni budaya di Malang, menggugah para wartawan Malang Post. Tokoh-tokoh seni di Malang pun, kerap jadi sasaran tulisan mendalam para wartawan. Mereka tak ingin kalah dengan seorang bernama Abdul Malik, yang bergerak lincah ke sana ke mari, wawancara dan menghasilkan tulisan setiap Minggu.

Berkat tulisan Mas Malik, pembaca bisa mengenal secara lebih dalam apa itu wayang Potehi. Ia bahkan rela datang ke Dusun Kedondong Desa Blimbing RT 1 RW 3 Kesamben Jombang. Wawancara langsung dengan Pak Manteb Sutarto dalang wayang Potehi.

Dari tulisan itu, kita semua bisa tahu bahwa jumlah dalang wayang Potehi di Jawa Timur tinggal sembilan orang. Di Surabaya lima orang, Jombang tiga orang, Tulungagung satu orang. Dari sembilan dalang ini, hanya satu dalang yang beragama Budha, delapan lainnya muslim.

Lebih lengkap baca di kolom budaya Malang Post ke-10, Wayang Potehi dan Yensen Project Indonesia. Apa yang dilakukan Mas Malik, sebenarnya juga menjadi tugas dari wartawan. Secara tak sadar pula, Mas Malik, telah menjalankan sembilan elemen jurnalisme Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.

Pertama, jurnalisme itu mengejar dan berpihak pada kebenaran (truth). Tulisan Mas Malik menyajikan secara utuh, peristiwa dan tokoh seni budaya di sekelilingnya. Kedua, jurnalisme itu loyal terhadap masyarakat dan kepentingan publik. Secara tak sadar, tulisan Mas Malik, menunjukkan loyalitasnya terhadap pelaku seni dan budaya.

Ketiga, jurnalisme itu disiplin menjalankan verifikasi, seperti yang dilakukan Mas Malik ketika harus mengejar Wayang Potehi ke Jombang, maupun mendatangkan tokoh Ang Hien Hoo yang dulu di Amerika ke Malang. Dia tak pernah puas mengejar informasi terbaru, terkait dengan tulisannya.

Keempat, independen terhadap sumber berita, tentu tak ada hubungan kepentingan antara Mas Malik dengan sumber tulisannya. Khusus ini, Mas Malik lebih memakai hati dan ketulusan dalam menulis. Misalnya ada saja yang meminta ditulis, namun jika tak nyambung alias klik dengan hati, ya tidak akan dituruti.

Kelima, harus menjadi pemantau kekuasaan, dalam beberapa tulisan, ia juga menggugat peran pemerintah terhadap para pelaku seni dan kelangsungan budaya. Mas Malik menggugatnya secara halus. Misalnya kolom budaya ke-7, “Gedung Flora” di sana ia menuliskan harapan, Kota Malang bisa memiliki gedung kesenian yang representatif. Siapa yang punya tugas itu, tentu pemerintah.

Dan hebatnya, Mas Malik, optimis gedung kesenian yang representatif itu bakal berdiri. Keenam, menyediakan forum bagi masyarakat. Tak hanya di Malang Post. Mas Malik kemudian membongkar putusnya komunikasi antara jurnalis di Malang dengan para pelaku seni budaya.

Ia membuat grup WA, Dewan Kesenian Malang. Bahkan sempat dijuluki Ketua Dewan Kesenian Maya, maksudnya dunia maya. Hehe. Dia telah menciptakan forum untuk warga pelaku seni dan budaya. Ruang ini, belakangan juga menjadi ruang kritik dan komentar para pelaku seni.

Ketujuh, berusaha keras membuat hal penting menjadi menarik dan relevan (nyambung). Pada kolom budaya ke-8, ia menuliskan pentingnya pelaku seni dan budaya membangun jejaring kebudayaan. Termasuk mendorong, pelaku seni tak ragu memakai dunia internet untuk menyebarkan kebudayaan.

Menurutnya, jejaring ini amat penting dan relevan untuk pelaku budaya. Buktinya, saat menyebarkan informasi penting tentang kegiatan budaya, ada respons dari belahan dunia yang lain. Prof Barbara Hatley dari University of Tasmania, ingin menonton ludruk Karya Budaya di Surabaya. Kedelapan, menjaga agar berita proporsional (sesuai dengan porsinya/sesuai dengan kenyataan ) dan komprehensip.

Dan kesembilan, mengutamakan hati nurani. Seperti sudah tertulis di depan, hati nurani adalah pegangan Mas Malik dalam menciptakan tulisan-tulisan baru. Ada satu elemen tambahan lagi, yakni kewajiban warga yang kian terlibat dalam produk tulisan melalui interaksi digital. Dalam hal ini, ketika menulis, Mas Malik selalu melemparnya ke jejaring sosial. Di sana ia menciptakan respons baru.

Bahkan, yang menakjubkan, pasca menulis Komik Teguh Santosa. Muncul grup atau forum yang memperjuangkan komik Indonesia. Kemudian muncul rasa tanggungjawab dan kesepakatan untuk melestarikan komik Indonesia lewat gerakan nyata. Ini semua, dimulai dari ketulusan Mas Malik untuk menulis.

Bersama Malik dan jaringan kesenian lain, Malang Post juga memiliki forum diskusi, yang diberi label Jagongan Gayeng. Dan kami telah menggelar sejumlah diskusi yang semuanya berawal dari tulisan. Aktivitas kami di Jagongan Gayeng, sepenuhnya juga didukung Dirut Malang Post Juniarno Djoko Purwanto dan Pemimpin Redaksi Malang Post R. Sri Nugroho, serta para awak redaksi Malang Post lainnya.

Terakhir, tanpa berpanjang kata lagi, saya ingin mengucapkan selamat kepada Mas Malik. Pada kolom budaya ke-40, saya masih ingat salah satu harapan yang ia tuliskan. Yakni, “Semoga suatu hari, ia bisa membukukan tulisan-tulisannya di Malang Post.” Dan seperti Anda pegang hari ini, buku itu sudah berhasil ia wujudkan.

Dan buku ini akan semakin mengabadikan dan memperpanjang aktivitas seni budaya. Seperti yang pernah Mas Malik kutip, “scripta manent verba polant”, apa yang ditulis akan abadi, sementara yang terucap akan hilang tertiup angin. Dan izinkan pula saya menambahkan kutipan dari Pramoedya Ananta Toer. Penulis Indonesia favorit saya.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah,” (Rumah Kaca, hal. 352). “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Mama, hal. 84-Anak Semua Bangsa). Mas Malik, sampai jumpa pada kolom budaya selanjutnya. Tetaplah menulis.

Penulis

Abdul Malik - Aktif sebagai penulis seni budaya. Pernah bekerja sebagai Sekretaris Redaksi Majalah Seni Budaya Kidung Dewan Kesenian Jawa Timur. Mendirikan penerbit indie Pustaka Banyumili di Mojokerto. Tulisannya dimuat di buku Komik Indonesia Masih Ada, Teguh Santosa (1942-2000), penerbit Dewan Kesenian Jawa Timur, 2015; Teguh Santosa (1942-2000), Maestro of Darkness, penerbit Media Nusa Creative, Malang (2016).

Buku Dari Ang Hien Hoo, Ratna Indraswari Ibrahim hingga Hikajat Kebonagung, adalah kumpulan kolom budaya yang ditulisnya di rubrik Sastra dan Budaya Malang Post sepanjang 2013 hingga 2014.. Kini bermukim di Desa Kebonagung Malang dan bergiat di komunitas Eklesia Prodaksen. Anggota Koalisi Seni Indonesia sejak 2015.

Daftar Isi

Sampul
Prolog: Tumbu Ketemu Tutup
Daftar Isi
Ang Hien Hoo dan Siauw Giok Bie
Mbak Ratna
Bellgombest
Wiji Thukul
Dulu, Kenapa Affandi Tak Singgah ke Trowulan?
Akulah Bisma, Laki-laki yang Selalu Tersudut di Pojok Lingkaran
Gedung Flora
Membangun Jejaring Kebudayaan
Bung Karno dan Ang Hien Hoo
Wayang Potehi dan Yensen Project Indonesia
Cupak Tanah: Spirit Tradisi dan Semangat Modern
Hel Gedableh
Live In Samin
Lila Ratih Komala
Pagi Bening Bersama Emil Sanossa
Didik ‘Meong’ Harmadi:Teater adalah proses
@Omahkayu
Pelangi Sastra Malang
Rest in Peace :Johan Budhie Sava (1964-2014)
Komunitas Seni Budaya Lembah Ibarat
Ziarah Mandar :Sebuah Pembacaan Awal
Ada GENDHIES di Kebonagung
Bermula dari Sebuah Buku
Nyanyi Sunyi Pdt Edy Sumartono (1969-2014)
Mengungkap Sastra Rasial Nasionalis
Ludruk Karya Budaya Mbeber Urip Gawe Urup
Perjalanan Musikal Redy Eko Prastyo Bersama Leo Kristi
Saiful Hadjar, (Tak) Lelah Mengucap Selamat Pagi Indonesia
Membaca Karya Ratna Indraswari Ibrahim
Kapal Terbang dari Bantal
Goe’s Ngalam (Goegah Semangat Ngalam)
Sepotong Kisah Pak Frans Edward Klavert
Padepokan Pak Susilo di Kebonagung
Mbah Kadam,Maestro Ludruk yang Bersahaja
Wawancara dengan Dyah Mayangsari :
Moehammad “Lek Boss” Sinwan dan 30 Tahun Teater IDEOT
Totok Suprapto,Ketua Paguyuban Arek Ludruk Malang (PALMA):“Saya Bersyukur Menjadi Seniman Ludruk”
Hikajat Kebonagung
Dari Ang Hien Hoo,Ratna Indraswari Ibrahim hingga Hikajat Kebonagung
Epilog: Berlari Mengejar Gagasan
Riwayat Tulisan
Biodata Penulis