Tampilkan di aplikasi

Buku Peneleh hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

2024: Hijrah untuk Negeri

Kehancuran atau Kebangkitan? Indonesia dalam Pusaran Peradaban

1 Pembaca
Rp 183.500 15%
Rp 155.975

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 467.925 13%
Rp 135.178 /orang
Rp 405.535

5 Pembaca
Rp 779.875 20%
Rp 124.780 /orang
Rp 623.900

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Memang, dampaknya, taraf hidup di Barat meningkat kemakmurannya, tidak di Timur, luar biasanya perkembangan sains teknologi, jaminan pendidikan meningkat drastis. Lawrence Smith mengatakan hal itu adalah hak Barat, bukan hak Timur. Karena, atas nama modernisasi lebih baik tidak melakukan pergerakan melakukan peningkatan kapasitas kemanusiaan menuju kemakmuran di semua wilayah di dunia, cukuplah mereka yang sedang dalam situasi “the most impoverished, dangerous, and depressing on Earth” diberi improvisasi aksi sosial atas nama kemanusiaan, tidak lebih dari itu. Fukuyama mengatakan sebagai simbol kemenangan Liberalisme dan Demokrasi Liberal, dan Barat adalah pemegang sah status sosial Manusia Terakhir di muka bumi. Tetapi, kemakmuran ternyata juga dibarengi dengan kehancuran moralitas seperti bencana kebebasan LGBT - lesbong hombreng, meningkatnya kejahatan, aborsi, masifikasi penggunaan narkotika, serta kejahatankejahatan lainnya, yang melejit melampaui dunia Timur.

Bukan hanya itu, institusi inklusif ekonomi dan politik yang digadang-gadang Acemoglu dan Robinson berbasis demokrasi liberal-nya Fukuyama di Barat, diungkapkan Fukuyama sebagai realitas paling bobrok, birokrasi sebagai simbol institusi inklusif adalah pusat segala kebobrokan menyebabkan pembusukan politik, political decay.

Masalah kemakmuran, sekali lagi yang ada di benak Barat, hanyalah kemakmuran berbasis materialisme, tidak lebih. Maka, membincangkan peradaban yang dilakukan di sepanjang buku ini bukan yang seperti itu, tetapi lebih dan bahkan melampaui kekeringan intelektual semacam itu.

Kemakmuran seharusnya, sebagaimana saya yakini, adalah bagian dari integralitas berjiwa Langit untuk memberikan yang terbaik bagi umat, dan setiap manusia maupun masyarakat di dalamnya, memiliki hak, keinginan, kebersamaan yang sebenarnya, serta kebaikan yang perlu didakwahkan kepada siapapun untuk mencapai umatan wahidah sekaligus wasathan, umat yang utama, sekaligus umat yang sejahtera seiring sejalan. Tetapi, sulit sekali menjelaskan bahwa idealisme Islam dan kearifan Nusantara yang telah menjelma dalam ruang sejarah Keindonesiaan seperti sekarang ini bila tidak diawali dengan penjelasan runtut akan kesalahan paradigmatik dalam memahami realitas, sejarah, dunia, dan kemanusiaan itu sendiri. Apalagi bila itu sudah dipenjara dalam kenyataan pikiran dan laku pragmatisme ilmiah, materialisme, liberalisme dan sekularisme yang terangkum dalam ruang kesejarahan tanpa peran Tuhan sama sekali di dalamnya, Deus Absconditus, atau lebih lungrah bila Tuhan dipahami hanyalah sebagai mesin raksasa tak nampak bermekanisme otomatis atas kerja dan pengaturan yang terdapat di alam semesta, Gaia, dan dengan demikian alam semesta berjalan sebagaimana adanya. Tuhan tidak dipahami sebagai Wujud Ketuhanan sebagai Yang Satu, Maha Pencipta, Maha Pengasih, Maha Pemurah, Maha Kuasa, Maha Melakukan Segala Sesuatu, Maha Meliputi, Maha Hadir di setiap aktivitas, dan Mahanya Maha di seluruh alam semesta termasuk dalam diri maupun peradaban manusia

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Aji Dedi Mulawarman
Editor: Ari Kamayanti

Penerbit: Peneleh
ISBN: 9786027419742
Terbit: April 2022 , 402 Halaman










Ikhtisar

Memang, dampaknya, taraf hidup di Barat meningkat kemakmurannya, tidak di Timur, luar biasanya perkembangan sains teknologi, jaminan pendidikan meningkat drastis. Lawrence Smith mengatakan hal itu adalah hak Barat, bukan hak Timur. Karena, atas nama modernisasi lebih baik tidak melakukan pergerakan melakukan peningkatan kapasitas kemanusiaan menuju kemakmuran di semua wilayah di dunia, cukuplah mereka yang sedang dalam situasi “the most impoverished, dangerous, and depressing on Earth” diberi improvisasi aksi sosial atas nama kemanusiaan, tidak lebih dari itu. Fukuyama mengatakan sebagai simbol kemenangan Liberalisme dan Demokrasi Liberal, dan Barat adalah pemegang sah status sosial Manusia Terakhir di muka bumi. Tetapi, kemakmuran ternyata juga dibarengi dengan kehancuran moralitas seperti bencana kebebasan LGBT - lesbong hombreng, meningkatnya kejahatan, aborsi, masifikasi penggunaan narkotika, serta kejahatankejahatan lainnya, yang melejit melampaui dunia Timur.

Bukan hanya itu, institusi inklusif ekonomi dan politik yang digadang-gadang Acemoglu dan Robinson berbasis demokrasi liberal-nya Fukuyama di Barat, diungkapkan Fukuyama sebagai realitas paling bobrok, birokrasi sebagai simbol institusi inklusif adalah pusat segala kebobrokan menyebabkan pembusukan politik, political decay.

Masalah kemakmuran, sekali lagi yang ada di benak Barat, hanyalah kemakmuran berbasis materialisme, tidak lebih. Maka, membincangkan peradaban yang dilakukan di sepanjang buku ini bukan yang seperti itu, tetapi lebih dan bahkan melampaui kekeringan intelektual semacam itu.

Kemakmuran seharusnya, sebagaimana saya yakini, adalah bagian dari integralitas berjiwa Langit untuk memberikan yang terbaik bagi umat, dan setiap manusia maupun masyarakat di dalamnya, memiliki hak, keinginan, kebersamaan yang sebenarnya, serta kebaikan yang perlu didakwahkan kepada siapapun untuk mencapai umatan wahidah sekaligus wasathan, umat yang utama, sekaligus umat yang sejahtera seiring sejalan. Tetapi, sulit sekali menjelaskan bahwa idealisme Islam dan kearifan Nusantara yang telah menjelma dalam ruang sejarah Keindonesiaan seperti sekarang ini bila tidak diawali dengan penjelasan runtut akan kesalahan paradigmatik dalam memahami realitas, sejarah, dunia, dan kemanusiaan itu sendiri. Apalagi bila itu sudah dipenjara dalam kenyataan pikiran dan laku pragmatisme ilmiah, materialisme, liberalisme dan sekularisme yang terangkum dalam ruang kesejarahan tanpa peran Tuhan sama sekali di dalamnya, Deus Absconditus, atau lebih lungrah bila Tuhan dipahami hanyalah sebagai mesin raksasa tak nampak bermekanisme otomatis atas kerja dan pengaturan yang terdapat di alam semesta, Gaia, dan dengan demikian alam semesta berjalan sebagaimana adanya. Tuhan tidak dipahami sebagai Wujud Ketuhanan sebagai Yang Satu, Maha Pencipta, Maha Pengasih, Maha Pemurah, Maha Kuasa, Maha Melakukan Segala Sesuatu, Maha Meliputi, Maha Hadir di setiap aktivitas, dan Mahanya Maha di seluruh alam semesta termasuk dalam diri maupun peradaban manusia

Pendahuluan / Prolog

Indonesia Di “Ruang” Dunia Menjelang 2024
Selama setahun ini (2015-2016) saya melakukan perjalanan di lebih 30 kota di Indonesia di berbagai pulau, mulai dari Sumatera, ke pulau di seberangnya, Kalimantan, tak terhitung di Jawa mulai ujung barat sampai Madura, menyeberang ke Bali, dan Nusa Tenggara Barat, Sulawesi hingga Ambon, Maluku. Hampir di setiap kota yang terkunjungi tersebut, selalu saja ketertarikan terhadap kebudayaan setempat menyeruak ke permukaan, terutama keingintahuan saya mengenai kehidupan mereka yang luar biasa keberagamannya. Begitupula pada beberapa tahun belakangan, antara 2017-2021 meluas ke Sumbawa, Papua, dan berbagai kota di Jawa ketertarikan tak pernah padam.

Satu hal penting, apa yang terdapat di ruang-ruang kedalaman batin mereka sepertinya selalu saja dapat saya nikmati, termasuk kehadiran apapun yang muncul dalam kesehariannya. Di sana sini memang terkadang terucap kegalauan terhadap kehidupan mereka dan sekitarnya, mulai dari tidak becusnya pemerintah kota/kabupaten (apalagi pusat) menangani masalah sosial, ekonomi, pendidikan, serta kesejahteraan masyarakatnya, salah urus program, tumpang tindih, tak sinkronnya antar dinas, hingga korupsi para aparat negara dalam menangani pembangunan. Tak pelak pula kehadiran saya tetap ditanggapi dengan keramahan, senyuman, keceriaan, bahkan pun itu terjadi pula pada saat berada di jamuan makan di rumah maupun di warung, dari yang sederhana sampai yang high class. Saya jadi tak habis pikir, di mana ya itu kegagalan negeri ini menangani kemakmuran, atau memang negara tidak perlu atau memang tak pernah hadir, sehingga cukuplah masyarakat menyelesaikan sendiri masalah mereka? Sepertinya ada jeda “karep” atau keinginan antara negara dan rakyatnya.

Di satu sisi, negara memahami kemakmuran melalui kondisi perekonomian dalam negeri dilihat dari perkembangan global, pertumbuhan ekonomi, interest rate secara agregat, pembangunan infrastruktur, meningkatnya ekonomi dari sisi industrialisasi (bahkan tidak penting itu berorientasi pada konsumtif atau produktif ataupun kemampuan lokal domestik berbanding dengan impor bahan baku jadi setengah jadi) yang makin banyak dikembangkan. Sampai-sampai, terutama kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Banjarmasin, Jogja, Semarang, apalagi kota-kota yang sedang tumbuh seperti Gorontalo, Palu, Bima, Mataram, dan lainnya - dikejarnya simbolisasi modernisasi kota berdasarkan ukuran makin banyaknya Mall, menggantikan pasar tradisional, berdirinya hotel-hotel bintang tiga sampai lima, berlomba-lombanya pemerintah daerah serta pusat membangun gedung perkantoran mereka, dan lainnya.

Pernah suatu waktu saya pulang kampung ke Tenggarong, melewati daerah Loa Janan sampai masuk ibukota. Sepanjang Loa Janan tersebar aktivitas industri eksploitasi batubara di kiri jalan. Sedangkan di kanan jalan, terdapat tongkang-tongkang yang siap membawa batu bara melalui Sungai Mahakam. Sebagai penghubung, terjulur belalai-belalai conveyor dari kiri ke kanan jalan sehingga bila kita melewati jalanan maka rasanya seakan masuk di terowongan mekanis terbuka. Di sela-sela, rumah-rumah gubuk berjajar sepanjang sungai sampai mendekati ibukota. Memasuki kota, di seberang kiri jalan berjajarlah bangunan megah perkantoran kabupaten Kutai Kartanegara. Asyik juga melihat tampilan warnawarni seperti itu

Penulis

Aji Dedi Mulawarman - Forum Dosen Ekonomi dan Bisnis Islam atau FORDEBI adalah wadah bagi dosen dan perguruan tinggi di Indonesia untuk bekerja sama mengembangkan kurikulum, SDM, dan riset di bidang ekonomi, manajemen, dan akuntansi syariah.

Daftar Isi

Cover
Halaman Pembuka
Daftar Isi
Bab 1 Indonesia Di “Ruang” Dunia Menjelang 2024
     1.1. Pengantar untuk Memotret Dunia Kita
     1.2. Apa itu Negara Maju? Apa itu Kemakmuran?
     1.3. Kesalahan Asumsi “Apa itu Negara Maju” dan Dampaknya di Tahun 2024
     1.4. Perusahaan Multi Nasional Pemain Utama Bisnis Internasional
     1.5. Korporatokrasi: Kritik atas Keberadaan Perusahaan Multi Nasional
Bab 2 Melihat Dunia Dari Kaca Mata(Kritis) Alternatif
     2.1. Pandangan Dunia Materialisme
     2.2 Pandangan Dunia Melampaui Materi
     2.3 Adakah Titik Temu Materialisme dan Kehancuran Moralitas?
Bab 3 Melampaui Kemakmuran Materi Mendorong Religiositas Berkebudayaan
     3.1 Keluar dari Tesis Kemakmuran Institusional
     3.2 Hancurnya Peradaban: Belajar dari Jared Diamond
     3.3 Bangunan Peradaban Menurut Ibn Khaldun
     3.4. Adakah Jalan Lain?
Bab 4 Dramaturgi Dan Subhat Komunal Negeri: Di Mana Manusia Indonesia Dan Kebudayaan?
     4.1 Jejaring Gagap Kebudayaan
     4.2 Menelanjangi Realitas Menelusuri Jejak Manusia Indonesia
     4.3 Manusia Indonesia yang Mana?
Bab 5 Melacak Ruh Kearifan Sejarah: Dari Peradaban Islam Menuju Nusantara
     5.1 Siklus 100 Tahun Peradaban
     5.2 Melacak Ruh Kebangkitan Islam: Dari 624Sampai 1324
     5.3. Kearifan Islam di Nusantara
Bab 6 Hijrah Untuk Negeri:Konstruksi Peradaban Menuju 2024
     6.1 Konstruksi Peradaban, sebuah Kemustian Sejarah
     6.2 Perlukan Hijrah Negeri?
     6.3 Mengayunkan Hijrah Peradaban melalui Kebudayaan Bermarwah Masjid
     6.4 Terminal Sementara: Hijrah Untuk Negeri Menuju 2024
Daftar Pustaka
Tentang Penulis