Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Mosaik Cenderawasih

Pembangunan dan Kesejahteraan di Tanah Papua

1 Pembaca
Rp 110.000 30%
Rp 77.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 231.000 13%
Rp 66.733 /orang
Rp 200.200

5 Pembaca
Rp 385.000 20%
Rp 61.600 /orang
Rp 308.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Buku Mosaik Cendrawasih: Pembangunan dan Kesejahteraan menganalisis secara komprehensif kompleksitas persoalan pembangunan di Papua. Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang diberlakukan pada November 2001 merupakan salah satu upaya transformasi konflik untuk mengubah pendekatan keamanan dengan pendekatan pembangunan dan kesejahteraan melalui cara-cara afirmatif berlandaskan prinsip perlindungan, pemihakan, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua (OAP). Meskipun Otsus berjalan hampir dua dekade, tingkat kesejahteraan OAP yang menjadi target utama pembangunan belum tercapai secara merata, bahkan indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dan Papua Barat masih berada di bawah rata-rata nasional. Potret marjinalisasi, diskriminasi, dan bentuk-bentuk represi masih sangat mudah ditemui di Papua. Papua yang sehat, cerdas, dan sejahtera secara menyeluruh masih memerlukan waktu panjang, apalagi bila elite politik (Pusat dan Daerah) tidak berkomitmen penuh untuk mengutamakan kebutuhan dasar masyarakat. Peran kelompok milenial Papua menjadi harapan baru dalam pembangunan Papua di masa depan dan menjadi subjek dalam proses "Papua Membangun". Dengan paradigma ini generasi muda Papua dimotivasi untuk berperan lebih aktif. Buku ini merupakan pemutakhiran Papua Road Map (2009 dan 2017) yang difokuskan pada aspek pembangunan ekonomi dengan memperhatikan korelasinya dengan aspek perdamaian dan kemanusiaan. Rancangan pembangunan Papua yang ideal harus bersifat inklusif dan berkelanjutan serta bebas dari nuansa dan praktik kekerasan. Dengan demikian, pembangunan Papua dapat menghasilkan kesetaraan (equality) dan keadilan (equity/justice) bagi masyarakat Papua. Pendekatan pembangunan Papua dapat dimulai dengan memperbaiki kondisi hari sebagaimana sekuen di dalam buku road map yang menjadi rujukan utama, yakni negotiating the past, improving the present, and securing the future.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Adriana Elisabeth / Cahyo Pamungkas / Harry Seldadyo / Rosita Dewi / Septi Satriani / Aisah Putri Budiatri
Editor: Adriana Elisabeth

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786024339944
Terbit: Maret 2021 , 360 Halaman










Ikhtisar

Buku Mosaik Cendrawasih: Pembangunan dan Kesejahteraan menganalisis secara komprehensif kompleksitas persoalan pembangunan di Papua. Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang diberlakukan pada November 2001 merupakan salah satu upaya transformasi konflik untuk mengubah pendekatan keamanan dengan pendekatan pembangunan dan kesejahteraan melalui cara-cara afirmatif berlandaskan prinsip perlindungan, pemihakan, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua (OAP). Meskipun Otsus berjalan hampir dua dekade, tingkat kesejahteraan OAP yang menjadi target utama pembangunan belum tercapai secara merata, bahkan indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dan Papua Barat masih berada di bawah rata-rata nasional. Potret marjinalisasi, diskriminasi, dan bentuk-bentuk represi masih sangat mudah ditemui di Papua. Papua yang sehat, cerdas, dan sejahtera secara menyeluruh masih memerlukan waktu panjang, apalagi bila elite politik (Pusat dan Daerah) tidak berkomitmen penuh untuk mengutamakan kebutuhan dasar masyarakat. Peran kelompok milenial Papua menjadi harapan baru dalam pembangunan Papua di masa depan dan menjadi subjek dalam proses "Papua Membangun". Dengan paradigma ini generasi muda Papua dimotivasi untuk berperan lebih aktif. Buku ini merupakan pemutakhiran Papua Road Map (2009 dan 2017) yang difokuskan pada aspek pembangunan ekonomi dengan memperhatikan korelasinya dengan aspek perdamaian dan kemanusiaan. Rancangan pembangunan Papua yang ideal harus bersifat inklusif dan berkelanjutan serta bebas dari nuansa dan praktik kekerasan. Dengan demikian, pembangunan Papua dapat menghasilkan kesetaraan (equality) dan keadilan (equity/justice) bagi masyarakat Papua. Pendekatan pembangunan Papua dapat dimulai dengan memperbaiki kondisi hari sebagaimana sekuen di dalam buku road map yang menjadi rujukan utama, yakni negotiating the past, improving the present, and securing the future.

Pendahuluan / Prolog

Kata pengantar
Papua identik dengan kerumitan dan kekerasan. Kompleksitas persoalan dan sumber konflik Papua ditandai dengan multikepentingan yang cenderung saling berkorelasi. Para aktor berperan dan secara praktis saling memanfaatkan demi tujuan politik dan ekonomi atau yang lainnya. Sebagian cara untuk mendapatkan kepentingan juga dilakukan dalam bentuk manipulasi, pemaksaan, perampasan, dan intimidasi, sehingga pendekatan kepada Papua lebih dikenal represif daripada persuasif. Sejak Undang-Undang Otonomi Khusus Papua diberlakukan pada November 2001, pendekatan pembangunan dan kesejahteraan diutamakan dengan prinsip afirmasi melalui perlindungan, pemihakan, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua. Namun demikian, kesan kekerasan dan repersif tidak bisa hilang dari ingatan dan narasi pemberitaan mengenai Papua.

Kompleksitas masalah dan resolusi konflik Papua dipengaruhi oleh pola pikir yang dikotomis, kontras, dan paradoks. Sudut pandang yang ‘hitam putih’ pada satu sisi dan pemahaman yang terlalu umum di sisi yang lain. Transformasi konflik belum diupayakan secara maksimal untuk mengubah potensi kekerasan menjadi kekuatan yang lebih positif, seperti pendekatan dialog untuk mengurangi kesenjangan komunikasi dan untuk membangun kembali rasa saling percaya antarpara pihak yang berkonflik. Selain, di dalam sejarah sosial masyarakat Papua, nilai toleransi antaragama, ras dan etnis telah lama dilakukan sebagai bentuk kearifan lokal. Hal ini merupakan modal sosial yang dapat menjamin relasi sosial agar tetap harmonis antarwarga masyarakat yang hidup di Tanah Papua. Modal sosial Papua adalah kontribusi positif dalam demokrasi dan masyarakat Indonesia yang sangat beragam.

‘Jakarta dan Papua’ seakan selalu bertentangan. Jarak budaya dan kebiasaan yang berbeda membuat kesalahpahaman meluas, demikian pula dalam menginisiasi resolusi konflik seperti menemui jalan buntu. Pengalaman ketidakadilan dan perasaan tidak dimengerti tumbuh dan terpelihara hingga membentuk ingatan penderitaan secara kolektif dari generasi ke generasi. Hal itu mengakibatkan, kebijakan dan program nasional kerap dicurigai sebagai cara untuk menguasai kembali Papua, termasuk meniadakan eksistensi orang Papua di tanahnya sendiri. Dalam jangka panjang, kondisi ini menjadi trauma, kemarahan dan dendam. Ucapan bernada rasis dan diskrimi natif sangat mudah mengusik identitas Papua. Sebaliknya, sebutan kolonialis dan imperalis terhadap Pemerintah Indonesia sering terdengar karena anggapan sekaligus realita yang menunjukkan perilaku negara yang membiarkan siklus kekerasan terus berlangsung di Tanah Papua. Nuansa kekerasan seakan menjelma menjadi model komunikasi yang normal dalam keseharian, selain stigma separatis terhadap Papua terus melekat sampai saat ini. Kondisi ini bukan hanya tidak sehat, namun terutama sangat tidak adil bagi generasi muda Papua sebagai agen perubahan yang bertanggung jawab membangun masa depan yang lebih sejahtera, aman dan stabil. Sementara pada saat yang sama, generasi emas Papua harus juga mampu mengatasi trauma masa lalu.

Pemutahkiran buku Papua Road Map ini difokuskan aspek pembangunan dan kesejahteraan dengan strategi penyelesaian masalah yang tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara yang sama, misalnya kebijakan dan rancangan pembangunan Papua harus memperhatikan prinsip non-kekerasan, inklusif dan berkelanjutan, sehingga pembangunan dapat menghasilkan kesetaraan (equality) dan keadilan (equity/justice) bagi masyarakat Papua. Prinsip-prinsip ini harus tergambar dalam rencana strategis nasional yang akan dilaksanakan di Tanah Papua, baik dalam kerangka Otonomi Khusus (Otsus) maupun dalam kerangka yang lain. Dari sudut pandang sosial dan ekonomi, membangun Papua harus memperhatikan tiga kunci, yaitu kebijakan pro Papua, pembangunan berbasis budaya lokal, dan kesejahteraan fisik dan non-fisik. Oleh karena itu, pemahaman dan cara pandang antara masyarakat Papua dan elite di pusat dan daerah terhadap pembangunan Papua yang disinergikan, sehingga Papua menjadi subjek atau pelaku dan penentu arah pembangunan daerahnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan dasar masyarakat, dan juga memenuhi rasa keadilan.

Sebagaimana dituliskan di dalam Papua Road Map, masalahmasalah di bidang pendidikan dan kesehatan di Tanah Papua belum mengalami kemajuan secara kualitas, padahal dana Otsus terus digulirkan ke Papua (dan Papua Barat) sejak 2002. Selain masalah kualitas pelayanan publik, topografi Papua, masih menjadi kendala, sehingga pelayanan pendidikan dan kesehatan belum sepenuhnya menjangkau masyarakat di wilayah pedalaman. Kondisi ini juga dipersulit dengan persebaran penduduk yang tidak merata di seluruh Papua, khususnya sebagian orang asli Papua (OAP) hidup dan tinggal di pedalaman. Anggaran pembangunan sebagian terserap untuk membiayai operasional birokrasi, termasuk untuk mendanai daerah-daerah pemekaran di Tanah Papua. Persoalan lain yang relatif sulit dimengerti adalah mengenai model kepemimpinan daerah, kemudian juga bagaimana hubungan, koordinasi dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah di Papua dan Papua Barat? Sejauhmana para pelaksana pembangunan di daerah memiliki kompetensi dan komitmen untuk melayani masyarakat Papua? Persoalan lain adalah sejauhmana para pendatang memahami kebudayaan dan nilai adat Papua? Sederet pertanyaan ini kerap disampaikan di dalam berbagai diskusi. Namun semua itu merupakan tanda bahwa membangun Papua yang sejahtera dan aman memerlukan waktu yang sangat panjang, apalagi bila elite politik tidak memiliki komitmen untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya.

Sejak 2015, Pemerintah Pusat terus merealisasikan pembangunan infrastruktur di Tanah Papua. Proyek Trans Papua berhasil menyambung transportasi antarkabupaten/kota dan provinsi. Bukan hanya jalan untuk mendukung pemerataan pelayanan publik (pendidikan dan kesehatan) bagi warga Papua, namun jalan, jembatan dan pelabuhan juga membuka keterisolasian Papua dari berbagai aktivitas. Papua tidak bisa lagi menolak siapa saja yang ingin berkunjung ataupun bekerja di Tanah Papua, bahkan hampir di setiap sudut Papua terdapat pemukiman pendatang. Hal ini menjadi masalah baru yang memengaruhi kehidupan sosial budaya orang Papua yang semakin terbuka dalam berinteraksi dengan para pendatang. Bagi orang Papua, perubahan ini mengancam kelestarian lingkungan dan kehidupan orang Papua, karena alam adalah sumber hidup masyarakat yang menyediakan sumber daya alam untuk kebutuhan sehari-hari. Demi kepentingan pembangunan dan investasi (khususnya di sektor tambang, kehutanan dan perkebunan), infrastruktur konektivitas diasumsikan tidak menguntungkan bagi masyarakat, sebaliknya untuk mempermudah akses jalan bagi perusahaan sampai ke kampung-kampung.

Buku Mosaik Cenderawasih: Pembangunan dan Kesejahteraan di Tanah Papua membahas peran generasi milenial Papua di bidang ekonomi dan pembangunan. Secara demografi, generasi muda bukan hanya menjadi harapan bagi masa depan Papua, namun mereka sangat berpotensi berkembang di berbagai bidang, khususnya ekonomi dan ekonomi kreatif. Pengembangan potensi generasi muda Papua merupakan bagian dari pembangunan sumber daya manusia (SDM) Papua yang lebih berdaya saing. Para pemimpin di level daerah dan pusat perlu berperan lebih aktif dalam mendukung pengembangan SDM Papua di bidang ekonomi, sehingga alternatif lapangan pekerjaan bagi generasi muda Papua bukan lagi terbatas pada bidang politik dan pemerintahan atau birokrasi. Satu tantangan bagi generasi milenial Papua adalah menjaga harmonisasi nilai tradisional dan modern. Setiap peradaban memiliki jaman dan waktunya sendiri, keduanya tidak dapat dibandingkan, namun perlu diselaraskan untuk kebaikan bersama. Mosaik adalah kumpulan keping-keping yang terserak. Meskipun buku ini tidak memberikan gambaran menyeluruh mengenai persoalan pembangunan dan kesejahteraan di Tanah Papua, setidaknya para pembaca dan pemerhati dapat mulai memikirkan model pembangunan yang lebih sesuai bagi Papua. Namun kemajuan daerah juga ditentukan oleh masyarakat Papua, sehingga paradigma baru pembangunan harus menjadi ‘Papua membangun’ bukan sekadar membangun di Tanah Papua.

Depok, 20 Agustus 2020
Dr. Adriana Elisabeth
Editor

Penulis

Adriana Elisabeth - Lahir di Jakarta pada 1963. Menyelesaikan program S3 dan lulus dari Department of History and Politics, University of Wollongong, New South Wales, Australia pada 2008. Karir sebagai peneliti dimulai di Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P - LIPI) pada 1989. Adriana adalah Koordinator Tim Kajian Papua di LIPI pada 2004-2006. Selanjutnya sejak 2007, menjadi anggota tim sampai sekarang. Sejak 2016, Adriana menjadi dosen program S2 jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pelita Harapan. Dia juga menjadi koordinator Jaringan Damai Papua untuk Jakarta (2019-2022), anggota Dewan Pakar Vox Populi Institute Indonesia (Vox Point) untuk isu Papua, dan anggota Komisi Papua PGI. Alamat email: adrianaelisabeth56@gmail.com
Cahyo Pamungkas - Profesor Riset bidang Sosiologi Umum pada Pusat Penelitian Kewilayahan (P2W) - LIPI, dikukuhkan pada 2020. Sejak 2003, ia bekerja sebagai peneliti pada P2W-LIPI, yang sebelum 2019 bernama Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (PSDR-LIPI). Pada 2006, mendapatkan beasiswa Asian Public Intellectual Fellowships dari the Nippon Foundation untuk melakukan penelitian mengenai the Effectiveness of Autnomous Regions in Muslim Mindanao dan the Administrative Center of the Southern Border Provinces of Thailand in coping with separatism. Cahyo menamatkan program doktoral dalam bidang ilmu sosial pada Faculty of Social and Behavorial Sciences, Radboud University Nijmegen, Belanda, pada 2015, dengan beasiswa dari Dutch Organization for Scientific Research (NWO). Kajian dan penelitiannya di LIPI mengenai kelompok-kelompok minoritas agama dan etnik di Indonesia Bagian Timur dan AsiaPasifik, terutama kajian Papua.
Harry Seldadyo - Menyelesaikan pendidikan sarjana ekonomi pertanian dan sumber daya di Institut Pertanian Bogor, sebelum menempuh pendidikan magister ekonomi di Universitas Indonesia, dan selanjutnya master of art di Erasmus University (IISS), Belanda. Pendidikan doktor pada bidang ekonomika diperolehnya di University of Groningen, Belanda. Saat ini Harry Seldadyo mengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unika Atma Jaya, Jakarta, selain juga sebagai peneliti di SDGs Anayltics, di fakulltas yang sama. Harry Seldadyo aktif sebagai penasihat dan konsultan pembangunan di banyak lembaga nasional dan internasional.
Rosita Dewi - Peneliti di Pusat Penelitian Politik (P2P) - LIPI sejak tahun 2005. Ia menjadi anggota Tim Kajian Papua LIPI sejak tahun 2005 hingga sekarang. Ia menjadi salah satu penulis Buku Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present dan Securing the Future yang diterbitkan pada tahun 2009. Ia memperoleh gelar Doctor of Areas Studies dari Universitas Kyoto pada tahun 2017 dengan disertasi berjudul Adat Recognition in Merauke Intergrated Food and Estate in Papua, Indonesia. Terbitan terakhir antara lain: Gaining Recognition Through Participatory Mapping? The Role of Adat Land in the Implementation of the Merauke Integrated Food and Energy Estate in Papua, Indonesia (ASEAS, 9(1) 2016); Hijacking of Adat Recognition Through the Establishment of New Customary Community Council in Papua, Indonesia (Asia and the Pacific Policy Studies, 4(3), 2017).
Septi Satriani - Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) - LIPI, memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada tahun 1999 dan gelar master pada Ilmu Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada pada 2015. Hasil penelitian-penelitiannya yang telah dipublikasikan antara lain mengenai Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Resolusi Konflik di Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Barat. Septi Satriani juga bergabung dengan Tim Kajian Papua LIPI. Selama kurang lebih tiga tahun, Septi Satriani bersama Tim Kajian Papua LIPI telah menghasilkan policy brief dengan judul “Dialog Nasional Membangun Papua Damai” dan report hasil kerja sama dengan The Asia Foundation dengan judul “Road for Communities: Building Road Connectivity Infrastructure for The Livelihood of Indigenous Papuans and The Environment”.
Aisah Putri Budiatri - Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) - LIPI. Ia memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Indonesia dan gelar master Ilmu Politik di State University of New York at Albany. Ia bergabung dalam Tim Kajian Papua LIPI pada tahun 2011 dan terlibat dalam berbagai kegiatan riset tentang Papua serta advokasi untuk mendorong penyelesaian konflik Papua melalui dialog sejak saat itu. Beberapa publikasinya terkait Papua di antaranya berjudul: “Penyelesaian Konflik Papua: Dari Habibie ke Jokowi,” “Relevansi Papua Road Map dan Tawaran Gagasan untuk Papua,” “Dialog sebagai Jalan menuju Rekonsiliasi Konflik di Indonesia: Mengapa Dialog Formal Tidak Terjadi di Papua?” “Dikotomi Identitas Keindonesiaan dan Kepapuaan Pasca Orde Baru,” dan “UU Otonomi Khusus bagi Papua: Masalah Legitimasi dan Kemauan Politik (ditulis bersama Muridan S. Widjojo).”

Editor

Adriana Elisabeth - Lahir di Jakarta pada 1963. Menyelesaikan program S3 dan lulus dari Department of History and Politics, University of Wollongong, New South Wales, Australia pada 2008. Karir sebagai peneliti dimulai di Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P - LIPI) pada 1989. Adriana adalah Koordinator Tim Kajian Papua di LIPI pada 2004-2006. Selanjutnya sejak 2007, menjadi anggota tim sampai sekarang. Sejak 2016, Adriana menjadi dosen program S2 jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pelita Harapan. Dia juga menjadi koordinator Jaringan Damai Papua untuk Jakarta (2019-2022), anggota Dewan Pakar Vox Populi Institute Indonesia (Vox Point) untuk isu Papua, dan anggota Komisi Papua PGI. Alamat email: adrianaelisabeth56@gmail.com

Daftar Isi

Sampul
Kata pengantar
Daftar Isi
Daftar tabel
Daftar grafuk
Daftar gambar
Daftar skema
Daftar singkatan
Bab 1: Redirecting Pembangunan di Papua: Improving the Present to Secure the Future
     A. Pengantar
     B. Paradigma Baru Pembangunan di Papua
     C. Otonomi Khusus Papua sebagai Upaya Penyelesaian Konflik
     D. Penutup
Bab 2: Inefektivitas Kebijakan Pembangunan Papua: Akar Masalah dan Solusi
     A. Pengantar
     B. Pendekatan dan Kebijakan Pembangunan Papua: Muatan Substansi dan Risikonya
     C. Problem Kebijakan Pembangunan Papua: Implementasi dan Capaian
     D. Akar Masalah Implementasi Kebijakan Pembangunan Papua
     E. Dialog Pembangunan Papua untuk Menyusun Grand Design and Policy
     F. Penutup
Bab 3: Tanah Papua: Demografi Ekonomi Kaum Muda
     A. Pengantar
     B. Demografi Kaum Muda
     C. Ekonomi Produksi Kaum Muda
     D. Ekonomi Teknologi Informasi Kaum Muda
     E. Kaum Muda dan Masa Depan Tanah Papua
     F. Penutup
Bab 4: Potret Pembangunan Pendidikan dan Kesehatan
     A. Pengantar
     B. Model Pembangunan Papua berbasis Human Security Development
     C. Program Pembangunan Pendidikan dan Kesehatan di Tanah Papua
     D. Distingsi Imajinasi dalam Membangun Tanah Papua
     E. Penutup
Bab 5: Dampak Sosial Pembangunan Infrastruktur terhadap Orang Papua
     A. Pengantar
     B. Sejarah Pembangunan Infrastruktur di Tanah Papua
     C. Pembangunan Infrastruktur dan Konektivitas antardaerah
     D. Dampak Sosial Pembangunan Infrastruktur yang Tidak Diharapkan
     E. Dilema Pembangunan Infrastruktur
     F. Penutup
Bab 6: Papua Membangun: Sebuah Paradigma Baru
     A. Pengantar
     B. Papua dalam Kontradiksi Pemikiran dan Pemahaman
     C. Sumber Masalah Pembangunan di Tanah Papua
     D. Model Pembangunan Baru bagi Papua
     E. Rekomendasi Kebijakan Menuju Papua Baru
     F. Penutup
Indeks
Tentang penulis