Ikhtisar
Buku berjudul Pembangunan Inklusif Papua Barat: Partisipasi, Aksesibilitas dan Jati Diri Masyarakat Sorong ini merupakan hasil penelitian lapangan tim Penelitian Prioritas Nasional LIPI. Buku ini mencoba menyingkap berbagai permasalahan pembangunan di Kota Sorong, Papua Barat. Paradigma pembangunan yang diimplementasikan dianggap masih mengedepankan komponen infrasturktur dan kurang memperhatikan komponen pemberdayaan dan keberlanjutan. Buku ini tidak membahas pembangunan dari aspek sectoral, tetapi pembangunan secara societal atau pembangunan social.
Untuk itulah buku ini mencoba menawarkan sebuah formulasi pembangunan yang lebih inklusif dan bersifat bottom-up. Hal itu diupayakan guna memaksimalkan efektivitas dan efisiensi dari berbagai kebijakan yang dikhususkan untuk masyarakat asli Kota Sorong. Paradigma pembangunan inklusif tersebut perlu diterapkan dalam berbagai aspek terutama menyangkut infrastruktur social seperti kesehatan, pendidikan dan permukiman. Hal itu tidak lain dilakukan demi mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, perlunya penerapan pembangunan inklusif adalah untuk menjamin sebuah pembangunan yang berkeadilan bagi masyarakat asli yang terpinggirkan. Dengan kata lain, pembangunan inklusif yang menjamin partisipasi, akses dan jati diri masyarakat akan menjadi sebuah pembangunan yang tepat sasaran. Selain itu, pendekatan-pendekatan pembangunan social budaya dan berbasis komunitas juga digunakan untuk memperkaya analisis di dalam buku ini sehingga rekomendasi kebijakan di berbagai aspek yang dihasilkan lebih bersifat konkret dan dapat diadopsi oleh pihak terkait. Buku ini dapat dipertimbangkan untuk menjadi rujukan para pengambil kebijakan, akademisi, mahasiswa maupun masyarakat umum.
Pendahuluan / Prolog
Kata pengantar
Keistimewaan buku ini adalah bukan hanya membahas pembangunan secara sektoral seperti ekonomi atau fisik, tetapi Pembangunan Sosial-Budaya yang bersifat sosietal terhadap masyarakat Papua khususnya Kabupaten Sorong di Papua Barat. Ini dilakukan karena Papua Barat merupakan daerah yang berada di bawah rata-rata secara nasional, yaitu menempati urutan ke-2 provinsi termiskin di Indonesia di mana jumlah orang miskin 27,76% dari total populasi. Di samping itu daerah ini memang memiliki berbagai masalah lain yang melilit secara sistemik.
Secara politis wilayah ini masih terus mengalami gangguan dari pihak luar (negara asing) yang menginginkan kemerdekaan Papua. Dukungan pihak internasional ini seolah menjadi pembenaran bahwa daerah ini mengalami masalah ketidakadilan bahkan penindasan yang akut. Akan tetapi, buku ini mengungkapkan bahwa pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat sejauh ini sudah menunjukkan beberapa kemajuan yang memberi harapan di masa depan. Misalnya jika dilihat dari ukuran proporsi penduduk miskin, dari 54% pada tahun 1999, pada saat ini sudah turun setengahnya, yaitu 27 %.
Karena pembahasan buku ini bersifat sosietal, maka menurut saya, konsep sosiologis yang paling relevan untuk kita ulas adalah sejauh mana wilayah ini telah benar-benar terintegrasi ke dalam masyarakat Indonesia. Integrasi itu tidak cukup hanya secara politis (resmi bagian dari NKRI), tetapi integrasi yang benar-benar sosiologis yaitu sejauh mana etnis Papua menjadi bagian dari masyarakat Indonesia seutuhnya. Untuk itu saya ingin melihat integrasi yang dialami oleh Papua dalam tiga dimensi yaitu: Integrasi normatif, koersif dan fungsional.
Integrasi Normatif pada dasarnya adalah adanya kesadaran dan kesepakatan penduduknya terhadap nilai-nilai dasar dan citacita dari bangsa ini (tentu saja bukan dalam arti adanya keseragaman budaya secara Nasional). Kesadaran dan kesepakatan sebagai suatu negara kesatuan yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 tentu tidak mudah bagi warga masyarakat akar rumput di seluruh pelosok wilayah ini. Proses itu membutuhkan “social learning” yang panjang bagi masyarakat ini.
Buku ini bahkan menunjukkan bahwa secara sosiologis Papua adalah termasuk kategori masyarakat hukum adat yang terdiri dari kesatuan–kesatuan masyarakat kecil yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan budaya secara khas dan mandiri, mempunyai sistem hukum, kekuasaan dan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air secara internal. Di dalam Antropologi sering disebut tribalisme. Ada lebih dari 250 kelompok etnis dengan kebiasaan-kebiasaan, bahasa-bahasa, praktik-praktik dan agama/kepercayaan asli yang berbeda di Papua. Ditambah lagi, saat ini ada 100 kelompok etnis non-Papua yang datang mengadu nasib dari berbagai pulau di Nusantara.
Buku ini juga menggambarkan sistem kekuasaan dengan kepemimpinan tunggal “Kepala Suku‟ yang sangat dominan dan dianggap sebagai figur yang berhak mewakili sukunya untuk menyampaikan aspirasi terhadap pihak luar baik pemerintah maupun nonpemerintah. Pendeknya Papua merupakan suku bangsa yang memiliki pertalian etnis tersendiri yang berbeda dari suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia.
Aspirasi dan tuntutan kebutuhan suku-suku di Papua ini sangat berakar pada nilai-nilai kebersamaan, termasuk di dalam kondisi kemiskinannya (Geertz menyebutnya dengan istilah ‘shared poverty’). Nilai ini sangat berbeda dengan nilai yang sudah berkembang pada suku-suku lain di Nusantara, termasuk suku bangsa lain yang tinggal di Papua yaitu nilai efisiensi ekonomis yang pada dasarnya bersifat kapitalistik.
Dari gambaran di atas kita melihat betapa besar tantangan yang kita hadapi untuk membuat masyarakat Papua benar-benar memiliki integrasi normatif (integrasi budaya) dalam sistem sosial bangsa Indonesia.
Secara politis sering kali ada “godaan” terutama bagi penguasa politik di negeri ini untuk secepat mungkin “mengintegrasikan” suku bangsa ini ke dalam kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Suharto misalnya lebih mengandalkan pada Integrasi Koersif: yaitu suatu integrasi yang diikat oleh kekuatan militer pemerintah yang sangat memaksa, bila perlu dengan menggunakan kekerasan (baik secara militer maupun ideologis).
Tindakan represif aparat Pemerintah, terutama pada masa Orde Baru, banyak merupakan pelanggaran HAM yang ternyata meninggalkan perasaan traumatis yang tidak terselesaikan pada sebagian masyarakat di Papua. Dari aspek sejarah para ahli bahkan menarik akarnya dari Pepera 1969. Menurut uraian buku ini, siklus kekerasan politik itu belum tertangani secara tuntas sampai saat ini, bahkan masih sering meletup dalam berbagai kerusuhan sosial.
Penelitian P2P-LIPI menunjukkan bahwa konflik kepentingan yang diciptakan oknum elite tertentu dalam masyarakat selama ini telah menciptakan kecurigaan, bahkan rasa tidak percaya (distrust) yang semakin dalam antara pemerintah dengan kelompok tertentu orang Papua, sehingga menimbulkan isu separatisme.
Tindakan-tindakan yang bersifat koersif ini berlanjut pada masa-masa setelah Orba, baik dalam bentuk tindakan resmi pemerintah maupun oknum-oknum lainnya misalnya dalam hal perampasan tanah adat masyarakat Papua, hal ini menciptakan sikap resistensi rakyat terhadap pemerintah.
Memang bisa dimengerti bahwa untuk suatu negara kesatuan sebesar dan sekompleks Indonesia, kekuatan dan wibawa militer sangat diperlukan untuk menjaga kesatuan (terutama terhadap pihak asing), namun tindakan koersif yang berlebihan dan tidak adil terhadap rakyat harus dihindari. Oleh karena itu ada satu model integrasi lagi yang bisa kita lakukan di Papua yaitu Integrasi fungsional.
Artinya: sejauh mana integrasi yang ada mempunyai fungsi yang menguntungkan bagi masyarakat setempat dan sejauh mana Papua bisa memiliki fungsi yang penting dan signifikan secara nasional.
Buku ini menunjukkan di masa lalu selalu terjadi peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia, terutama sebagai daerah yang amat kaya hasil tambangnya.
Di masa lalu, pembangunan sangat dipusatkan pada daerah yang sudah maju saja terutama Jawa dengan janji akan ada tetesan ke bawah (trickling down effects). Ternyata tetesan ke bawah yang dijanjikan tak kunjung datang (apalagi untuk Papua) sehingga kesenjangan sosialekonomi semakin menganga lebar. Di bawah pemerintah Jokowi diterapkan konsep “Pembangunan dari pinggiran”. Jokowi pernah mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi Papua secara umum adalah bagaimana membuka keterisolasian, membuka lapangan kerja baru, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan yang lebih merata.
Pernyataan ini memberi tanda bahwa pemerintah saat ini mulai akan menekankan pada suatu usaha Integrasi Fungsional. Pemerintah dalam dua setengah tahun terakhir, telah fokus untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan konektivitas dan menyambung Papua Barat dengan daerah lain di Indonesia untuk membuka keterisolasian daerah dan untuk menekan biaya logistik dan meningkatkan daya saing produk lokal yang ada.
Buku ini menguraikan komitmen Kementerian PUPR sesuai dengan visi besar Pemerintah untuk membangun Indonesia dari pinggiran, membangun kawasan-kawasan potensial ekonomi wilayah, serta mengurangi kesenjangan antar wilayah melalui keterkaitan antar kawasan dan antar kota permukiman di Provinsi Papua dan Papua Barat. Tersedianya pembangunan jalan Trans Papua saat ini memang belum memberi dampak yang positif, terutama mobilisasi penduduk baik urbanisasi maupun reurbanisasi, mobilitas barang dan jasa. Tetapi arah strategis setidaknya mulai membuka harapan.
Saya sependapat dengan pernyataan dalam buku ini bahwa sebenarnya inti masalah Papua bukanlah kemiskinan itu sendiri, tetapi eksklusi sosial dalam berbagai hak-hak dasar seperti politik, keadilan, pemerataan dsb. Eksklusi inilah yang melahirkan kemiskinan.
Berdasarkan pemahaman di atas, buku ini menekankan pentingnya Pembangunan Sosial yang bersifat sosietal yaitu berupa transformasi dari pembangunan eksklusi ke inklusif. Pembangunan inklusif adalah sebuah panggilan untuk pelaksanaan demokrasi langsung (pelaksanaan hak-hak sipil, dan politik) dan distribusi fasilitas infrastruktur sosial seperti: kesehatan, pendidikan, dan perumahan dengan maksud untuk mendorong berkembangnya atau memungkinkan partisipasi semua pihak dalam proses pembangunan.
Sebagai catatan penutup, saya sangat menghargai para penulis buku ini karena membahas pembangunan bukan secara sektoral saja (terutama secara ekonomi atau fisik) tetapi secara sosietal. Inilah yang disebut Pembangunan Sosial yang menurut saya harus diarahkan pada pembangunan elemen dasar dari kehidupan sosial budaya (socio-cultural life) yaitu: elemen Struktural, Kultural dan Prosesual.
Pembangunan elemen Struktural dalam buku ini nampak mulai dari adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan disusul dengan berbagai tindakan yang membuat Struktur Sosial yang senjang berangsur dikurangi seperti kemiskinan, pengangguran, kehilangan penghasilan, kehilangan kesempatan kerja, penurunan produktivitas, hilangnya proteksi sosial, akses pada infrastruktur sebagai prasarana penunjang hidup.
Sementara itu pembangunan elemen Kultural digambarkan dengan berbagai usaha Pemerintah mengurangi ketertinggalan budaya masyarakat Papua, terutama misalnya dengan memfasilitasi terbitnya sertifikasi hak ulayat, dengan ini masyarakat adat dapat ikut serta aktif dalam proses investasi di sektor modern di Papua.
Pembangunan elemen Prosesual pada dasarnya menyangkut bagaimana aspirasi masyarakat Papua terutama yang berada di daerah yang amat terpencil bisa didengar oleh pemerintah, didialogkan dan dicari pemecahannya secara partisipatif. Uraian tentang ini memang masih kurang digambarkan dalam buku ini, mungkin karena pemerintah belum banyak melakukannya di daerah yang memang masih ditandai oleh kelemahan di bidang komunikasi dan informasi, juga saluran aspirasi rakyat masih sangat dimonopoli oleh sistem kepemimpinan tradisional yang jauh dari prinsip demokrasi.
Kita berharap prinsip Pembangunan Inklusif yang akan dikembangkan di Papua seperti yang digambarkan oleh buku ini akan segera diwujudkan di bawah kepemimpinan pemerintah. Semoga para peneliti bidang sosial-budaya bisa meneruskan perannya sebagai peneliti “Pembangunan Sosial” yang berwawasan sosietal.
Daftar Isi
Sampul
Kata pengantar
Daftar isi
Daftar gambar
Daftar tabel
Daftar singkatan
Bab I: Permasalahan Sosial Pembangunan Inklusif di Papua Barat
Masyarakat Papua Sebagai Masyarakat Hukum Adat
Keanekaragaman Suku dan Budaya di Papua Barat: Sorong
Kekayaan SDA, Ekonomi, dan Infrastruktur Sosial di Papua Barat
Permasalahan Pembangunan Pendidikan dan Kesehatan
Permasalahan Pembangunan Perumahan
Masalah Pembangunan Wilayah dan SDM
Ringkasan Permasalahan Pembangunan di Papua Barat
Tawaran Penelitian untuk Pembangunan Papua: Pembangunan Infrastruktur Sosial Melalui Pendekatan Budaya dan Inklusif
Penutup
Daftar Pustaka
Bab II: SDM OAP Papua Barat dalam Pusaran Pembangunan
Pengantar
Permasalahan Banjir dan Kebencanaan Gempa Bumi
Permasalahan Sumber Daya Manusia VS Miras
Permasalahan Otonomi Khusus (OTSUS) dan Pendanaan OTSUS untuk Pembangunan
Permasalahan Peran MRP dalam Pembangunan dan Pengembangan Wilayah
Persoalan Hak Ulayat di Papua Barat
Analisis Pembangunan Inklusif Kota Sorong: Pembangunan Wilayah Inklusif
Penggunaan Dana Otsus Papua Barat
Analisis Inklusif untuk Penanganan Bencana Banjir dan Gempa
Analisis Inklusif untuk Penanganan Keamanan dan Tradisi Miras
Inklusivitas untuk Penyelesaian Hak Ulayat
Penutup dan Saran Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
Bab III: Menakar Keberhasilan Ekonomi di Tanah Papua: Refleksi 17 Tahun Otonomi Khusus
Pengantar
Permasalahan Banjir dan Kebencanaan Gempa Bumi
Permasalahan Sumber Daya Manusia VS Miras
Permasalahan Otonomi Khusus (OTSUS) dan Pendanaan OTSUS untuk Pembangunan
Permasalahan Peran MRP dalam Pembangunan dan Pengembangan Wilayah
Persoalan Hak Ulayat di Papua Barat
Analisis Pembangunan Inklusif Kota Sorong: Pembangunan Wilayah Inklusif
Penggunaan Dana Otsus Papua Barat
Pembangunan Inklusif di Kota Sorong, Mungkinkah?
Analisis Inklusif untuk Penanganan Bencana Banjir dan Gempa
Analisis Inklusif untuk Penanganan Keamanan dan Tradisi Miras
Inklusivitas untuk Penyelesaian Hak Ulayat
Penutup dan Saran Rekomendasi
Daftar Pustaka
Bab IV: Perumahan dan Permukiman: Lingkungan Sosial Inklusif untuk Kehidupan dan Penghidupan
Pengantar
Permasalahan Banjir dan Kebencanaan Gempa Bumi
Permasalahan Sumber Daya Manusia VS Miras
Permasalahan Otonomi Khusus (OTSUS) dan Pendanaan OTSUS untuk Pembangunan
Permasalahan Peran MRP dalam Pembangunan dan Pengembangan Wilayah
Persoalan Hak Ulayat di Papua Barat
Analisis Pembangunan Inklusif Kota Sorong: Pembangunan Wilayah Inklusif
Penggunaan Dana Otsus Papua Barat
Pembangunan Inklusif di Kota Sorong, Mungkinkah?
Analisis Inklusif untuk Penanganan Keamanan dan Tradisi Miras
Inklusivitas untuk Penyelesaian Hak Ulayat
Penutup dan Saran Rekomendasi
Daftar Pustaka
Bab V: Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan Inklusif di Kota Sorong
Pengantar
Kondisi Pendidikan di Kota Sorong
Permasalahan dalam Bidang Pendidikan
Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif
Penutup
Bab VI: Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Inklusif di Bidang Kesehatan: Kasus Kampung Kokoda,
Pendahuluan
Permasalahan Kesehatan di Kota Sorong
Pembangunan Kesehatan di Kota Sorong
Perilaku Sehat Orang Asli Papua (OAP)
Pembangunan Sosial di Bidang Kesehatan di Kota Sorong
Struktur Sosial
Budaya Perilaku Sehat Orang Papua Asli (OAP) Suku Kokoda Kota Sorong
Cross Cutting antara Struktur-Kultur-Proses: Structured Culture
Cultured Structure
Structured Process
Processed Structure
Cultured Process
Processed Culture
Inklusifitas Kesehatan di Kota Sorong
Penutup dan Rekomendasi
Daftar Pustaka
Bab VII: Kemiskinan, Budaya Miras, Kriminalitas dan Hambatan Pembangunan di Papua
Minuman Keras
Minuman Keras Penyebab Kriminalitas
Kriminalitas yang Menghambat Pembangunan
Miras dan Sumber Daya Manusia yang Menghambat Pembangunan
Perilaku dan Situasi yang Memberanikan Tindak Kriminal
Pembangunan Inklusif dan Kontrol untuk Pencegahan Tindak Kriminal
Kemiskinan, Miras dan Kriminalitas di Sorong
Rekomendasi Kebijakan
Daftar Pustaka
Bab VIII: Benang Merah Pembangunan Inklusif Kota Sorong: Sebuah Tantangan
Paradigma Pembangunan Inklusif untuk Papua Barat
Pembangunan Inklusif di Bidang Infrastruktur Sosial
Saran Rekomendasi Kebijakan: Kota Sorong, Menuju Kota Inklusif
Indeks
Tentang Penulis