Ikhtisar
Indonesia mempunyai sumber daya laut dan hutan berlimpah, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaannya pun kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Akibatnya, keberlanjutan SDA itu pun terancam, termasuk penyediaan kebutuhan hidup generasi mendatang. Melalui pengelolaan yang baik, SDA itu sebenarnya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, masyarakat nelayan dan mereka yang bermukim di sekitar hutan, masih banyak terperangkap dalam kemiskinan akibat pemanfaatan SDA sering hanya mengedepankan aspek ekonomi semata, sementara aspek sosial dan ekologi kurang menjadi prioritas. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, ketiga aspek itu harus mendapat perhatian berimbang agar manfaatnya dirasakan oleh masyarakat, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Buku ini mengungkap persoalan sekitar pengelolaan sumber daya laut dan hutan dari sisi perspektif, kebijakan, dan permasalahan pengelolaan sumber daya yang terjadi di beberapa daerah.
Pendahuluan / Prolog
Kata pengantar
Indonesia memiliki wilayah laut yang luas, mengandung berbagai potensi sumber daya alam, baik yang bersifat terbarukan maupun tidak terbarukan.Sumber daya laut terbarukan seperti ikan, jika dimanfaatkan secara baik dapat digunakan untuk menyejahterakan masyarakat. Hamparan terumbu karang, juga sumber daya yang tidak kalah penting bagi kehidupan manusia karena dapat melindungi pantai dari abrasi, dan bersama dengan padang lamun dan mangrove menjadi tempat berpijah ikan, sehingga potensi sumber daya perikanan dapat terus berkembang.
Wilayah daratan Indonesia pun terdapat hamparan hutan yang luas, yang berfungsi sebagai penampung karbon diaksoda yang dapat mengurangi konsentrasi gas rumah kaca dan juga berfungsi sebagai paru-paru dunia yang menghasilkan oksigen yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Lebih dari itu, hutan juga sebagai sumber ekonomi masyarakat, dan diperkirakan puluhan juta masyarakat Indonesia hidupnya tergantung pada hasil hutan.
Sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia itu, saat ini banyak mengalami degradasi. Potensi sumber daya perikanan misalnya, sudah banyak mengalami over fishing akibat perilaku manusia, baik karena penangkapan ikan yang dilakukan secara ilegal (illegal fishing) maupun karena penggunaan alat tangkap yang merusak (destructive fishing). Rusaknya terumbu karang di berbagai kawasan perairan Indonesia merupakan faktor lain yang semakin mempercepat terjadinya over fishing, karena berkurangnya tempat ikan untuk berpijah. Oleh karena itu, keseluruhan sumber daya alam tersebut, selain dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, juga perlu dijaga kelestariannya.
Kerusakan sumber daya-sumber daya juga banyak terjadi pada hutan. Luas hutan semakin lama semakin berkurang, bukan hanya disebabkan oleh kebakaran hutan, tetapi juga oleh penebangan kayu yang membabi buta tanpa memperhatikan keberlanjutannya, baik yang dilakukan secara legal maupun secara liar. Akibatnya dapat dilihat, banyak kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan hutan, saat ini sudah berubah menjadi daratan yang gundul. Tidak terkecuali kawasan yang sebelumnya disebut hutan lindung, sekarang sudah berubah fungsi menjadi desa atau bahkan kota.
Agar kelestarian sumber daya alam dapat terhindar dari kerusakan, pengelolaan yang baik sangat diperlukan. Penekanan pengelolaan pada aspek ekonomi semata-mata, dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan sumber daya alam. Begitu pula sebaliknya, penekanan pada aspek pelestarian, dapat mengorbankan kepentingan masyarakat yang hidupnya tergantung pada sumber daya alam itu.
Upaya untuk menyeimbangkan antara dua kepentingan itulah yang menjadi tugas berat yang harus dipikul bersama, bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat. Itulah pentingnya etika lingkungan yang tidak hanya bersifat antroposentris ataupun ekosentris semata, tetapi etika lingkungan yang inklusif, yang menyatukan kepentingan manusia di satu sisi dan kelestarian lingkungan di sisi lain.
Etika lingkungan yang bersifat inklusif, sebetulnya sudah diterapkan dalam pengelolaan sumber daya di beberapa belahan dunia. Dalam dunia perikanan, misalnya, jika sebelumnya pengelolaan perikanan hanya menekankan pada salah satu kepentingan, sehingga muncul yang disebut pendekatan maximum economic yield (MEY) yang berorientasi pada aspek ekonomi semata, dan pendekatan yang disebut maximum sustainable yield (MSY) yang berorientasi hanya pada kepentingan pelestarian. Upaya untuk menyeimbangkan kedua pendekatan itu maka muncullah pendekatan ekosistem atau ecosystem approach to fisheries management (EAFM). Ecosystem approach tidak saja digunakan hanya untuk pengelolaan sumber daya perikanan, tetapi juga dapat diterapkan pada pengelolaan sumber daya hutan.
Pengintegrasian pengelolaan selayaknya juga tidak hanya dari sisi kepentingan, melainkan juga dari sisi subjek pengelola, yaitu aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Pemerintah memang memiliki sumber daya yang luar biasa dalam mengelola sumber daya alam, baik dari sisi manusia, dana maupun pengetahuan yang dimilikinya.
Namun mengabaikan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, bukan saja berarti menafikan pemilik sah kedaulatan Negara dan prinsip-prinsip demokrasi dalam pengelolaan sumber daya, tetapi juga mempersulit pemerintah melakukan pengawasan di lapangan. Sebaliknya, pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan aturan-aturan yang dibuat pemerintah, pemanfaatan sumber daya dapat mengarah terjadinya tragedy of the common. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang dapat mengintegrasikan semua aktor yang berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya, dalam satu perspektif yang disebut collaborative management atau ko-manajemen.
Buku yang ditulis oleh para peneliti yang tergabung dalam Kelompok Peneliti Ekologi Sosial dan Kesejahteraan Masyarakat (Kelti ESKM), Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB – LIPI), menggambarkan pengelolaan sumber daya alam yang ada di Indonesia, khususnya sumber daya aut dan hutan. Buku ini bukan hanya memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di Indonesia, tetapi juga dapat digunakan sebagai sumber inspirasi oleh para pengambil kebijakan dalam membuat keputusan pengelolaan sumber daya alam. Meskipun demikian, sebagai karya manusia, buku ini tentu saja tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik bersifat membangun dan saran dari kalangan pembaca sangat diharapkan.
Jakarta, September 2020
Editor
Daftar Isi
Sampul
Kata pengantar
Daftar isi
Bab 1: Pendahuluan: Pengenalan kerangka dan subtansi bahasan
Bagian I: Pendekatan pengelolaan dan implementasinya
Bab 2: Menuju pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di Indonesia: Tantangan dan peluang
2.1 Pengantar
2.2 Sketsa Realitas Perikanan Indonesia
2.3 EAFM dan EBFM sebagai Alternatif Pengelolaan ke Depan
2.4 Gerakan EAFM di Indonesia: Sebuah Tinjauan
2.5 Tantangan dan Dukungan Legal Implementasi EAFM dan EBFM
Bab 3: Problematika Ko-Manajemen dalam pengelolaan perikanan
3.1 Pendahuluan
3.2 Pengertian Ko-Manajemen
3.3 Ko-Manajemen dan Pengelolaan Berbasis Masyarakat
3.4 Permasalahan dalam Ko-Manajemen
3.5 Penutup
Bab 4: Posisi masyarakat dalam peraturan pengelolaan sumber daya maritim dan hutan di Indonesia
4.1 Pendahuluan
4.2 Landasan Hukum Internasional Pentingnya Peran Masyarakat dalam Pengelolaan SDA
4.3 Sektor Kehutanan
4.4 Sektor Kelautan dan Perikanan
4.5 Tumpang-Tindih Peraturan Pengelolaan Sumber Daya Hutan dan Maritim
4.6 Kesimpulan
Bagian II: Studi kasus pengelolaan sumber daya laut
Bab 5: Dinamika dalam mendapatkan hak wilayah lokasi budi daya teripang: Pengalaman implementasi EAFM di pesisir Lombok Timur
5.1 Pendahuluan
5.2 Restocking Teripang Pasir (H. scabra)
5.3 Restocking Teripang sebagai Implementasi EAFM
5.4 Perhatian Pemerintah Daerah terhadap Budi Daya Teripang
5.5 Hak Kelola Budi Daya Teripang
5.6 Izin untuk Mendapatkan Hak atas Perairan Lokasi Budi Daya
5.7 Tafsir Pemerintah Daerah Terkait Hak atas Wilayah Perairan untuk Budi Daya Teripang
5.8 Penutup
Bab 6: Polemik kebijakan ekspor benih lobster
6.1 Pendahuluan
6.2. Proses dan Analisis Kebijakan
6.3. Data dan Informasi Terkait Potensi Benih Lobster
6.4 Pihak yang Mendukung Kebijakan
6.5 Kelompok Moderat
6.6 Kesimpulan
Bab 7: Gerak desa dalam upaya pengelolaan kawasan pesisir: Wisata Mangrove dan Pantai Morodemak, Jawa Tengah
7.1 Pendahuluan
7.2 Mangrove dan Pantai di Desa Morodemak: Potensi dan Permasalahan
7.3 Wisata Mangrove: Pengelolaan Sumber Daya Pesisir oleh BUMDes
7.4 Pelibatan Pemuda Nelayan dan Perannya dalam Pengelolaan Wisata
7.5 Kesimpulan
Bagian III: Studi kasus pengelolaan sumber daya hutan
Bab 8: Tantangan dan peluang perkembangan Gaharu di Nusa Tenggara Barat
8.1 Pendahuluan
8.2 Produksi Gaharu Alam
8.3 Jaringan Perdagangan Gaharu
8.4 Diskursus Gaharu antarKelembagaan
8.5 Kesimpulan
Bab 9: Perburuan dan perdagangan Gaharu alam sebagai hasil hutan bukan kayu di provinsi Riau
9.1 Pendahuluan
9.2 Gaharu dalam Pengetahuan Masyarakat Lokal
9.3 Produksi Gaharu: Antara Kuota dan Realisasi
9.4 Mekanisme Perdagangan Gaharu
9.5 Kesimpulan
Bab 10: Dilema restorasi gambut: Analisis kebijakan melalui pendekatan human centered design
10.1 Pendahuluan
10.2 Memahami Isu Restorasi Gambut
10.3 Efektivitas Kebijakan Restorasi Gambut
10.4 Pemanfaatan Lahan Gambut
10.5 Aspek-Aspek Penting Pengelolaan Lahan Gambut
10.6 Kesimpulan
Indeks
Tentang penulis