Ikhtisar
Keseluruhan tulisan dalam buku ini berupaya menganalisis dua pertanyaan pokok, yaitu bagaimana perubahan kebijakan terkait etnik Tionghoa pasca Orde baru telah mendorong pada penguatan hak sipil dan politik kelompok etnik ini; dan bagaimana di tengah sentiment dan prasangka yang masih menguat terhadap etnik Tionghoa, partisipasi politik etnik Tionghoa harus dilakukan. Pentingnya mengangkat secara khusus soal partisipasi politik etnik Tionghoa ini adalah karena dalam dua decade setelah reformasi yang membuka keran seluasnya bagi seluruh warga negara untuk berpartisipasi mewujudkan hak sipil dan politiknya, ternyata etnik Tionghoa masih berhadapan dengan prasangka dan sentiment masyarakat serta elite politik yang belum bergerak jauh dari warisan colonial dan order baru, yang melihat keberadaan etnik ini sebagai “liyan/other”, sehingga politisasi identitas mereka dalam momen-momen electoral tidak terhindarkan. Selain itu, partisipasi politik penting dibahas sebagai ruang perjumpaan yang setara dalam bingkai Indonesia yang multikultur, sehingga peningkatan partisipasi politik etnik Tionghoa diharapkan akan mampu menghilangkan prasangka rasial dan memberi sumbangan yang bermakna bagi penguatan demokrasi Indonesia.
Pendahuluan / Prolog
Kata Pengantar
Kehidupan etnis Tionghoa pasca-Orde Baru, baik di level nasional maupun lokal merupakan topik yang cukup menarik banyak perhatian dewasa ini. Banyak buku, artikel, dan berbagai media lain yang telah menjadikan berbagai aspek ketionghoaan sebagai kajian maupun liputan.1 Di masa Orde Baru, pemerintah melabeli etnis Tionghoa sebagai “Masalah”, sehingga dikenal istilah “Masalah Cina”.
Mereka adalah “keturunan asing”, “non-pribumi” (nonpri) yang senantiasa mesti diwaspadai. Oleh karena dianggap bukan bagian dari “Indonesia”, maka pihak berwenang mengenakan pengawasan ketat atas simbol-simbol budaya Tionghoa, mulai dari adat istiadat, hingga bahasa dan huruf Tionghoa. Untuk mengawasi gerak-geriknya, maka pada 1973 pemerintah membentuk Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang berada di bawah kendali langsung kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).2 Setidaknya terdapat sepuluh aspek kehidupan Tionghoa yang diawasi oleh negara: (1) status kewarganegaraan; (2) pembentukan organisasi; (3) izin tinggal; (4) Undang-Undang PMA dan PMDN; (5) agama/kepercayaan dan adat istiadat Cina; (6) pendidikan; (7) perburuhan; (8) lektur bahasa Cina; (9) surat kabar berbahasa Cina dan (10) kesenian, film, piringan hitam dan pita suara.
Huru-hara Mei 1998 mengakhiri 32 tahun rezim Soeharto ditulis dalam buku resmi Sejarah Nasional Indonesia Edisi Pemutakhiran sebagai: “kerusuhan rasial” dan orang-orang Tionghoa melakukan “eksodus ke luar negeri”, serta “.... terjadi pula pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan-perempuan Indonesia keturunan Cina”.4 Dalam masa pemerintahannya yang singkat, sebetulnya Presiden Habibie—sebagai pemimpin di masa transisi (1998- 1999)—sudah melakukan beberapa hal yang cukup fundamental, seperti penghentian pemakaian istilah “pri” dan “non-pri” (Inpres No. 26/1998) serta penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI) sebagai syarat pengurusan dokumen kependudukan (Inpres No.4/1999).
Presiden terpilih Abdurrahman Wahid (1999- 2001) mencabut Inpres no.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina (Januari 2000) dan lebih jauh lagi, membuat Imlek sebagai hari libur fakultatif (April 2000). Akhirnya, Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional (Februari 2002, berlaku efektif 2003). Di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), pemerintah menetapkan UU Kewarganegaraan No. 12/2006, yang menjadi salah satu produk hukum terpenting terkait warga negara dan kewarganegaraan.
Daftar Isi
Sampul
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Kata Pengantar, Didi Kwartanada
Bab 1. Hak Sipil dan Politik Etnik Tionghoa Pasca-Orde
Pengantar
Multikulturalisme dan Kewarganegaraan
Partisipasi dan Representasi Politik
Sistematika Penulisan
Bab 2. Beberapa Aspek Sejarah Tionghoa Singkawang dan Tangerang
Pengantar
Penguatan Hak Kewarganegaraan
Residu Masalah Kewarganegaraan
Pembunuhan Massal di Kalimantan Barat Tahun 1967
Pemadam Kebakaran
Pengantin Pesanan
Pembunuhan Massal di Tangerang Tahun 1946
Melanjutkan Stigma
Penutup
Bab 3. Permasalahan Pemenuhan Hak Sipil dan Politik
Pengantar
Gambaran Umum Masyarakat Singkawang
Masyarakat Etnik Tionghoa di Singkawang dalam Konteks Politik Indonesia
Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemenuhan Hak Sipil dan Politik Masyarakat Etnik Tionghoa di Singkawang
Penutup
Bab 4. Potret Penguatan Hak Sipil dan Politik Etnik Tionghoa Pasca-Orde Baru di Singkawang
Pengantar
Potret Hak Sipil dan Politik Etnik Tionghoa di Singkawang Pasca-Orde Baru
Dinamika Penguatan dan Perawatan Hak Sipil dan Politik Warga Negara di Singkawang
Penutup: Merawat Hak Sipil dan Politik Warga Negara
Bab 5. Problematika Hak Sipil dan Politik Etnik Tionghoa di Tangerang
Pengantar
Sosio–Demografi Masyarakat Cina Benteng
Masyarakat Etnik Tionghoa di Tangerang dalam Konteks Politik Indonesia
Problematika Pemenuhan Hak Sipil dan Politik Etnik Tionghoa di Tangerang
Bab 6. Penguatan Hak Sipil dan Politik Etnik Tionghoa di Kota Tangerang
Pengantar
Sekilas tentang Relasi Etnik Tionghoa di Kota Tangerang
Partisipasi dan Representasi Politik: Sebuah Solusi?
Tantangan Penguatan Hak Sipil Politik Etnik Tionghoa di Tangerang
Kebijakan Pemerintah Kota Tangerang yang Berpotensi Diskriminatif
Bab 7. Menuju Penguatan Hak Sipil dan Politik Etnik Tionghoa
Pengantar
Partisipasi dan Representasi Politik sebagai Solusi
Penutup
Indeks
Tentang penulis