Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Bicaralah Yang Baik-Baik

1 Pembaca
Rp 70.000 30%
Rp 49.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 147.000 13%
Rp 42.467 /orang
Rp 127.400

5 Pembaca
Rp 245.000 20%
Rp 39.200 /orang
Rp 196.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Setelah membaca sejumlah karya-karyanya, saya melihat bahwa M.Rohanudin melalui karya puisinya, tidak hanya mencerminkan citra rasa seninya dan kehandalannya dalam memadukan kata dan makna, namun ia juga telah memperlihatkan secara nyata bukti kecintaannya kepada Ibu Pertiwi dan manusia-manusia di dalamnya, kekagumannya kepada kemajemukan di Nusantara yang menurutnya sebagai sebuah harta dan kekayaan yang perlu untuk dijaga dan dilindungi, serta memberitahukan kepada para pembacanya akan aspirasinya terhadap Indonesia yang lebih baik, yang bebas korupsi, yang harmonis dan toleran, serta berbudi-luhur dan berkeprimanusiaan.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: M. Rohanudin

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786024339340
Terbit: Desember 2020 , 90 Halaman

BUKU SERUPA













Ikhtisar

Setelah membaca sejumlah karya-karyanya, saya melihat bahwa M.Rohanudin melalui karya puisinya, tidak hanya mencerminkan citra rasa seninya dan kehandalannya dalam memadukan kata dan makna, namun ia juga telah memperlihatkan secara nyata bukti kecintaannya kepada Ibu Pertiwi dan manusia-manusia di dalamnya, kekagumannya kepada kemajemukan di Nusantara yang menurutnya sebagai sebuah harta dan kekayaan yang perlu untuk dijaga dan dilindungi, serta memberitahukan kepada para pembacanya akan aspirasinya terhadap Indonesia yang lebih baik, yang bebas korupsi, yang harmonis dan toleran, serta berbudi-luhur dan berkeprimanusiaan.

Ulasan Editorial

Sekali bersuara, tetap berbicara. Kata-kata menyampaikan makna lewat udara. Penyiar dan penyair menyatu seperti tanah (dan) air. Bung Rohan, Dirut RRI, menulis puisi, bukti bakti kepada negeri. Wajib dibaca dan didengar semua pecinta Ibu Pertiwi. Sekali di udara, tetap di udara. Mengudara memberi makna, di darat bermanfaat

Dirut RRI 2005-2010 / Parni Hadi

Mitos mengubah baik manusia maupun kosmos karena kita bercitacita untuk menghubungkan kembali yang beraroma sakral dengan yang aktual. Dilihat dengan cara ini, masa lalu, masa kini, dan masa depan diartikulasikan dengan cara yang transparan dan lugas. Di tengah meningkatnya risiko atas kelangsungan hidup manusia, baik karena peningkatan produksi dunia teknologi digital maupun tertutupnya ruang gerak kemanusiaan, makin besarlah dampak yang hasilnya menyisihkan sifat alami manusia yang selalu membutuhkan ruang-ruang dialog dan kesepakatan. Bila ini tidak dilakukan makin besarlah kesukaan sekelompok manusia otoriter untuk merestorasi tatanan masyarakat yang dianggapnya sebagai ancaman. Hal ini harus kita tangkal dengan suara puisi sebagai suara kemanusiaan. Begitulah yang terbaca dan terpahami dalam puisi “Kemerdekaan, Corona dan Korupsi” karya M. Rohanudin

Dosen Pascasarjana UMN Al Washliyah dan Unimed / Dr. Shafwan Hadi Umry, M.Hum

Pendahuluan / Prolog

Sekapur Sirih
Sekapur Sirih Puisi adalah lukisan kepadatan jiwa. Ada lagi yang mengatakan puisi adalah ekspresi diri. Jadi, menulis puisi itu bukan hanya menyatakan isi hati dan pikiran, lebih dari itu, perlu cara, gaya, dan daya ungkap dalam menuliskannya. Karena itu puisi yang baik akan menjadi kenangan pembacanya.

Menyebut kota “Karawang Bekasi” jadi teringat akan puisi heroik Chairil Anwar yang membuat kita bangkit dengan semangat sejarah yang menyala-nyala bahwa kemerdekaan itu ditebus dengan darah dan nyawa serta tulang-tulang yang berserakan dari jasad Para Pejuang Kemerdekaan. Dari kenangan bernilai seperti inilah, maka puisi lalu ditulis orang, baik dari kalangan remaja sampai orang yang berusia lanjut. Karena puisi memang diperlukan sebagai santapan rohani.

Puisi dalam perjalanan zaman selalu ada yang menikmatinya dari berbagai kalangan dan usia hingga tingkat pemimpin negara, karena memang puisi dapat membuat guratan jiwa. Pada saat pelantikan jabatannya, Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy pernah mengundang penyair terkenal yang empat kali memenangi Pulitzer Prize, yakni Robert Frost. ”Puisi adalah ketika emosi telah menemukan pemikirannya dan pikiran tersebut telah menemukan kata-kata” kata Robert Frost.

Poetry is when an emotion has found its thought and the thought has found words Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudoyono ketika itu, pernah juga menerbitkan buku puisi. Judul Puisinya adalah “Palagan Terakhir”, ditulis tahun 2004.

Menulis puisi, membaca, lalu menyampaikannya kepada publik, tidak dapat serta merta pada waktu yang singkat. Perlu waktu lama dan kekuatan penjiwaan di dalamnya. Susilo Bambang Yudhoyono mengaku sejak kecil menikmati puisi. Sedangkan Robert Frost menyelami puisi selama 40 tahun hidupnya. Bagi orang-orang seperti Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, hingga WS Rendra dan saya sendiri D. Zawawi Imron, tentu lebih lama dan lebih dalam penjiwaanya.

Saat ini kita berhadapan dengan M. Rohanudin dalam sehimpun puisinya yang diberi judul “Bicaralah yang Baik-baik.” Ia bergelut dengan puisi sejak usia muda, selalu diasah ketika ia juga menjadi jurnalis di Surabaya dan makin didalami bersamaan dengan puncak karirnya sebagai Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia – RRI, saat ini. Pada posisinya sebagai Dirut RRI, selain makin mendalami dan tampil berpuisi, Ia juga merekatkan puisi dan para penyair dengan RRI. Ia memberi ruang bagi para penyair untuk bersama baca puisi di berbagai tempat dan disiarkan ke seluruh penjuru tanah air melalui RRI, dalam berbagai kanal multiplatform, radio, visual dan digital.

Hal ini menggambarkan bahwa puisi dan acara baca puisi itu termasuk acara penting untuk menanamkan pentingnya hidup rukun, kreatif, cinta bangsa dan tanah air. Puisi untuk hidup dengan moral indah dan berpikir positif. Puisinya yang berjudul “Bicaralah yang Baik-baik,” dalam pengamatan saya ditulis menjelang pemilu dan pilpres 2019, ketika kata-kata kasar, cemooh dan caci maki sering muncul sehari-hari untuk menyakiti dan mempermalukan lawan politik. M. Rohanudin menyarankan pentingnya pergaulan yang santun antarkontestan, karena berbeda pilihan tidak berarti permusuhan. Kita simak baik-baik di bawah ini:

jangan jadikan kampanye politik pasar raya yang hanya menawarkan cita-cita berbuih-buih kampanye bukanlah pameran harapan melainkan cita-cita yang mulia mengentas kemiskinan, menghormati keadilan menjunjung tinggi kesantunan, merawat keberagaman dan demokrasi, mencetuskan cita-cita yang bisa dikerjakan dan dinikmati rakyat banyak.

Memperhatikan gaya bahasanya, penyair ini seperti sealiran dengan WS Rendra pada paruh terakhir, ada nada pamflet. Dan itu sah sebagai pilihan dalam kehidupan sastra. Direktur Utama RRI ini memang pengagum Rendra. Bahkan pada tahun 1986 saya pernah menyaksikan ia membacakan puisi “Khotbah”-nya Rendra dengan gaya dan suara memukau, beda-beda tipis dengan Rendra.

Daftar Isi

Sampul
Daftar isi
Kata pengantar
Sekapur Sirih
Testimoni
Soekarno bapakku
Indonesia adalah saraswati
Dari sini Indonesia masih ada
Bicaralah Yang Baik-Baik
Bertasbih
Allahu Akbar
Sajak Pagi Hari
Magrib
Aku Mengaji (1)
Puisi-Puisiku
Oase Zam-Zam
Robek-Robeklah Dadaku
Disini Aku Mengaji (2)
Mengenang Sigi, Donggala, Palu, Menganga
Mari Berpantun
Puisi Untuk Presiden Jokowi
Kemerdekaan, Corona, dan Korupsi
Jangan Ada Rasa Lain Selain Aroma Indonesia
Firaun, Iblis dan Ken Arok 62
Istriku Sunarti
Sungai Ciliwung
Kau Yang Teduh
Kau Yang Terbaik
Selamat Pagi Dinda
Puisi dan Radio: Sebuah Epilog, Acep Zamzam Noor
Tentang Penulis