Ikhtisar
Kepak Sayap Bahasa: Kata, Makna, dan Ruang Budaya merupakan kumpulan esai yang mengangkat pernak-pernik kebahasaan yang “berkeliaran” mengelilingi kehidupan manusia Indonesia. Persoalan bahasa memang penuh warna dan lika-liku, meski kadangkala diabaikan tetapi terkadang membahana dengan letusan yang dahsyat. Bahasa itu universal, tetapi unik dan klasik. Berbeda dengan warisan budaya lainnya yang diturunkan nenek moyang kepada generasi penerusnya, bahasa bersifat lebih dinamis, fleksibel, dan senantiasa berkembang.
Bahasa memiliki daya pragmatik yang memperlihatkan keistimewaannya sebagai kekayaan intelektual manusia. Esai “Kritik dan Humor” mengulas kemahiran segelintir orang yang mengkritik dalam canda atau bergurau yang memuat hujah. Esai “Majas”, “Metafora Celana Tak Berpisak”, “Semiotika Melayu” dan “Sejuta Kata” membicarakan kekuatan bahasa sebagai intelektualitas manusia dalam berinteraksi.
Pernik bahasa lain yang cukup unik turut terungkap dalam buku ini seperti masalah pemaknaan unsur serapan dari bahasa asing yang melenceng dari makna sebenarnya dalam bahasa sumber, perbedaan makna sebuah kata dalam kelompok etnis yang berbeda di Indonesia, kata-kata yang mengalami “pelencengan” tetapi masif digunakan, penggunaan akronim yang adakalanya terkesan sesuka hati tetapi viral, dan salah kaprah dalam penamaan mamalia laut.
Beberapa peristiwa kebahasaan yang sempat fenomenal di Indonesia ditulis dalam esai yang berjudul “Dilan 1990”, “Hoaks”, “Gado-Gado di Belanda”, “Endemi, Epidemi, dan Pandemi”, ““Berwisata” ke Rumah Sakit”, dan “Bahasa Asing di Ruang Publik: Perlukah?” Kefenomenalan ini tidak sebatas karena menghebohkan, tetapi pada beberapa esai lebih ditekankan pada sikap bahasa masyarakat yang cenderung menyukai sesuatu yang berbau “asing”.
Kausalitas bahasa dan masyarakat, kaitan bahasa dan identitas, vitalitas bahasa ibu yang terancam punah, dan geliat literasi pada era milenial turut diangkat dalam buku ini. Persoalan bahasa memang terkesan “ringan”, tetapi jangan pernah menganggapnya tidak penting. Sebab, bahasa berkemampuan untuk melambungkan dan juga menenggelamkan. Paradoksal natural yang terjadi tanpa prediksi.
Ulasan Editorial
Lingkup wacana menyangkut bahasa adalah seluas dan sesemarak relung-relung kehidupan penuturnya. Memotretnya adalah bagaikan mencari dan kemudian menemukan keunikan baru dari wajah bahasa dan penuturnya itu. Buku ini mencoba mencatat pernak-pernik itu, yang walaupun gambarannya seperti hanya sesingkat peristiwa yang direkamnya, ia sejatinya akan dapat menjadi catatan peristiwa masa depan juga. Laksana waktu yang akan senantiasa berputar, maka peristiwa bahasa pun akan selalu berulang; yang berbeda hanya lakonnya. Membacanya bisa menjadi suguhan yang menyegarkan
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud, 2020
/
E. Aminudin Aziz
Membaca karya Fatmawati Adnan, Kepak Sayap Bahasa, pembaca seakan dibawa untuk berwisata ke dalam dunia bahasa, sastra, dan budaya. Kita diajak untuk menikmati pernak-pernik bahasa, sastra, serta budaya. Setelah membaca beberapa tulisannya ini kiranya pembaca akan merasakan betapa bahasa dan sastra itu penting bagi pengayaan intelektual, penting untuk menumbuhkan kecintaan kepada budaya dan bangsa kita. Pembaca akan memetik manfaat setelah membaca buku ini. Fatmawati Adnan peneliti dan penulis produktif dari Balai Bahasa Provinsi Riau telah berhasil memotret realitas keseharian penggunaan bahasa Indonesia juga bahasa daerah. Melalui salah satu tulisannya, “Peribahasa di Toko Roti”, misalnya, ia bahkan bukan hanya sekadar menyajikan penggunaan peribahasa daerah yang semakin hari agaknya semakin terpinggirkan, tetapi ia juga memberikan apresiasi bagi pengelola toko roti yang menaruh perhatian pada penggunaan peribahasa di tokonya. Penyertaan peribahasa di sebuah toko roti bukanlah hal yang lazim. Tempat peribahasa biasanya bukan di sana. Namun, justru itulah yang menjadi salah satu kelebihan seorang Fatmawati Adnan: kejelian! Ia jeli melihat sesuatu yang kecil, tetapi mampu memantiknya untuk menulis. Ia juga sejatinya mengajak orang untuk lebih mencintai bahasa dan sastra Indonesia dan daerah
Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau (Agustus 2020—sekarang), Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud
/
Muhammad Muis bahasawan
Buku itu ibarat teman, kata Musthafa Luthfi al-Manfaluthi, esais Mesir yang kondang pada zamannya. Teman yang dikenalkan Fatma kali ini tampil dalam sosok yang lengkap dan utuh. Ada sebilangan wacana yang memuat makna yang bergizi karena penuh dengan vitamin budaya sebagai abstraksi pengalaman hidup manusia. Ya, kata itu bergantung pada kandungan nutrisinya. Semakin kaya nutrisi, semakin sehat spiritualitas kita. Saya senang menikmati santapan khas Riau yang menyehatkan ruhaniah. Selamat, Fatma
Direktur SPs UPI Bandung
/
Syihabuddin
言語と文化の密接な関係についての著者による詳細な 分析、また読者をひきつける温かい語り口が印象的である。 それは自身の言語について再考する機会を与えてくれるもの である。言語学その他の広範な知識に基づき、 story tellerと しての著者の能力と言語に対する鋭い感性、クリティカルな 思考が十分に発揮されている。あらためて言語というのは財 産であるということに気づかされる。読者は、著者と一緒に 言語についてあれこれ考える楽しい時間を過ごすことができ るだろう。インドネシア語を学んでいる日本の人にもぜひ読 んでもらいたいと思う本である。
Saya sangat terkesan dengan analisis mendetail yang dipaparkan oleh penulis mengenai hubungan erat antara bahasa dan budaya, dan juga cara bertutur yang hangat mampu mengajak pembaca untuk berpikir bersama. Berdasarkan pengetahuan yang luas tentang linguistik dan bermacam bidang ilmiah lain, isi buku ini mencerminkan kemampuan penulis sebagai storyteller, sensitivitas terhadap bahasa, dan pikiran yang kritikal. Buku ini membuat saya sadar kembali bahwa “bahasa adalah harta.” Saya yakin pembaca akan menikmati sewaktu mempertimbangkan berbagai aspek bahasa bersama penulis. Saya ingin merekomendasikan buku ini kepada semua orang yang sedang belajar bahasa Indonesia
Lecturer, Osaka University, Graduate School of Language and Culture, Studies in Language and Society
/
Matsumura Toshio
Pendahuluan / Prolog
Kata pengantar
Alhamdulillah… ungkapan syukur berulang-ulang tertanam di hati dan terucap di bibir. Buku sederhana yang memuat kumpulan esai ini akhirnya diterbitkan. Tiada akan terwujud hasil kerja ini tanpa pertolongan dari Sang Pencipta Allah Swt.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian, demikian katakata penulis besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer. Agaknya, mengikut kata-kata bijak inilah terbersit keinginan untuk mencurahkan gagasan dan pemikiran ke dalam tulisan. Dimulai dari coba-coba, akhirnya tertulis juga 35 esai seputar bahasa.
Tentunya, sebagai karya penulis yang masih merangkak untuk mampu berjalan tegak, esai yang terangkum dalam buku ini hanyalah sebuah renungan yang belum dalam dan kupasan yang belum tajam. Akan tetapi, hasrat untuk mencurahkan gagasan menjadi kalimat-kalimat yang terangkai dalam tulisan itu menguasai hati. Jadilah buku ini diterbitkan.
Kepak Sayap Bahasa, frasa ini dicuatkan oleh Ibu Frieda Amran (antropolog Indonesia yang sudah 33 tahun bermukim di Belanda). Beberapa artikel ditulis ketika penulis “beranjangsana” ke negeri kincir angin itu, yaitu Semiotika Melayu, Gado-Gado di Belanda, Bahasa (Orang) Indonesia, Bahasa dan Kampus, Mamalia Laut dan Rumput Laut, Melayu dan Barat, Menghilangtimbulkan Huruf H, Perempuan dan Badai, Sejuta Kata, dan Menghidupkan Sastra.
Frasa “Kepak Sayap Bahasa” merefleksikan sifat bahasa yang dinamis, lentur, dan “ringan”; tetapi mampu terbang tinggi mengarungi angkasa interaksi kehidupan manusia. Bahasa tidak hanya dinamis dan lentur, tetapi juga merasuk ke seluruh sendi kehidupan. Ada di mana-mana, merelung ke ceruk, menguar ke udara. Terkadang terkesan sepele seolah hanya remah, namun terkadang juga menguat seperti tsunami sebab mampu meluluhlantakkan.
Tulisan yang terangkum dalam buku Kepak Sayap Bahasa: Kata, Makna, dan Ruang Budaya mengangkat sangat sedikit persolan bahasa di tengah-tengah jutaan pernik bahasa yang mengelilingi manusia. Seluruh tulisan sudah dipublikasikan di kolom bahasa “Alinea” Harian Riau Pos dengan tulisan pertama Bahasa dan Realitas Sosial yang terbit tanggal 8 Mei 2016. Tulisan terbaru berjudul Pidato Adat dan Bahasa Figuratif terbit tanggal 29 November 2020.
Sekadar mengklasifikasikan, terbentuklah 7 ruang yang mengategorikan muatan tulisan ini. Ada beberapa tulisan yang mengusung “kekuatan” bahasa dan komunikasi, ada pula persoalan bahasa berupa kasus-kasus kebahasaan yang terjadi, tak lupa pula hoyak bahasa yang mengangkat fenomena kebahasaan, kelindan bahasa dan masyarakat, bahasa dan identitas, dan sekilas tentang literasi.
Terima kasih tulus tak terhingga dihaturkan kepada Bapak E. Aminuddin Azis (Jakarta), Bapak Muhammad Muis (Pekanbaru), Bapak Syihabuddin (Bandung), Bapak Toshio Matsumura (Osaka, Jepang), Bapak Muhammad Syawal Narawi (Kedah, Malaysia), Ibu Frieda Amran (Hoogerheide, Belanda), dan Ibu Savitri Elias (Jakarta). Terima kasih atas diskusi yang bernas, inspirasi yang indah, dan pencerahan yang gemilang dari para “guru” yang telah bersedia membaca buku ini dan memberikan testimoni.
Di tengah kondisi menipisnya kecintaan membaca buku pada era milenial yang cenderung digital, semoga saja himpunan tulisan ini disambut hangat oleh pembaca. Tiada lain cita-cita yang terselubung di balik penerbitan buku ini selain memberikan ilmu yang (semoga) bermanfaat. Semoga harapan tinggi ini terwujud di tangan pembaca. Amin.
Senapelan,
Januari 2021
Daftar Isi
Sampul
Testimoni
Kata pengantar
Daftar isi
Daya Pragmatik Bahasa
Kritik dan Humor
Majas
Metafora Celana Tak Berpisak
Semiotika Melayu
Sejuta Kata
Pernik Bahasa
Takjil
Lokalitas Bahasa
Menghilangtimbulkan Huruf H
Akronim
Mamalia Laut dan Rumput Laut
Hoyak Bahasa
Dilan 1990
Hoaks
Gado-Gado di Belanda
Endemi, Epidemi, dan Pandemi
“Berwisata” ke Rumah Sakit
Bahasa Asing di Ruang Publik: Perlukah?
Bahasa dan Masyarakat
Bahasa dan Realitas Sosial
Poliglot
Anak-Anak dan Bahasa
Pejabat dan Bahasa
Melayu dan Barat
Perempuan dan Badai
Bahasa dan Identitas
Indonesia Bagus
Bahasa dan Identitas Etnik
Bahasa Perempuan
Bahasa (Orang) Indonesia
Pidato Adat dan Bahasa figuratif
Vitalitas Bahasa
Hari Bahasa Ibu
Nasib Bahasa
Bahasa dan Kampus
Literasi
Anak dan Sastra
Hari Buku Anak Sedunia
Baca Tulis, Moyang Literasi
Menghidupkan Sastra
Peribahasa di Toko Roti
Indeks
Tentang penulis
Kutipan
Bahasa dan Realitas Sosial
Air beriak tanda tak dalam, bermakna sindiran kepada seseorang yang terlalu banyak berbicara tetapi tidak memahami permasalahan dengan sebuah peribahasa yang baik. Atau, seseorang yang berlagak pintar dengan banyak berbicara tetapi justru memperlihatkan kedangkalan ilmunya.
Peribahasa itu disusun dari 5 kata yang tidak berhubungan sama sekali dengan sebuah perilaku tidak cerdas yang arogan. Kejadian pada alam sekitar dijadikan sebagai simbol yang dimaksudkan untuk menyindir perilaku manusia. Berkias dan bersayap. Penggunaan kata-kata berkias dan bersayap dapat dimaknai sebagai penyampaian maksud yang tidak langsung mengena.
Dilihat dari bahasa yang digunakan, peribahasa disusun dengan mempertimbangkan etika dan estetika. Bahasa yang beretika maksudnya adalah bahasa yang mempertimbangkan kesantunan melalui kata-kata yang digunakan dan cara penyampaiannya. Bahasa yang berestetika bertolak dari pilihan dan rangkaian kata yang mengandung keindahan.
Bandingkan dengan ungkapan yang pernah populer beberapa waktu yang lalu: Jaka Sembung bawa golok, nggak nyambung, Goblok! Kalimat ini terdengar “sadis” dan diyakini akan mempermalukan seseorang secara langsung dan terbuka.
Bandingkan lagi dengan kata-kata sarkastis yang banyak “berkeliaran” di media sosial dewasa ini: bodoh, bego, lemot, lola (loading lama), lelet, dan lainnya. Hujatan, caci maki, dan kemarahan-kemarahan tidak terkendali diekspresikan secara langsung dan terbuka dengan bahasa yang kasar. Setiap orang (tidak terkecuali anak-anak) menyaksikan ekspresi bahasa yang mempertontonkan arogansi para penuturnya.
Ketika kata-kata sarkastis itu merajalela secara terbuka di ruang-ruang publik, ”rumah budaya” yang menyimpan kesantunan dan kehalusan budi pekerti seolah-olah diguncang gempa. Bayangkan jika kondisi ini terus tumbuh dan menyubur di negeri yang (terkenal dengan kesantunan dan keramahannya) ini, tentu saja “rumah budaya” itu porak poranda.