Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Rumah C1nta hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Perlindungan Tahanan dari Penyiksaan dan Ill Treatment di Indonesia

1 Pembaca
Rp 80.000 15%
Rp 68.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 204.000 13%
Rp 58.933 /orang
Rp 176.800

5 Pembaca
Rp 340.000 20%
Rp 54.400 /orang
Rp 272.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Proses dan tempat penyidikan masih menjadi hal yang sangat “eksklusif” yang berisiko memunculkan tindakan-tindakan kekerasan dari aparat. Dalam beberapa kasus tidak jarang pada proses penyidikan kekerasan dilakukan untuk mempersingkat waktu penyidikan agar tersangka cepat melakukan pengakuan. Salah satu instrumen internasional yang dapat digunakan dalam perlindungan tahanan di masa penyidikan adalah melalui Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT). Salah satu arti penting ratifikasi OPCAT adalah dimungkinkannya penambahan cara-cara monitoring terhadap hak-hak yang termuat di dalam perjanjian yang asli (UNCAT). Pengalaman berharga dapat dipetik dari ratifikasi Protokol Opsional untuk Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (Kovenan dan Protokol, keduanya mulai berlaku tahun 1976) dan Protokol Opsional tahun 1999 untuk Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dimana keduanya dapat memberikan penguatan komitmen serta kebijakan penghapusan diskriminasi. Selain itu, kedua Protokol Opsional ini juga memperluas kompetensi masing-masing komite monitoring untuk menerima komunikasi-komunikasi dan melakukan investigasi terhadap pelanggaran perjanjianperjanjian pokok. Jadi meskipun bersifat opsional, keberadaan OPCAT sangat dibutuhkan di Indonesia guna memastikan adanya pendekatan baru yang memastikan transparansi dan akuntabilitas khususnya di tempat-tempat penahanan. Analisis kebijakan ditingkat POLRI dalam hal pencegahan segala bentuk penyiksaan, perlakukan atau penghukuman tidak manusiawi yang potensial melanggar martabat kemanusiaan khususnya pada proses pemeriksaan dan penahanan menunjukan bahwa masih terdapat problem instrumental, structural, dan kultural. Problem krusial dalam aspek instrumental tersebut meliputi: pertama, transformsi paradigma POLRI menjadi polisi sipil berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 menjadi modalitas kuat dalam mengimplementasikan serangkaian kebijakan dan instrumen HAM; kedua, serangkaian kebijakan normatif yang sudah ada menunjukan bahwa dalam pelaksanaan fungsi preventif, preemtif, maupun represif, masih terdapat celah-celah dimungkinkannya terjadi tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat; ketiga, atas dasar prinsip proporsionalitas, “kekerasan” dalam penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri masih mendapatkan ruang bahkan dilindungi secara hukum khususnya dalam penanganan konflik; keempat, meskipun secara umum substansi hukum terkait dengan prinsipprinsip HAM sudah diakomodir sampai pada kebijakan level Kapolri, namun kebijakan ini nampaknya belum sampai menyentuh pada aspek perspektif personal, teknis detil atas tugas (SOP), pendekatan, maupun budaya organisasi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan melalui pendekatan KUHAP yang dominan dengan pendekatan “clearance rate” atau “crime clearance”. Tuntutan adanya “clearance rate” pada organisasi kepolisian pada akhirnya menjadi pola budaya organisasi yang berpengaruh pada aspek personal penyidik. Pendekatan ini erat kaitannya dengan crime control model dimana efisiensi proses pidana itu menjadi intinya kerja profesi kepolisian, tidak jarang dilakukan dengan mengabaikan kualitas dari proses penyidikan. Meskipun secara normatif substansial model pemeriksaan “inkuisitur (inquisitoir)” telah berubah dan diganti dengan model “akuasatur (accusatoir)”, namum internalisasi model terbaru belum sepenuhnya dapat dijalankan pada kepolisian. Hal ini nampak dari fokus utama dalam model interogasi terhadap tersangka yang hanya berfokus pada pendekatan pengkuan niat jahat (mensrea).

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Triantono

Penerbit: Pustaka Rumah C1nta
ISBN: 9786234321579
Terbit: Juli 2023 , 128 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Proses dan tempat penyidikan masih menjadi hal yang sangat “eksklusif” yang berisiko memunculkan tindakan-tindakan kekerasan dari aparat. Dalam beberapa kasus tidak jarang pada proses penyidikan kekerasan dilakukan untuk mempersingkat waktu penyidikan agar tersangka cepat melakukan pengakuan. Salah satu instrumen internasional yang dapat digunakan dalam perlindungan tahanan di masa penyidikan adalah melalui Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT). Salah satu arti penting ratifikasi OPCAT adalah dimungkinkannya penambahan cara-cara monitoring terhadap hak-hak yang termuat di dalam perjanjian yang asli (UNCAT). Pengalaman berharga dapat dipetik dari ratifikasi Protokol Opsional untuk Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (Kovenan dan Protokol, keduanya mulai berlaku tahun 1976) dan Protokol Opsional tahun 1999 untuk Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dimana keduanya dapat memberikan penguatan komitmen serta kebijakan penghapusan diskriminasi. Selain itu, kedua Protokol Opsional ini juga memperluas kompetensi masing-masing komite monitoring untuk menerima komunikasi-komunikasi dan melakukan investigasi terhadap pelanggaran perjanjianperjanjian pokok. Jadi meskipun bersifat opsional, keberadaan OPCAT sangat dibutuhkan di Indonesia guna memastikan adanya pendekatan baru yang memastikan transparansi dan akuntabilitas khususnya di tempat-tempat penahanan. Analisis kebijakan ditingkat POLRI dalam hal pencegahan segala bentuk penyiksaan, perlakukan atau penghukuman tidak manusiawi yang potensial melanggar martabat kemanusiaan khususnya pada proses pemeriksaan dan penahanan menunjukan bahwa masih terdapat problem instrumental, structural, dan kultural. Problem krusial dalam aspek instrumental tersebut meliputi: pertama, transformsi paradigma POLRI menjadi polisi sipil berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 menjadi modalitas kuat dalam mengimplementasikan serangkaian kebijakan dan instrumen HAM; kedua, serangkaian kebijakan normatif yang sudah ada menunjukan bahwa dalam pelaksanaan fungsi preventif, preemtif, maupun represif, masih terdapat celah-celah dimungkinkannya terjadi tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat; ketiga, atas dasar prinsip proporsionalitas, “kekerasan” dalam penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri masih mendapatkan ruang bahkan dilindungi secara hukum khususnya dalam penanganan konflik; keempat, meskipun secara umum substansi hukum terkait dengan prinsipprinsip HAM sudah diakomodir sampai pada kebijakan level Kapolri, namun kebijakan ini nampaknya belum sampai menyentuh pada aspek perspektif personal, teknis detil atas tugas (SOP), pendekatan, maupun budaya organisasi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan melalui pendekatan KUHAP yang dominan dengan pendekatan “clearance rate” atau “crime clearance”. Tuntutan adanya “clearance rate” pada organisasi kepolisian pada akhirnya menjadi pola budaya organisasi yang berpengaruh pada aspek personal penyidik. Pendekatan ini erat kaitannya dengan crime control model dimana efisiensi proses pidana itu menjadi intinya kerja profesi kepolisian, tidak jarang dilakukan dengan mengabaikan kualitas dari proses penyidikan. Meskipun secara normatif substansial model pemeriksaan “inkuisitur (inquisitoir)” telah berubah dan diganti dengan model “akuasatur (accusatoir)”, namum internalisasi model terbaru belum sepenuhnya dapat dijalankan pada kepolisian. Hal ini nampak dari fokus utama dalam model interogasi terhadap tersangka yang hanya berfokus pada pendekatan pengkuan niat jahat (mensrea).

Pendahuluan / Prolog

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kahadirat Allah Swt. yang telah memberikan segala kenikmatan sehingga kami dapat menyelesaikan buku dengan judul “Perlindungan Tahanan dari Penyiksaan dan Ill Treatment di Indonesia” Kehadiran buku ini dilandasi oleh keprihatinan masih adanya praktik-praktik penyiksaan maupun ill treatment bagi tahanan yang sedang berproses hukum. Larangan perbuatan penyiksaan dan ill treatment yang bersifat mutlak dan nonderogable

sudah menjadi bagian dari konstitusi dan hukum nasional serta hukum internasional. Larangan ini berlaku di setiap waktu dan di setiap tempat. Tidak ada pengecualian, entah dalam situasi perang, ketidakstabilan politik, keadaan darurat lainnya untuk mencari justifikasi bagi tindakan penyiksaan dan ill treatment. Opsional protokol (OPCAT) memberikan kerangka yang lebih jelas dan pasti guna memberikan perlindungan bagi tahanan namun belum mendapatkan ruang pengakuan secara normatif melalui ratifikasi.

Semoga kehadiran buku ini dapat bermanfaat, dan segala masukan menjadi keniscahyaan guna memperkaya dialektika serta perbaikan buku ini dikemudian hari.

Daftar Isi

Sampul Depan
Halaman Sampul
Hak Cipta
Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
Penerbit Pustaka Rumah C1nta
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Refleksi Problematik
     Isu Krusial dan Identifikasi Masalah
     Kerangka Problematik
Bab II Kerangka Konseptual
     Penyiksaan, Perlakuan, dan Penghukuman yang Kejam
     Hak Asasi Manusia dan Martabat Kemanusiaan
     Polisi dan Kepolisian
Bab III Hak Bebas dari Penyiksaan dan Ill Treatment Bagi Tahanan
     Instrumen Internasional dan Kebijakan Hukum Nasional Terkait Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia
          1. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan, atau Penghukuman Lain yang kejam, Tidak Manusiawi, atau Merencahkan Martabat Manusia (UNCAT)
          2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahk
          3. Protokol Opsional untuk Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan, atau Penghukuman Lain yang kejam, Tidak Manusiawi, atau Merencahkan Martabat Manusia (OPCAT)
     Kebijakan Hukum di Lingkungan Polri dan Upaya untuk Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia
          1. Kedudukan dan Peran Polri dalam Paradigma Polisi Sipil
          2. Analisis Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan Polri
          3. Prospek Adaptasi Kebijakan Hukum di Lingkungan POLRI dalam Menentang Penyiksaan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam
Bab IV Arti Penting dan Prospek Ratifikasi OPCAT
Daftar Pustaka
Profil Penulis
Sampul Belakang