Tampilkan di aplikasi

Buku UGM Press hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Kebijakan Publik Dalam Pusaran Perubahan Ideologi

Dari Kuasa Negara Ke Dominasi Pasar?

1 Pembaca
Rp 96.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 288.000 13%
Rp 83.200 /orang
Rp 249.600

5 Pembaca
Rp 480.000 20%
Rp 76.800 /orang
Rp 384.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Perubahan dari masa Orde Baru menuju Reformasi, turut membentuk pengaturan ulang bagi berjalannya akumulasi kapital dan relasi kekuasaan negara. Pada masa Orde Baru kekuasaan berjalan secara terpusat. Kebijakan publik menjadi kewenangan tunggal dari pemerintah di bawah kendali rezim otoriter Soeharto. Walaupun liberalisasi pasar telah dibuka di pertengahan 1980-an, tetapi kepentingan akumulasi kapital harus bernegosiasi dengan rezim penguasa agar mendapatkan konsesi. Sementara kuasa pendisiplinan oleh negara menjadi peranti agar rakyat menuruti kehendak penguasa. Proses demokrasi dikekang dengan dalih stabilitas dan pembangunan ekonomi nasional. Gerakan rakyat didepolitisasi dengan kebijakan massa mengambang (floating mass). Namun, pada perkembangannya, perlawanan terhadap kuasa negara-kapitalistik versi Orde Baru tetap bermekaran.

Pada tahun 1998, kuasa negara yang telah dibangun dan dipertahankan selama lebih dari 32 tahun pada akhirnya runtuh oleh angin perubahan. Krisis ekonomi, gerakan rakyat, dan perpecahan di kelas elite menjadi pemantik jatuhnya rezim Soeharto. Seperti bunga di musim semi, cita-cita perubahan tumbuh bermekaran menghiasi era baru yang disebut “Reformasi”. Proses demokratisasi secara politik mulai terjadi. Akan tetapi bunga-bunga yang mekar itu mulai layu ketika ketimpangan ekonomi justru semakin melebar, ekonomi nasional terkoyak, dan pemaksaan “pembangunan” untuk tujuan akumulasi kapital telah mengorbankan rakyat kecil. Dapat dibilang, setelah terjerat oleh kuasa negara, Indonesia kini terkurung dalam rezim dominasi pasar.

Buku yang hadir di hadapan pembaca ini mengulas tentang kebijakan publik di Indonesia yang berada dalam pusaran perubahan ideologi dari kuasa negara ke dominasi pasar. Perubahan rezim dan relasi kuasa, turut mengubah proses pengaturan yang dilakukan oleh negara, kekuatan bisnis, dan gerakan rakyat. Buku ini dengan pendekatan studi kritis, analisis historis dan komparatif menyediakan analisis tajam terhadap kondisi ekonomi politik Indonesia pasca 20 tahun Reformasi. Buku ini menunjukkan bahwa di tengah keruwetan politik, ekonomi, dan sosial-budaya di Indonesia, selalu ada alternatif lain untuk membawa perubahan ke arah keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi sebagian besar rakyat.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Wahyudi Kumorotomo
Editor: Yuyun Purbokusumo

Penerbit: UGM Press
ISBN: 9786023863037
Terbit: Maret 2024 , 342 Halaman










Ikhtisar

Perubahan dari masa Orde Baru menuju Reformasi, turut membentuk pengaturan ulang bagi berjalannya akumulasi kapital dan relasi kekuasaan negara. Pada masa Orde Baru kekuasaan berjalan secara terpusat. Kebijakan publik menjadi kewenangan tunggal dari pemerintah di bawah kendali rezim otoriter Soeharto. Walaupun liberalisasi pasar telah dibuka di pertengahan 1980-an, tetapi kepentingan akumulasi kapital harus bernegosiasi dengan rezim penguasa agar mendapatkan konsesi. Sementara kuasa pendisiplinan oleh negara menjadi peranti agar rakyat menuruti kehendak penguasa. Proses demokrasi dikekang dengan dalih stabilitas dan pembangunan ekonomi nasional. Gerakan rakyat didepolitisasi dengan kebijakan massa mengambang (floating mass). Namun, pada perkembangannya, perlawanan terhadap kuasa negara-kapitalistik versi Orde Baru tetap bermekaran.

Pada tahun 1998, kuasa negara yang telah dibangun dan dipertahankan selama lebih dari 32 tahun pada akhirnya runtuh oleh angin perubahan. Krisis ekonomi, gerakan rakyat, dan perpecahan di kelas elite menjadi pemantik jatuhnya rezim Soeharto. Seperti bunga di musim semi, cita-cita perubahan tumbuh bermekaran menghiasi era baru yang disebut “Reformasi”. Proses demokratisasi secara politik mulai terjadi. Akan tetapi bunga-bunga yang mekar itu mulai layu ketika ketimpangan ekonomi justru semakin melebar, ekonomi nasional terkoyak, dan pemaksaan “pembangunan” untuk tujuan akumulasi kapital telah mengorbankan rakyat kecil. Dapat dibilang, setelah terjerat oleh kuasa negara, Indonesia kini terkurung dalam rezim dominasi pasar.

Buku yang hadir di hadapan pembaca ini mengulas tentang kebijakan publik di Indonesia yang berada dalam pusaran perubahan ideologi dari kuasa negara ke dominasi pasar. Perubahan rezim dan relasi kuasa, turut mengubah proses pengaturan yang dilakukan oleh negara, kekuatan bisnis, dan gerakan rakyat. Buku ini dengan pendekatan studi kritis, analisis historis dan komparatif menyediakan analisis tajam terhadap kondisi ekonomi politik Indonesia pasca 20 tahun Reformasi. Buku ini menunjukkan bahwa di tengah keruwetan politik, ekonomi, dan sosial-budaya di Indonesia, selalu ada alternatif lain untuk membawa perubahan ke arah keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi sebagian besar rakyat.

Pendahuluan / Prolog

Kata Pengantar
Reformasi Mei 1998, menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah panjang Indonesia sebagai bangsa. Reformasi 1998 menjadi saksi sejarah kekuasaan yang dibangun dengan cara-cara militeristik dan authoritarian, bukan sesuatu yang laten dan paripurna. Rezim Soeharto yang berkuasa lebih dari 32 tahun pada kenyataannya dapat dilengserkan oleh angin perubahan. Krisis ekonomi 1997/1998 menjadi pendulum bagi masifnya protes. Hingga akhirnya Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Seperti bunga di musim semi, cita-cita perubahan bermekaran untuk menciptakan proses demokratisasi.

Kini tidak terasa 20 tahun lebih peristiwa reformasi telah berlalu.

Cita-cita perubahan untuk menciptakan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, masih banyak yang belum terpenuhi. Secara formal reformasi telah membawa perubahan secara institusional. Akan tetapi secara substansial, reformasi dipertanyakan. Ketimpangan ekonomi semakin membesar, kedaulatan ekonomi belum juga terwujud, dan kesejahteraan masih hanya dimiliki oleh segelintir orang. Rezim kekuasaan memang telah berubah.

Setelah 32 tahun negeri ini di bawah bayang-bayang kuasa negara, hadinya reformasi membawa sistem ekonomi dan kekuasaan baru yaitu dominasi pasar. Melalui ideologi dan praktik neoliberal, Indonesia menjadi bagian dari rantai eknomi kapitalisme global. Setelah sebelumnya berada pada disiplin ketat rezim Soeharto (walaupun sudah menerapkan ekonomi neoliberal), kini Indonesia berada pada disiplin pasar bebas. Implikasinya nalar pembangunan bersandar pada ideologi itu.

Buku yang hadir di hadapan pembaca ini menggunakan pendekatan kritis dan analisa historis serta komparatif dalam merefleksikan mozaik kebijakan publik di Indonesia paska 20 tahun reformasi. Berbagai sisi berjalannya kekuasaan di analisis secara kritis dalam karya ini, yaitu seperti tentang mempertanyakan kembali sejarah dan nasionalisme Indonesia, analisa tentang media massa, militerisme, gerakan sosial (gerakan buruh, perempuan, tani, dan adat), proses pemilu, hingga birokrasi. Buku ini adalah pengembangan dari hasil diskusi yang dilakukan oleh MAP Corner- Klub MKP FISIPOL UGM dengan ditulis oleh para intelektual, aktivis, dan praktisi.

Buku ini terbagi menjadi empat bagian utama yang masing-masing mempunyai beberapa bab yang menggambarkan perubahan besar— maupun stagnan—Indonesia hingga saat ini. Perkara kelam kejahatan kemanusiaan 1965 dan tahun-tahun berikutnya masih menjadi jalan terjal yang sampai sekarang belum terselesaikan. Di Bab 1 Cahyati menunjukan upaya-upaya pengungkapan kebenaran dan upaya rekonsiliasi tidak kunjung berhasil sebab tidak lepas dari penyangkalan aktor-aktor yang memiliki kaitan dengan peristiwa itu yang masih memiliki pengaruh di kekuasaan. Pemerintah cenderung menggunakan cara non yudisial tanpa perlu untuk mengungkapkan kebenaran dalam merespon tuntutan pelurusan sejarah dan mengembalikan martabat para penyintas yang selama ini dituduh sebagai musuh negara. Tidak jauh dari persoalan penyangkalan kebenaran pasca 1965, Utomo di Bab 2 mengupas kebijakan media setelah regim Soeharto berkuasa hingga saat ini. Saat era Orde Baru, kendali atas media dikontrol pemerintah dengan serangkaian aturan tentang izin penerbitan dan pendirian media. Setelah regim Soeharto tumbang, kebijakan media beralih menjadi dikontrol oleh segelintir orang kaya atau konglomerasi media. Dapat disebut, bahkan sesudah 20 tahun Reformasi, kebebasan pers masih didominasi narasi freedom from, bukan freedom for. Di bab berikutnya, Arifin & Rizal mempertanyakan makna Indonesia dan nasionalisme yang jauh dari ideal dengan mengkajinya secara historis. Nasionalisme arus-utama hari ini menurut mereka mengalami pendangkalan makna sebab hanya menjadi jargon yang jauh dari problem keseharian masyarakat kelas bawah. Nasionalisme yang berkembang tidak lagi anti-kolonialisme atau anti-imerialisme seperti yang terkonstruksi saar era Soekarno, akan tetapi menjadi kepanjangan tangan para oligarki.

Pada bagian kedua buku ini membahas tentang Birokrasi, Militerisme dan Kekuatan Bisnis. Birokrat dan aparat militer merupakan bagian dari birokrasi, ia melakukan tugas membantu pemerintah mengelola negara dan kepentingan umum. Dalam negara demokratis, hubungan antara birokrasi dan demokrasi seharusnya saling melengkapi.

Birokrasi korup pada era orde baru menjadi salah satu agenda reformasi birokrasi, sementara di sisi militer—dwi fungsi ABRI—terjadi pemisahan fungsi militer dari panggung politik. Namun birokrasi yang diharapkan mendukung demokrasi tampaknya tidak terjadi seperti cita-cita Reformasi. Kumorotomo di Bab 4 menyentil cita-cita reformasi birokrasi yang hanya ditafsirkan sebagai perbaikan remunerasi bagi para PNS.

Birokrasi gagap untuk disiapkan berdaya saing secara professional dan masih dianggap sebagai mesin uang bagi penguasa daerah. Meskipun demikian, Kumorotomo masih berharap pada gagasan progresif dapat dituangkan di dalam UU-ASN menjadi kabar sejuk bagi rencana reformasi birokrasi di tanah air. Reformasi birokrasi di Indonesia tidak hanya citacita tunggal pemerintah pasca lengsernya Soeharto. Pemerintah dalam melakukan reformasi ini, ia juga mendapat berbagai saran dari lembaga internasional. Nilai-nilai neoliberal, seperti good governance diadopsi dan dianggap sebagai obat mujarab agar kondisi ekonomi paska krisis 1998 pulih. Namun nilai good governace, tidak selalu berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat. Widianto di Bab 5 memperlihatkan relasi good governance dan birokrasi perijinan yang justru melayani penggerusan uang dalam kasus Eskpansi Hotel di Kota Yogyakarta. Praktik yang sudah berjalan tersebut jauh dari menciptakan tata pemerintahan yang baik bagi masyarakat kota Yogyakarta sebab good governance tersebut cenderung melayani kepentingan eskpansi kapitalisme pariwisata. Sementara di bidang militer, Goraahe (Bab 6) menunjukan peran militer sebagai alat pertahanan negara justru masih terlibat dalam kegiatan politik dan proyek bisnis. Dalam kasus di Lanud Leo Wattimena Morotai, TNI menjalankan tugasnya dengan tidak profesional karena terlibat dalam urusan publik.

Sedangkan penguasa dan birokrasi yang mengetahui praktik tersebut, cenderung membiarkannya.

Praktik budaya birokrasi era kolonial hingga sekrang menurut Rizal di Bab 7 masih terwariskan. Identitas birokrasi hari ini masih dipengaruhi oleh praktik-praktik kolonialisme yang masih berlanjut atau kolonialisme bentuk baru yang melahirkan kehidupan diskriminatif, langgengnya kolusi-nepotisme dan relasi kekuasaaan tidak setara. Kultur paternalistik yang muncul pada masa feodal bahkan sampai saat ini belum hilang.

Upaya untuk memperbaiki birokrasi salah satunya dilakukan dengan terobosan kebijakan “lelang jabatan”. Nugraha di Bab 8 menjabarkan lelang Jabatan Ala Jokowi sebagai bagian dan reformasi birokrasi. Namun lelang jabatan Lurah dan Camat di DKI Jakarta sewaktu Jokowi menjabat sebagai Gubernur itu masih menghadapi tembok konservatisme birokrasi.

Bagian ketiga buku ini mengangkat tentang proses pergantian kekuasaan melalui Pemilu (Pemilihan Umum). Di Bab 9, Raditya dan Kartika mengupas proses depolitisasi paska Peristiwa 1965 yang yang menggeser proses Pemilu menjadi nir-ideologi. Partai-partai politik yang berkontestasi tidak lagi memiliki ikatan dengan rakyat dan cenderung menjadi kepanjangan tangan para elit politik demi tujuan konservatif. Jati di Bab 10 kemudian menyoroti politik kelas menengah dalam dinamika politik di tengah berkembangnya ideologi populisme maupun voluntarisme yang merupakan bentuk tema dan payung besar dari gerakan politik hari ini. Sementara di Bab 11, Sunardi memotret upaya perlawan kelompok masyarakat sipil—terutama kelompok nelayan— melalui jalur elektoral terhadap dominasi oligarki di Takalar, Sulawesi Selatan. Dominasi oligarki paska 20 tahun reformasi yang diklaim tidak tergoyahkan, dalam beberapa kasus mendapatkan perlawanan serius walaupun sifatnya masih terfragmentasi. Oligarki yang menjadi benalu di dalam kehidupan bernegara dalam menjalankan operasi kuasa hampir selalu membutuhkan justifikasi. Pada konteks ini mereka menggunakan intelektual atau akademisi untuk tujuan pembenaran. Sidik di Bab 12 menganalisis tentang kemunculan dan praktik intelektual pragmatis yang mengabdi pada kepentingan modal. Dia menggunakan kasus ekspansi kelapa sawit di Indonesia sebagai pintu masuk untuk menganalisis kecenderungan intelektual yang menggadaikan proses akademik untuk mendapatkan kekayaan secara instan.

Di bagian terakhir buku ini membahas tentang Gerakan Sosial, dari gerakan masyarakat adat, petani, perempuan, dan buruh. Kemunculan gerakan sosial ini seringkali didasari ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan dari pemerintah yang dirasa akan mengeksklusi atau mengancam keberlangsungan hidup mereka. Novianto di Bab 13 mengantarkan kita pada analisis terhadap konflik pembangunan pabrik semen di Kabupaten Pati yang turut melibatkan masyarakat adat Samin atau Sikep. Artikulasi politik saminisme dalam gerakan tolak pabrik semen telah membawa efek yang kuat dalam menentang kuasa modal. Sehingga terjadi upaya titik pembalikan yang dilakukan oleh kuasa hegemonik untuk merebut artikulasi saminisme. Setelah artikulasi saminisme mendapatkan pertentangan di akar rumput, maka identitas perempuan dan petani menjadi lebih ditonjolkan dalam proses gerakan. Di Bab 14, Sudiono menguraikan akar terjadinya proses marginalisasi terhadap perempuan. Dengan analisa materialisme historis, Sudiono melihat bahwa marginalisasi tersebut bukan proses alami, tetapi merupakan akibat dari adanya relasi kelas dan struktur kekuasaan yang dapat dirunut secara historis.

Dua puluh tahun Reformasi yang merubah relasi kuasa dari otoritarianisme regim Orba menjadi neoliberalisasi di bawah disiplin pasar, turut merubah kebijakan perburuhan di Indonesia. Nugroho di Bab 15 menyajikan dinamika sejarah gerakan buruh di Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari kepengaturan rezim yang berkuasa. Pada saat regim Soeharto berkuasa, kontrol represif diterapkan. Sementara paska reformasi keran kebebasan berserikat dibuka akan tetapi ada kontrol dari kebijakan neoliberal berupa pasar kerja fleksibel yang membuat terjadinya ilusi dalam kebebasan berserikat. Di Chapter terakhir, Indrakusuma menceritakan pengalamannya dalam pergerakan buruh di Kabupaten Bekasi. Indrakusuma menunjukan bahwa terjadi kebangkitan gerakan buruh pada tahun 2011 hingga 2015. Akan tetapi mengalami penurunan setelah terjadi reorganisasi kuasa hegemonik untuk menundukan proses pergerakan.

Buku yang ada di hadapan pembaca ini adalah kumpulan kepingan atau mozaik kebijakan publik di Indonesia untuk menganalisis kondisi sosial, ekonomi, dan politik setelah 20 tahun Reformasi. Buku ini berupaya menggambarkan dinamika kehidupan bernegara dari berbagai sisi. Buku ke 4 dari MAP Corner-Klub MKP FISIPOL UGM ini tidak hanya membeberkan permasalahan yang dihadapi bangsa, tetapi dengan analisa kritisnya juga menawarkan alternatif lain.

Kami berharap semoga buku ini dapat menjadi oase-oase di tengah permasalahan bangsa dan keringnya budaya berpikir kritis. Buku ini juga semoga dapat menjadi bagian kecil dari upaya menemukan dan memperjuangkan kembali cita-cita revolusi Indonesia 1945 dan reformasi 1998.

Daftar Isi

Sampul
Halaman Judul
Copyright
Prakata Editor
Daftar Isi
Pendahuluan
     Memotret Demokrasi Indonesia Pasca 20 Tahun Reformasi: Selalu Ada Alternatif
Bagian Pertama: Sejarah dan Ekonomi Politik Kebijakan Publik
     Penuntasan Kejahatan Kemanusiaan 1965: Jalan Terjal Pasca Reformasi
     Kebebasan (Semu) Pers di Indonesia: Tinjauan atas Kebijakan Media dari Masa ke Masa
     Involusi Nasionalisme di Indonesia: Antara Sejarah, Hegemoni Negara, dan Kegagalan Membuat Proyek Bersama
Bagian Kedua: Birokrasi, Militerisme, dan Kekuatan Bisnis
     Proses Bisnis dan Daya-Saing: AgendaReformasi Birokrasi yang Tertunda
     Memfasilitasi Perebutan Ruang: Good Governance dan Ekspansi Hotel di Kota Yogyakarta
     Disorientasi Militer Pasca-Reformasi: Kasus Lanud Leo Wattimena Morotai
     Mengukir Wajah Birokrasi: Identitas Birokrat Indonesia dari Era Kolonial Hingga Reformasi
     Lelang Jabatan a la Jokowi: Reformasivs Konservatisme Birokrasi
Bagian Ketiga: Birokrasi Pemilu dan Kekuasaan
     Depolitisasi dan Akar Pemilu NirIdeologi di Indonesia
     Pola Gerakan Kelas MenengahIndonesia dalam Pemilu Pasca-OrdeBaru
     Sisi Gelap Perlawanan Nelayan diTakalar Menentang “Dominasi Oligarki” Petahana
     Sawit Bukan Penyebab Deforestasi?: Kekuasaan dan Intelektual Pragmatis diIndonesia
Bagian Keempat: Gerakan Sosial dan Politik Alternatif
     Berebut Saminisme: Artikulasi Politik Masyarakat Adat dalam Konflik Pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng
     Pembebasan Perempuan Indonesia: Perspektif Historis
     Serikat Buruh dalam Pusaran Neoliberalisme: Antara Kontrol Represifdan Ilusi Kebebasan Berserikat
     Cerita Dari Akar Rumput: KebangkitanGerakan Buruh di Bekasi
Identitas Penulis
Tentang MAP Corner-Klub MKP Fisipol UGM
Publikasi MAP Corner-Klub MKP Fisipol UGM