Tampilkan di aplikasi

Buku Bitread hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Memoar Cinta dari Firdaus

1 Pembaca
Rp 59.000 50%
Rp 29.500

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 88.500 13%
Rp 25.567 /orang
Rp 76.700

5 Pembaca
Rp 147.500 20%
Rp 23.600 /orang
Rp 118.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Biarkanlah takdir berjalan di lintasan orbitnya. Tetaplah mencoba semampu yang kau bisa. Sedangkan hasil akhirnya, serahkan saja pada Dia. Jikalah engkau adalah lelaki, maka jadilah peminang surga. Dan jikalah engkau muslimah, jadilah muslimah yang dirindu surga, hingga engkau layak dicemburui oleh para bidadari surga. Jagalah hatimu selalu. Menantilah dalam ruang rindu. Percantiklah hatimu dengan asma-Nya. Semoga Ia mempertemukan kita. Jika pun tidak, kitalah yang akan bertemu dengan-Nya. Inilah memoar cinta dari Firdaus.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Ibadurrahman el-Firdaus

Penerbit: Bitread
ISBN: 9786237109075
Terbit: Oktober 2018 , 163 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Biarkanlah takdir berjalan di lintasan orbitnya. Tetaplah mencoba semampu yang kau bisa. Sedangkan hasil akhirnya, serahkan saja pada Dia. Jikalah engkau adalah lelaki, maka jadilah peminang surga. Dan jikalah engkau muslimah, jadilah muslimah yang dirindu surga, hingga engkau layak dicemburui oleh para bidadari surga. Jagalah hatimu selalu. Menantilah dalam ruang rindu. Percantiklah hatimu dengan asma-Nya. Semoga Ia mempertemukan kita. Jika pun tidak, kitalah yang akan bertemu dengan-Nya. Inilah memoar cinta dari Firdaus.

Pendahuluan / Prolog

Sebuah Akhir yang Tepat dan Terbaik
kita semua tentu menginginkan akhir hidup yang tepat dan terbaik. Namun, siapa sangka, meninggal di usia 26 tahun adalah jalan takdir yang telah Allah tetapkan untuknya. Sebuah ketetapan yang tepat dan terbaik menurut-Nya. Sedangkan kami di sini, yang ditinggalkan oleh almarhum, hanya bisa terkejut dan merasa kehilangan sosoknya. Sahabat yang tepat dan terbaik. Insya Allah.

Lagi-lagi Allah menasihati kita melalui nasihat paling tepat dan terbaik. Dzikrul maut. Ia adalah penasihat paling sunyi, tapi pasti kebenarannya. Sebab kita semua adalah makhluk ciptaan-Nya. Maka sudah menjadi hal yang seharusnya, setiap yang bernapas akan merasakan mati. Kullu nafsin dzaiqotul maut.

Kematian adalah sebuah kepastian. Tak ada seorang pun yang bisa memastikan kapan terjadinya. Tak peduli apakah itu terjadi pada bayi, remaja atau orang tua sekalipun. Semua pasti merasakannya. Sebab ia bisa datang pada siapa saja, di mana saja dan dengan cara apa saja. Lalu, persiapan apa yang harus kita lakukan untuk menghadapinya? Tugas kita hanyalah beribadah dengan niat, amal dan tujuan yang terbaik. Demi Dia, Sang Maha Terbaik.

Kami terhanyut dalam memori. Tepat di detik-detik saat kami mengingat kembali, bagaimana cerita almarhum El Firdaus saat akan menghadap Tuhannya. Caranya memang cukup istimewa. Sebab ia merasakan nikmatnya mengalami kecelakaan lalu lintas. Mungkin, itulah jalan paling tepat dan terbaik dari Allah untuk memanggilnya kembali ke haribaan-Nya.

“Jam berapa, Bun?” tanya almarhum kepada Bundanya. “Jam 8, Nak,” jawab ibunya tanpa mengalihkan pandangannya dari putra kesayangannya itu. Rasa khawatir menyergap ke dalam sulbinya. Merasakan insting yang tak biasa akan terjadi pada putranya. Hingga dadanya dipenuhi dengan rasa khawatir, sakit sekaligus juga kehilangan. Padahal putranya itu masih bisa tersenyum menatapnya. Korneanya mulai menghanyutkan ekskresi. Air mata itu tumpah.

Mungkin karena ia tahu bahwa hati ibu manapun akan merasakan perihnya luka yang diderita anaknya. Bahkan jika itu mungkin, seorang ibu akan meminta Allah berikan beratnya rasa sakit itu untuknya. Bukan untuk putranya. Namun, qadarullah, apa yang Allah kehendaki pasti itulah yang akan terjadi.

Bunda pun menjawab pertanyaan putranya, seolah-olah tak sadar bahwa saat itu jarum jam masih menari di angka 7 dan 12. Artinya, masih pukul 19.00 wib. Almarhum pun meminta ibunya untuk membantunya tayammum. Ia ingin segera shalat, menghadap kepada Tuhannya. Meski kedua tangan dan kakinya diikat. Agar tak banyak bergerak.

“Cepat… cepat... cepat... Bun, waktunya sudah mau habis.” Bunda pun bergegas membantunya tayammum. Kakak almarhum pun membantunya shalat. Almarhum pun shalat hanya dengan gerakan mata. Mulai dari takbir hingga salam. “Bun, tolong bacakan Ibad Surat Ar-Rahman, ya, Bun.” Lantunan Surat Ar-Rahman pun diputar. Terdengar amat syahdu.

Hatinya bergetar hingga meluruhkan semua rasa sakit yang dirasakannya. Napasnya semakin melemah. Hawa dingin menyergap kakinya. Perlahan demi perlahan, hawa dingin itu semakin naik; ke lutut, paha, perut, dan tangannya. Kulitnya semakin memucat pasi, seakan-akan darah berhenti tercekat di sana. Membeku di atas tubuhnya yang mulai kaku.

Keluarga yang menyaksikannya pun panik. Semua merasakan insting yang tak biasa. Kali ini, seakan menjadi saat terakhir bagi mereka menatap dan bersama dengan Ibad. “Dokter mana???” “Dokternya mana???” “Dokternya mana???” Pertanyaan itu diucapkan Bunda dan Ayah berulang kali. Namun, tak ada satu pun yang menjawabnya. Semua merasa panik, takut dan sedih melihat apa yang terjadi.

“Bun, jangan panggil dokter. Panggil Allah aja,” sahut Ibad dengan nada yang lirih. Namun, upaya Ibad untuk menenangkan keluarganya itu tampaknya sia-sia. Semua orang semakin panik melihatnya. “Tolong pandu Ibad, ya. Laa ilaaha ilallah. Muhammadurrasulullah.” Berulang kali Ibad mengucapkannya. Semakin lama, semakin lemah suaranya. Hingga hilang suaranya. Bibirnya mengeras. Kaku. Diam, tak bergerak lagi. Tak ada lagi suaranya yang mengudara. Benar-benar tertelan sunyi.

Dan kini, tubuhnya telah terbujur kaku. Sedangkan ruhnya telah kembali ke haribaan Allah, untuk selamanya. Gundukan tanah merah itu pun menjelma menjadi pendiangan tanpa ruh. Tanpa taburan bunga di peti ataupun kuburannya, sesuai dengan apa yang diamanahkan Ibad kepada keluarganya sebelum ia meninggal.

“Masya Allah akhina Ibadurrahman el Firdaus, insya Allah surga untukmu. Sama seperti namamu,” begitulah kurang lebih isi pesan teks yang disampaikan oleh Mbak Fitri kepada kami. Kalimat itu sekaligus mengakhiri kisahnya tentang akh Ibad yang meninggal di Cirebon. Tepat pada tanggal 24 Februari 2016.

Semoga kepergian almarhum menjadi akhir yang tepat dan terbaik, yaitu khusnulkhotimah. Aamiin yaa Robbal’alamiin. Semoga kita juga bisa mengambil hikmah di balik peristiwa ini. Karena sejatinya semua manusia juga akan meninggalkan dunia yang fana ini dan pasti mengalami episode “kematian.” Lalu, pertanyaannya, “Sudahkah kita menyiapkan sebaik-baik bekal untuk menghadapinya?”

Daftar Isi

Sampul
Pengantar Penyusun
Sebuah Akhir yang Tepat dan Terbaik
Surat Cinta dari Bunda dan Ayah
Testimony
Daftar isi
     Tepat dan Terbaik!
     Tentang Hujan
     Nikmatnya Penghambaan
     Allah, Perencana Terbaik
     Masa Depan itu Misteri
     Milik Kita Hari ini adalah yang Paling Baik
     Tentang Duka dan Tawa
     Hakikat Bahagia
     Nikmat Diuji
     Karena Hidup adalah Pilihan
     Jejak Sarat Hikmah
     Dag Dig Dug Hatiku
     Saat 23 Mensalehkan
     No Pain, No Gain
     Teratai, Si Pemikat Nan Eksklusif
     The Super Family
     Wanita Salehah
     Orang yang Paling Spesial
     Cinta dalam Diam
     Ketika Cinta Dirahasiakan
     Cinta Salah
     Goresan Penantian
     Kerinduan Hati
     Memaknai Arti Cinta
     Hati yang Terlewatkan
     Doa Terbaik
     Ramadhan Istimewa
     Cinta Ibu, Sepanjang Hayat
     Kisah Malam
     Menjalankan Peran Kita
     Menjadi Asing
     Percantik Diri, Yah!
     Totalitas
     Pelangiku
     Kopi Udara
     Penghapus Kelezatan
     Serakan yang Amat Berharga untuk Dibuang
Epilog: Menggores Pena Menuai Hikmah
Daftar Pustaka
Tentang Penulis
Tentang Tim Penyusun