Ikhtisar
Penggunaan metode tematis dalam mengkaji topik-topik fiqhiyah memang menjadi pola pengkajian para fuqahâ' sejak semula. Memperhatikan gairah ilmiah yang tumbuh-berkembang pada masa lalu yang demikian tinggi, tentu bukan masalah ketika mereka merangkum semua tema-tema kajian tersebut dalam beberapa bendel buku besar, sampai berjilidjilid, antara 5 sampai 60 jilid, seperti kitab fikihnya Ibnu Rif'ah, seorang pakar fikih kenamaan dalam madzhab Syafii.
Namun, memperhatikan iklim keilmuan kita masa kini, di negeri yang hiruk-pikuk oleh isuisu non-ilmiah-diniah, tentu tidak 'muqtadâ alhâl' jika para ulama merangkum penjabaran tema-tema fiqhiyah itu dalam tumpukan buku tebal-tebal (sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu) untuk kemudian disuguhkan kepada masyarakat awam.
Maka, kecenderungan ulama masa kini yang menulis tema-tema fikih dalam bagian-bagian terpisah, dengan buku-buku yang terpisah pula, adalah langkah yang singkron dengan situasi dan kondisi masyarakat kita; permasalahan thahârah (sesuci) ditulis dalam buku tersendiri, pembahasan salat, puasa, haji dan zakat juga demikian, begitu pula dengan kajian mu'âmalât, munâkahât, jinâyât dan seterusnya.
Usaha sedemikianlah yang kini ditempuh oleh penulis dalam buku ini. Ia menyajikan pembahasan fikih munâkahat (fikih pernikahan) secara spesifik, dengan uraian yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga buku ini, sekalipun bersumber dari ungkapan-ungkapan (ta'bîr-ta'bîr, dalam istilah pesantrennya) berbahasa Arab yang agak rumit, bisa dengan mudah dicerna masyarakat awam, sehingga ajaran-ajaran agama kian membumi di tengahtengah mereka.
Pendahuluan / Prolog
Memahami Arti Nikah
Nikah merupakan syarî‘at (tatanan agama) yang berlangsung sejak Nabi Adam dan terus berlanjut hingga kehidupan di surga kelak. Aturan dan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan dalam nikah selalu mengalami perubahan seiring silih-bergantinya periode kenabian. Konon, di surga kelak penduduknya tetap diperkenankan menikah, bahkan dengan mahramnya sekalipun, selain dengan ashl dan far‘ (orang tua dan anak). Lebih dari itu, nikah menjadi bagian dari salah satu prinsip dasar hukum Islam yang lima (al-Ushûl al-Khams), dengan tujuan melestarikan keturunan (hifdh an-nasl).
Nikah, shadâq (maskawin) dan walîmah (resepsi pernikahan) disyariatkan pada tahun pertama hijriyah. Pada tahun yang sama juga datang penjelasan dari Allah mengenai batasan berpoligami. Dalam surat an-Nisa’ ayat 3, Allah berfirman yang artinya: “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” Di samping itu masih ada ketetapan hukum-hukum lain yang memiliki kaitan erat dengan nikah, seperti talak, rujuk, konflik keluarga (suami-istri) dan lain sebagainya, yang ditetapkan pada tahun yang berbeda.
Pensyariatan hukum-hukum ini dilakukan dengan tujuan untuk mengatur roda kehidupan, membangun keluarga dalam keseimbangan serta memberinya dasar dan asas Islami. Islam juga mengakui keabsahan akad nikah yang terjadi sebelum diturunkannya syariat Islam. Maka dari itu, jika ada orang non-muslim masuk Islam, ia tidak diharuskan meninjau ulang atau memperbaruhi akad nikah yang berlangsung sebelum masuk Islam.
Penulis
M. Syamsul Arifin Abu - Memulai belajar di MI. Miftahul Hidayah Glundengan, Wuluhan, Jember, lalu melanjutkan di MTs. Al-Maarif YASPIBIS (Yayasan Pendidikan Islam Bintang Sembilan), Wuluhan, Wuluhan, Jember (tamat 1987 M). Tahun 1990 M., ia melanjutkan belajarnya ke Pondok Pesantren Sidogiri (PPS) dan masuk di tingkat Ibtidaiyah dan berlanjut hingga tamat Aliyah pada tahun 2001 M.
Editor
Moh. Achyat Ahmad - Lahir di Pasuruan 22 tahun yang lalu (17-02-1984). Menempuh jenjang pendidikan Ibtida’iyah di Madrasah Miftahul Ulum (MMU) Oyoran Rembang Pasuruan, dan tingkat Tsanawiyah di MMU Kangkungan Rembang Pasuruan. Ia baru nyantri di Pondok Pesantren Sidogiri pada tahun 1421 H. / 2000 M. Satu tahun kemudian, ia menjalani tugas mengajar pada Madrasah Miftahul Hidayah, Banyualet Tanah Merah Bangkalan Madura. Selepas tugas mengajar, ia meneruskan thalab al-‘ilm-nya ke tingkat Aliyah di pesantren yang sama hingga selesai.
Daftar Isi
Sampul
Pedoman Transliterasi
Daftar Isi
Pengantar Penerbit
Catatan Editor
Sambutan
Pengantar Penulis
Bagian Satu: Memahami Arti Nikah
A. Kilas Sejarah
B. Pengertian Nikah
C. Tujuan Menikah
D. Nilai Positif Menikah
a. Mempunyai Anak
b. Mengalahkan Nafsu Syahwat
c. Rileksasi Nafsu dan Hati
d. Meringankan Beban Hidup
e. Menundukkan Nafsu
E. Larangan Membujang
F. Sisi Negatif Menikah
Bagian Dua: Kapan Anda Menikah?
Bagian Tiga: Wanita Idaman Dalam Islam
Bagian Empat: Hukum-Hukum Menikah
Bagian Lima: Saatnya Meminang
A. Pengertian Meminang
B. Landasan Hukum
C. Hukum-hukum Meminang
D. Melihat Wanita
E. Mencari Tahu
Bagian Enam: Prosesi Pernikahan
A. Shîghat
B. Calon Suami Dan Istri
C. Wali Nikah
a. Syarat-syarat Wali
b. Sebab-sebab dan Urutan Wali
c. Wali Tauliyah dan Muhakkam
d. Mereka yang Dilarang Menjadi Wali
e. Wali Mujbir dan Non-mujbir
f. Mewakilkan Akad Nikah (Wakâlah)
g. Wakâlah dalam Nikah
h. Keserasian (Kafâ’ah)
D. Saksi Nikah
Bagian Tujuh: Resepsi Pernikahan Dan Malam Pertama
A. Landasan Dan Hukum
B. Pelaksanaan Walîmah
C. Menghadiri Undangan
D. Tidak Menghadiri Undangan
E. Para Tamu
Maskawin (Shadaq)
A. Pengertian Maskawin
B. Landasan Hukum
C. Membayar Maskawin
D. Penyebutan Dalam Akad
E. Klasifikasi Maskawin
F. Klasifikasi Calon Istri
G. Bahan Maskawin
H. Beberapa Konsekwensi
Saat-saat Yang Istimewa
A. Kesunatan-kesunatan
B. Kemakruhan-kemakruhan
C. Keharaman-keharaman
Bagian Delapan: Poligami Dan Qasam
A. Pendahuluan
B. Hak Dan Kewajiban Suami Istri
Bagian Sembilan: Pernak-pernik
A. Aib Nikah
B. Penyimpangan Suami
C. Pembangkangan Istri (Nusyûz)
D. Percekcokan Suami Istri
E. Khulu
a. Pengertian Khulu
b. Rukun-rukun Khulu
F. Talak
a. Pengertian dan Dasar Talak
b. Hukum Talak
c. Rukun Talak
G. Rujuk
a. Definisi
b. Landasan Hukum
c. Rukun Rujuk
H. 'Iddah
a. Pengertian
b. Landasan Hukum
c. Hikmah ‘Iddah
d. Sebab-sebab ‘Iddah
e. Klasifikasi ‘Iddah
f. Ketentuan-ketentuan
g. Kewajiban-kewajiban
I. Ihdâd (Berkabung)
a. Pengertian Berkabung
b. Dasar Hukum
c. Hukum Berkabung
d. Larangan-larangan
Bagian Sepuluh: Memenuhi Hak
A. Nafkah
a. Waktu Pemberian Nafkah
b. Macam-macam Kebutuhan
B. Hadhânah
a. Tatanan Fikih
b. Anak Saleh dan Fitrah Manusia
c. Tanggungjawab Orang Tua
d. Tahapan Mendidik Anak
Indeks
Daftar Pustaka
Tentang Penulis
Catatan
Kutipan
Tujuan Menikah
Abu Bakr Ibnu Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi dalam I‘ânat ath-Thalibîn, mengutip penjelasan para dokter ahli, membagi tujuan nikah ditinjau dari segi lahiriah (sosiologis-biologis) menjadi tiga bagian berikut: Pertama, untuk menjaga kelangsungan hidup umat manusia. Karena dengan menikah berarti seseorang telah membuka jalan untuk melestarikan keturunannya. Berdasarkan tujuan ini, para pakar fikih mengharamkan nikah mut‘ah. Sebab nikah tipe ini telah menyimpang dari tujuan semula. Sebagian pakar fikih, dengan memakai dasar yang sama, ada yang berpendapat bahwa hukum menikah adalah fardhu kifâyah (kewajiban kolektif).
Kedua, untuk menyalurkan sperma dan memuncaknya libido yang jika dibiarkan mengendap di dalam tubuh dapat memicu timbulnya berbagai efek negatif, sebagaimana penjelasan dari hasil penelitian para dokter ahli.
Ketiga, untuk mendapatkan puncak kenikmatan yang tiada duanya di dunia ini. Menurut mayoritas ulama, kelezatan inilah yang akan tetap kekal sampai kehidupan di surga kelak. Sebab di sana tidak ada pelestarian keturunan sebagaimana kehidupan di dunia.
Menurut Imam al-Ghazali, orang yang normal biologis dan psikisnya pasti memiliki hasrat (nafsu) terhadap makanan, kebutuhan seksual, berhias, harta-benda dan lain-lain. Pada dasarnya, yang berpotensi mengancam keutuhan keberagamaan seseorang adalah syahwat perut (makan-minum) dan alat kelamin (seks). Dengan menjaga keduanya, agama seseorang akan dijamin keselamatannya dari segala macam penyim-pangan yang dapat menimbulkan ekses negatif. Sedangkan controlling terhadap alat kelamin yang paling efektif hanya dapat dilakukan dengan melangsungkan pernikahan melalui jalur yang ditetapkan oleh agama.
Sedangkan ditinjau dari sudut pandang agama, menikah memiliki beberapa tujuan, di antaranya untuk meningkatkan kuantitas umat Muhammad, sebagaimana dianjurkan oleh beliau dalam suatu Haditsnya, “Menikahlah kalian, maka kalian akan berkembang menjadi banyak. Sebab aku akan berbangga pada umat manusia dengan kalian kelak di hari Kiamat.” (Mushannaf Abdurazaq)