Tampilkan di aplikasi

Buku Nuansa Cendekia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

HOKI

Humor Kiai Bareng Kang Maman

1 Pembaca
Rp 25.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 75.000 13%
Rp 21.667 /orang
Rp 65.000

5 Pembaca
Rp 125.000 20%
Rp 20.000 /orang
Rp 100.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Isi buku ini bukan ludah, tapi sebuah perenungan dari realitas keseharian yang dialami penulisnya, yang diungkapkan penuh dengan kejenakaan melalui ironi yang rapi. Isi buku ini hanya “secuil” dari segudang pengalaman penyusun dalam mendampingi Kang Maman, panggilan akrab K.H. Maman Imanulhaq Faqieh, selama hampir tiga tahun baik sebagai saudara, asisten dan ketua Yayasan Al-Mizan, pesantren yang ia dirikan. Banyak hal menarik yang penyusun catat. Sebuah catatan yang seluruhnya berasal dari kejadian riil yang dialami Kang Maman serta komentar-komentarnya dalam berceramah dan mengkomunikasikan ide-idenya kepada masyarakat luas.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Zaenal Muhyidin
Editor: Mathori A Elwa

Penerbit: Nuansa Cendekia
ISBN: 9786023503643
Terbit: September 2017 , 173 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Isi buku ini bukan ludah, tapi sebuah perenungan dari realitas keseharian yang dialami penulisnya, yang diungkapkan penuh dengan kejenakaan melalui ironi yang rapi. Isi buku ini hanya “secuil” dari segudang pengalaman penyusun dalam mendampingi Kang Maman, panggilan akrab K.H. Maman Imanulhaq Faqieh, selama hampir tiga tahun baik sebagai saudara, asisten dan ketua Yayasan Al-Mizan, pesantren yang ia dirikan. Banyak hal menarik yang penyusun catat. Sebuah catatan yang seluruhnya berasal dari kejadian riil yang dialami Kang Maman serta komentar-komentarnya dalam berceramah dan mengkomunikasikan ide-idenya kepada masyarakat luas.

Pendahuluan / Prolog

Pengantar
Hikmah adalah kebaikan yang berlimpah, kebaikan yang diberikan pada siapapun yang dikehendaki Allah (Qs ikmah adalah kebaikan yang ber al-Baqarah: 269). Budaya pesantren, yang terkenal dengan sense of humor-nya, sangat kental mewarnai isi buku ini. Berisikan kisah yang beragam— penuh warna dan nuansa humor yang cerdas, buku ini mencerminkan tradisi (al-turats) pesantren yang khas. Di mana khazanah kejiwaan (makhzun al-nafs) yang bersifat material dan imaterial, seperti yang terkandung dalam kisahkisah di dalam buku ini, selalu dikembangkan untuk melahirkan pemikiran yang progresiftransformatif dalam upaya membangun masyarakat.

Sebagai learning society, pesantren selalu mengajarkan para santrinya untuk mengambil hikmah dari mana, di mana dan kapan pun, keberadaanya. Seperti pepatah, “hudzil hikmah walau man famm il-bahahim, ambil hikmah walau dari mulut binatang.” Atau dalam bahasa lain, ambil telur walau dari dubur ayam. Tapi buang apa yang keluar dari mulut pejabat, kalau itu ludah. Ludah, yang dalam istilah Bambang Q. Anees, adalah omongan yang sering dikeluarkan oleh seseorang-bukan karena dorongan nurani dan tidak mempertimbangkan daya tangkap orang lain, tapi karena nafsu dan kepentingan. Seperti yang disinyalir sebuah hadis Nabi yang tercantum dalam kitab Kifayah alAkhyar, “Barang siapa yang menuntut ilmu hanya karena ingin memamerkan kecanggihan berteori, keangkuhan di hadapan orang yang tidak mengerti, dan mengalahkan seseorang, maka siapkan tempat duduknya di neraka.” Isi buku ini bukan ludah, tapi sebuah perenungan dari realitas keseharian yang dialami penulisnya, yang diungkapkan penuh dengan kejenakaan melalui ironi yang rapi.

Isi buku ini hanya “secuil” dari segudang pengalaman penyusun dalam mendampingi Kang Maman, panggilan akrab K.H. Maman Imanulhaq Faqieh, selama hampir tiga tahun baik sebagai saudara, asisten dan ketua Yayasan Al-Mizan, pesantren yang ia dirikan. Banyak hal menarik yang penyusun catat. Sebuah catatan yang seluruhnya berasal dari kejadian riil yang dialami Kang Maman serta komentar-komentarnya dalam berceramah dan mengkomunikasikan ide-idenya kepada masyarakat luas.

Berbagai aspek komikal yang tersembunyi dalam berbagai kisah riil yang dialami Kang Maman, atau kisah–kisah lain yang dituturkanya, sesungguhnya mengikat sebuah keseriusan. Narasi komikalnya mengalihkan setiap kemapanan makna, sebuah kebenaran yang harus ditanggapi secara serius, menuju celahcelah, kontradiksi, dan ironi hingga membuatnya menjadi parodi yang selalu terlihat getir dan menertawai prilaku kita sehari-hari. Semuanya menjadi “daya tarik” tersendiri yang mencerminkan keuniversalan makna dan kedangkalan nilai kemanusiaan kita. Pesan kemanusiaan yang hendak disampaikan buku ini menjadi sangat penting di tengah banyaknya fenomena, yang mengindikasikan berlangsungnya sebuah kehidupan—yang tanpa disadari— telah melukai nilai kemanusiaan. Sehingga ia dapat membuka dimensi-dimensi ruhani kita dalam mengemban tugas kekhalifahan.

Menurut hemat saya, kisah-kisah humor Kang Maman, seperti juga puisinya, mengutip pernyataan Budayawan Ahmad Syubbanuddin Alwy, “menegaskan alur tema, estetika dan pesan sebagai bagian dari ungkapan seorang, dalam istilah K.H. Fuad Hasyim; “tukang ngomong” yang mengungkapkan realitas publik. Hal yang sama, saya kira, juga ditulis K.H. Mustofa Bisri dari Pondok Pesantren Raudlotul Tholibin Rembang. Keduanya berangkat dari pesantren, sama-sama penulis dan mubaligh yang mengeksplorasi kata-kata tidak berhenti pada konteks oral, melainkan juga pikiran-pikiran transenden-tekstual.” Ini terlihat dari tema penting, yang penulis berhasil kumpulkan, seperti tematema tentang kematian, keadilan Tuhan, dan kesetaraan. Detil-detil dalam kisah-kisahnya, menampilkan tokoh kiai, santri, jamaah, ruang lingkup pesantren dan arena dakwah yang digeluti sang kiai muda ini. Semua obyek itu tidak hanya dihadirkan sebagai pelengkap, tapi, kesemuanya, merupakan bagian penting yang menjadi ruh cerita. Tulisan ini semacam gugatan, lebih dari sekadar protes, merupakan pesan tentang keabsurdan kehidupan dunia ini.

Bagai prosa kehidupan yang jenaka yang serta merta menyentuh, yang membuat kita tergelak sementara pada saat yang sama berurai air mata karena duka. Terimakasih penyusun haturkan pada Kang Maman yang telah memberi kepercayaan pada penyusun untuk mendokumentasikan ideidenya serta “menelanjangi” aspek pribadinya.

Begitu pula, kepada Penerbit Nuansa Cendekia yang telah berkenan menerbitkan naskah ini. Semoga usaha semacam ini menjadi sesuatu yang berharga bagi dunia pesantren di masa yang akan datang. Terakhir, seperti ajakan Andrei G. Aleinikov dalam buku MegaKreativitas, “Berhentilah, Berhenti!” Mari berhenti sejenak untuk mengenali sisi komikal buku ini dan menertawai diri sendiri. Dengan begitu hidup kita ke depan barangkali akan menjadi lebih ringan.

Daftar Isi

Sampul
Tentang penyusun
Tentang Kang Maman
Pengantar
Kata pengantar
Daftar Isi
1 - Jawaban telepon
2 - Salah tempat
3 - Akibat Terlambat
4 - Ngantuk
5 - Kursi Kosong
6 - Paku Setan
7 - Kiai dan Call Girls
8 - Makan
9 - Tamak
10 - Makam Keramat
11 - Kafir
12 - Bahasa Arab
13 - Haji
14 - Arti Sebuah Nama
15 - Diktator
16 - Asma’ul-Husna
17 - Keluarga
18 - Terorisme
19 - Sarjana
20 - Shalat
21 - Adzan
22 - Gila
23 - Kearifan Kiai
24 - Santri
25 - Kematian
26 - Judi
27 - Anak Salih
28 - Politik
29 - Doa
30 - Ta’aruf
31 - Air Mata
32 - Masjid
33 - Pelayanan Publik
34 - Takdir
35 - Keadilan Allah
36 - Tauhid
37 - Tanah Suci
38 - Preman
39 - Shalawat
40 - Poligami
41 - Prinsip
42 - Blank Page