Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Musik Itu Politik: Studi Pengaruh Kebijakan Kebudayaan pada Perubahan Musik

1 Pembaca
Rp 150.000 30%
Rp 105.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 315.000 13%
Rp 91.000 /orang
Rp 273.000

5 Pembaca
Rp 525.000 20%
Rp 84.000 /orang
Rp 420.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Dari sudut pandang politik kebudayaan, buku ini menyajikan bagaimana pengaruh politik etis di zaman kolonial Belanda, kesenian sebagai bagian dari revolusi di zaman Orde Lama, kesenian adi luhung sebagai bagian dari pencarian puncak-puncak kebudayaan di zaman orde Baru serta mulai merebaknya konsep ekonomi kreatif dalam kesenian di masa awal-awal orde reformasi berpengaruh pada perkembangan musik (dalam hal ini Kakula sebagai budaya gong pada etnik Kaili di Sulawesi Tengah).

Buku ini mengidentifikasi hubungan antara Politik Kebudayaan dan musik yang terbentang cukup luas. Istilah yang dapat digunakan mulai dari tekanan, pendiktean, petunjuk, pengaruh, arahan, stimulus, sponsor, hingga mitra. Penggunaan istilah-istilah itu semuanya tergantung dari kasus yang dibicarakan dan terbatas pada konteks ruang dan waktu.

Musik menjadi tempat bertemu dan bernegosiasinya ideologi-ideologi identitas yang dipengaruhi semua aspek, terutama motivasi politik, yang silih berganti ataupun tumpang tindih satu sama lain. Buku ini menunjukkan bagaimana ideologi politik sangat berperan dalam mengonstruksi musik.

Buku ini diharapkan dapat memicu gairah dari pegiat seni, budayawan, dan peneliti di berbagai daerah untuk menyumbangkan narasi dari wilayah budayanya masing-masing agar dapat menjadi refleksi bersama. Buku ini cocok dibaca bukan saja oleh mahasiswa, peneliti tradisi lisan dan budaya lokal, tetapi juga untuk khalayak yang lebih luas, termasuk pegiat seni budaya, birokrat, pembuat kebijakan dan semua yang berkepentingan atas pertumbuhan kesenian nusantara.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Dr. Mohammad Amin, M. Sn., MA.

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786233210492
Terbit: Maret 2021 , 428 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Dari sudut pandang politik kebudayaan, buku ini menyajikan bagaimana pengaruh politik etis di zaman kolonial Belanda, kesenian sebagai bagian dari revolusi di zaman Orde Lama, kesenian adi luhung sebagai bagian dari pencarian puncak-puncak kebudayaan di zaman orde Baru serta mulai merebaknya konsep ekonomi kreatif dalam kesenian di masa awal-awal orde reformasi berpengaruh pada perkembangan musik (dalam hal ini Kakula sebagai budaya gong pada etnik Kaili di Sulawesi Tengah).

Buku ini mengidentifikasi hubungan antara Politik Kebudayaan dan musik yang terbentang cukup luas. Istilah yang dapat digunakan mulai dari tekanan, pendiktean, petunjuk, pengaruh, arahan, stimulus, sponsor, hingga mitra. Penggunaan istilah-istilah itu semuanya tergantung dari kasus yang dibicarakan dan terbatas pada konteks ruang dan waktu.

Musik menjadi tempat bertemu dan bernegosiasinya ideologi-ideologi identitas yang dipengaruhi semua aspek, terutama motivasi politik, yang silih berganti ataupun tumpang tindih satu sama lain. Buku ini menunjukkan bagaimana ideologi politik sangat berperan dalam mengonstruksi musik.

Buku ini diharapkan dapat memicu gairah dari pegiat seni, budayawan, dan peneliti di berbagai daerah untuk menyumbangkan narasi dari wilayah budayanya masing-masing agar dapat menjadi refleksi bersama. Buku ini cocok dibaca bukan saja oleh mahasiswa, peneliti tradisi lisan dan budaya lokal, tetapi juga untuk khalayak yang lebih luas, termasuk pegiat seni budaya, birokrat, pembuat kebijakan dan semua yang berkepentingan atas pertumbuhan kesenian nusantara.

Pendahuluan / Prolog

Kata pengantar
Tidak banyak suku bangsa di Indonesia yang beruntung seperti Suku Kaili di Sulawesi Tengah. Disebut beruntung karena Suku Kaili masih dapat mendengar irama masa lampaunya melalui lantunan instrumen dari sebuah Regalia yang amat mereka sakralkan. Regalia warisan para bangsawan Suku Kaili yang berkuasa pada era Pra-Kemerdekaan Indonesia, Magau (raja) dan aparat bangsawan penguasa lainnya, yaitu Madika dan Paranaka ). Regalia itu berupa seperangkat ensambel yang disebut Kakula, terdiri atas sederet bonang, dua buah gong, yang disebut tawa-tawa dan sebuah atau dua buah gendang sebagai pengiring.

Secara fisik, wujud dan bentuk Kakula sangat sederhana. Namun, perlu diketahui bahwa di balik kesederhanaan sebuah Regalia, sesungguhnya ia memiliki perjalanan sejarah yang amat panjang untuk memperoleh status sebagai sebuah benda yang disakralkan. Karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa wujud sederhana dari seperangkat Kakula sesungguhnya adalah ekspresi kesederhanaan dan kebersahajaan Suku Kaili itu sendiri.

Apa yang ditulis oleh Mohammad Amin (selanjutnya disebut Amin) dalam buku ini sesungguhnya adalah sebuah sejarah sosial, karena Amin sebenarnya tidak hanya membahas masalah instrumen musik tetapi lebih dari itu, ia telah menjelaskan terjadinya perubahan sosial dalam kehidupan Masyarakat Donggala, khususnya Suku Kaili. Tulisannya dalam buku ini memang bukan kajian sejarah politik, sejarah peperangan, sejarah pemberontakan, gerakan sosial atau revolusi berdarah. Tulisannya pun tidak seperti pada umumnya tulisan dan kajian-kajian sejarah konvensional, yang selama ini hanya melihat kejadian dari dimensi politik semata dengan uraian yang sangat naratif dan sederhana, karena hanya berisi kisah tentang peristiwa-peristiwa politik yang hanya menceritakan apa yang terjadi, kapan kejadiannya, di mana terjadi dan siapa pelakunya, serta berapa banyak korban jiwa dan berapa kerugian benda yg diakibatkan, tanpa menjelaskan mengapa hal itu terjadi.

Berbeda dengan tulisan Amin dalam buku ini yang sesungguhnya adalah sebuah sejarah sosial yang dikajinya melalui pendekatan Etnomusikologi. Pendekatan yang bersifat multidimensional ini sangat interdisiplin sifatnya, seperti pendekatan yang digunakan dalam kajian sejarah sosial pada umumnya, yakni dengan tidak melihat sebuah peristiwa dari atas permukaan sejarah, tetapi mencermati peristiwa itu dari lapisan terbawah dari kehidupan sosial yang sedang berlangsung, Dari sudut pandang keilmuan seperti itu, tulisan Amin ini menjadi sangat penting untuk dibaca terutama bagi yang tertarik mengkaji fenomena tentang “Kelanjutan Tradisi dalam Perubahan Sosial” yang terjadi di berbagai daerah di negeri ini setelah Kemerdekaan Indonesia. Bisa dibayangkan betapa pada era Prakemerdekaan pada zaman kekuasaan para Magau (raja) dan para golongan bangsawan penguasa ( ma’ dika dan paranaka) menyakralkan Kakula dan menjadikannya sebagai Regalia, tidak hanya menjadikan Kakula sebagai instrumen pengiring daur kehidupan, tetapi juga menjadikannya sebagai simbol identitas strata. Kemudian, pada era Pasca-Kemerdekaan Indonesia, yang ditandai dengan munculnya elit penguasa baru, yang sekalipun tidak bisa dinafikan bahwa elite penguasa baru itu secara geneologi masih erat hubungannya dengan elite penguasa lama (Magau, Madika, dan Paranaka).

Pada era Pasca-Kemerdekaan, terutama sekitar tahun 1949 -1950 hingga tahun 1960-an, dinamika kehidupan, kenegaraan diwarnai oleh kegiatan politik yang bertemakan Diplomasi Kebudayaan. Ketika itu hampir semua sumber daya kebudayaan dikerahkan untuk membangun citra. Berbagai kampanye budaya dilakukan ke luar negeri dan bermacam macam festival diadakan di dalam negeri, semuanya dalam rangka memperkenalkan lahirnya sebuah negara baru yang bernama Republik Indonesia.

Untuk mengisi kegiatan itu Pemerintah Pusat dan Daerah bekerja keras dengan sungguh-sungguh mengangkat semua potensi seni budaya yang tersebar di seluruh Indonesia. Kekayaan budaya itulah yang dikemas untuk diperkenalkan berbagai negara dalam Program Diplomasi Budaya. Di sisi lain, karya-karya budaya itu dikembangkan untuk memperkuat Identitas Nasional di masing masing daerah.

Dalam hubungan itulah, misalnya, di Makassar (Sulawesi Selatan), di awal kemerdekaan dikenal seorang seniman musik pencipta lagu daerah, “Bora Daeng Irate”, pelopor modernisasi lagulagu daerah Makassar, yang kemudian mengangkatnya menjadi ikon daerah di tingkat nasional melalui sebuah ciptaannya yang amat terkenal “Angin Mammiri”.

Seorang lagi bangsawan Bugis Koreografer Tari bernama Andi Nurhani Sapada ( 1926-2010) yang berhasil menciptakan berbagai kreasi yang gerak dasarnya berasal dari tari tradisional milik para bangsawan. Melalui tangan Andi Nurhadi Sapada, tarian klasik itu ditata ulang menjadi sebuah tari nasional yang sejak tahun 1950-an menjadi tarian utama untuk acara resmi kenegaraan. Tari Pakkarena hasil kreasinya, disuguhkan pada berbagai Festival budaya, dijadikan materi wajib dalam lomba tari daerah, lebih dari itu menjadi tari wajib dalam kurikulum di sekolah-sekolah karawitan dan di berbagai perguruan tinggi seni di Sulawesi Selatan hingga kini.

Demikian juga di Sumatra Barat, misalnya, dengan kehadiran seorang koreorafer tari legendaris Minangkabau, Huria Adam (1936 -1971) yang mengadopsi gerak gerak pencak silat Minangkabau menjadi gerak tari Minang yang sangat dinamis pada tahun 1950-an .dan menjadikan Tari Minang tidak hanya sebagai identitas Sumatra Barat , tapi juga menjadi ikon nasional.

Seorang lagi maestro tari bernama Guru Sauti ( 1903- 1963) koreografer , penata tari Melayu yang amat terkenal dari Sumatra Utara, pencipta tari Serampang 12 . Ciptaan ciptaannya tidak hanya menjadi ikon Sumatera Utara , tetapi juga menempatkannya sebagai kebanggaan nasional.

Dalam Kaitan itulah Nama Hasan Bahasyuan ( 1930 - 1997) di Sulawesi Tengah selaku pencipta Kakula Kreasi seperti yang dituliskan Amin, menjadi sangat penting peranannya. Melalui tangan Hasan Bahasyuan, Kakula Kreasi yang diciptakannya berhasil memenuhi kebutuhan diplomasi budaya di Sulawesi Tengah ketika itu (Th 1950 - 1960an). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kakula Kreasi adalah wujud dari sebuah upaya pencarian identitas baru Sulawesi Tengah di bidang seni budaya dalam tatanan nasional.

Bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa eksistensi Kakula Kreasi dalam ritual birokrasi masih tetap bertahap hingga kini. Jika itu yang terjadi, tidaklah mengherankan bahwa kemudian masyarakat Suku Kaili di Talise menggugat kepemilikan Kakula. Bagi mereka, jika Kakula Nuada adalah legalitas kebangsawanan dari para Magau, Madika, dan Paranaka. Sementara Kakula Kreasi sudah menjadi representasi Sulteng di tingkat nasional dan juga sudah menjadi instrumen Formal pengiring acara-acara resmi pemerintah, maka apakah rakyat biasa tidak punya hak untuk ikut memiliki Kakula, mengembangkan dan memanfaatkannya sebagai sebuah tanggung jawab moral dari rakyat biasa dalam melestarikan kebudayaan Kaili.

Atas dasar itulah mereka ciptakan sendiri instrumen Kakula yang materinya berasal dari tangki lampu petromak pada tahun 1980 dan kemudian disempurnakan dengan menggunakan materi besi pelat pada tahun 1990. Apa yang dilakukan oleh orang Kaili di Kampung Talise, sesungguhnya bukan hanya sebuah kreasi, melainkan lebih dari itu sebuah protes sosial yang amat santun karena apa yang mereka lakukan itu dimaksudkan tidak akan mengusik kepemilikan Kakula Nuada secara historis.

Kakula Nuada Talise diciptakan sebagai instrumen yang jangkauannya sangat luas. Lebih dari itu Kakula Nuada Talise adalah milik semua orang Kaili tanpa kecuali, karena semua orang bisa menikmatinya: kapan saja, di mana saja dan untuk keperluan apa saja, dengan persyaratan yang sangat mudah, hanya kesepakatan tentang pembayaran sewa peralatan dan berapa besar honor untuk para pemainnya. Setelah didapatkan kata putus, maka tak perlu menunggu lama karena segera setelah itu Kakula Nuada Talise segara beraksi. Suaranya yang keras, cemerlang, dan melengking tanpa gema segara menyemarakkan suasana dan masyarakat yang mendengarkannya pun menemukan seketika sebuah kepuasan spiritual sebagai orang Kaili.

Namun, apakan pencarian jatidiri masyarakat Donggala Suku Kaili sudah selesai? Jawabannya belum. Karena dalam waktu yang bersamaan dinamika masyakat terus bergerak memasuki era industri kreatif pada Zaman Milenium dewasa ini. Kemudian muncul pertanyaan, “Mampukah orang Kaili berselancar dengan Kakula di atas gelombang tsunami teknologi digital yang melanda dunia saat ini? Amin menjawabnya, “Bisa”, yakni melalui penciptaan Formula Kontemporer yang menggunakan konsep Ethnotainment, dalam kemasan EMP (Ensambel Modero Palu). Saat ini formula itu sedang berproses, dan beradaptasi dalam kehidupan kaum milenial di Sulawesi Tengah, dari hari ke hari, menembus perjalanan waktu dan biarkanlah sejarah mencatatnya.

Selamat Membaca.

Jakarta 20 Januari 2021

Daftar Isi

Sampul
Kata pengantar
Daftar isi
Bab 1 Pendahuluan
     1.1 Latar Belakang
     1.2 Tujuan Kajian
     1.3 Manfaat Kajian
     1.4 Ruang Lingkup Kajian
     1.5. Studi Pustaka
     1.6 Sistematika Penulisan
Bab 2 Landasan konsep dan metodologi: Kakula sebagai bentuk dan identitas sebagai isi
     2.1 Landasan Konseptual
     2.2 Metodologi Penelitian
Bab 3 Konteks sejarah kakula: Inkulturasi dan politisasi instrumen melayu
     3.1 Kakula Nuada
     3.2 Kakula Kreasi Baru
     3.3 Ensambel Modero Palu
     3.4 Kesimpulan
Bab 4 Kakula nuada dan kakula kreasi baru: Kontruksi dua identitas dari penguasa
     4.1 Kakula Nuada sebagai Identitas Madika - Paranaka
     4.2 Kakula Kreasi Baru sebagai Identitas Nasional
     4.3 Dua Tradisi dalam Satu Panggung
     4.4 Kesimpulan
Bab 5 Kakula nuada talise: Sebuah pencarian identitas etnik
     5.1. Kakula Nuada Talise sebagai Identitas Etnik
     5.2 Kesimpulan
Bab 6: Kakula kontemporer: Pemaknaan baru dan individual terhadap tradisi
     6.1 Kakula Kontemporer sebagai Identitas Individu
     6.2 Kesimpulan
Bab 7 Penutup
     7.1 Kakula yang Dialektis
     7.2 Peran Individu Pembaharu
     7.3 Kakula, Politik, dan Revitalisasi
     7.4 Penelitian Selanjutnya
Daftar referensi
Epilog
Indeks
Tentang penulis