Ikhtisar
Buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah Angin ini merupakan jilid pertama dari dua jilid penyusunan kronik permulaan kebudayaan Asia Tenggara dari tahun 1450 hingga 1680. Anthony Reid bersemangat meneliti secara cermat kehidupan sehari-hari masyarakat dalam hal wilayah, makanan, perumahan, perniagaan, pola-pola kesejahteraan, dan pertunjukan populer. Kajiannya memungkinkan kita menyadari adanya pertautan dan variasi yang luar biasa dalam mozaik Asia Tenggara yang rumit.
Pembaca bisa menyimak kajian tentang Asia Tenggara sebagai kesatuan fisik dan kesatuan manusia, kesejahteraan fisik (jumlah penduduk, pola pertanian penggunaan tanah, kuliner, hingga wabah dan penyakit epidemik yang melanda Asia Tenggara), kebudayaan material (perabotan, pakaian, kerajinan emas dan perak, serta berbagai produk fisik berupa logam), pengaturan masyarakat (peperangan, mobilisasi buruh, hukum perkawinan, hingga peran perempuan), dan pesta keramaian dan dunia hiburan (Negara panggung, permainan rakyat, hingga kesusastraan lisan dan tulisan).
Pendahuluan / Prolog
Prakata
Sejarah umat manusia merupakan jalinan tak berkelim. Tak satu pun bagian dari sejarah itu yang bisa diisolasikan, terutama bagian yang termasuk dalam jalinan perniagaan internasional, seperti halnya pada ”tanah di bawah angin.” Tapi bagi kita yang mempelajari wilayah ini, tidaklah begitu mudah untuk melihat jalinan intemasional itu tanpa memudarkan kehadiran bangsa-bangsa Asia Tenggara dari panggung sejarahnya sendiri.
Selama paruh pertama abad ini, sejarah kolonial telah menciutkan mereka melulu sebagai latar yang kabur di tengah-tengah ekspansi besar dari Barat. Banyak sejarah kaum nasionalis telah memperparah gambaran itu dengan memperlakukan bangsa-bangsa Asia lebih sebagai korban-korban tidak berdaya daripada sebagai pelaku-pelaku sejarah, atau mencoba memperbaiki hal ini dengan mengisolasikan kawasan yang ditelaah dari kekuatan-kekuatan serta perbandingan antarnegara.
Kegiatan ilmiah kaum orientalislah yang memulai tugas heroik untuk mengangkat dan membuat kita kembali dapat membaca peninggalan-peninggalan tertulis dari bangsa-bangsa Asia Tenggara itu sendiri, kendati tradisi terpelajar ini tidak memberi kita banyak petunjuk tentang kaitan antara babad-babad kerajaan, bahasan-bahasan agama, atau puisi-puisi liris dengan dunia produksi dan perdagangan.
Pendekatan rakus-baca yang menyangkut tema dan sumber-sumber yang saya lakukan untuk buku ini tidaklah baru. Sebelum munculnya sejarah kolonial, orientalisme, dan etnografi memberi kita gambaran yang sayangnya fragmentaris atas bidang ini. Marsden, Sangermano, Raffles, Crawfurd, dan Pallegoix, bahkan pelopor-pelopor seperti Galvão, La Loubère, dan Valentijn, menuliskan segenap segi kehidupan masyarakat yang ditelaahnya dengan menggunakan karya-karya sastra, bahasa, kisah-kisah perjalanan, statistik perdagangan, dan di atas semuanya pengetahuan tangan pertama mereka.
Di masa kegiatan ilmiah primitif itu, tampaknya orang masih mungkin menulis ”sejarah total” dari suatu kawasan atau bangsa. Bagaimana sejarah demikian ditulis di zaman kita yang penuh spesialisasi, ketika tidak seorang pun bisa menguasai lusinan bahasa serta sekian keahlian lainnya yang memang patut diisyaratkan dari para peneliti profesional atas wilayah yang rumit ini? Risikonya tentu saja besar, karena pendekatan seluas itu akan membawa kita pada hasil yang dangkal atau yang memang tidak perlu dipersoalkan lagi.
Namun, mungkin lebih gawat lagi jika kita bertahan pada spesialisasi bidang pendidikan kita, yakni jika kita mengesampingkan dimensi-dimensi sejarah yang paling penting artinya bagi mayoritas bangsa yang kita bicarakan. AhIiahJi modern ilmu bumi, antropologi, kependudukan, dan lingkungan hidup selama ini lebih berhasil dibanding dengan para ahli sejarah konvensional dalam menelaah berbagai kesulitan hidup yang dialami oleh ”rakyat kecil.” Temuan-temuan mereka memberi jalan pada sejarawan untuk melengkapi terbatasnya pengamatan dalam kisah-kisah perjalanan serta babad raja-raja.
Saya yakin bahwa dengan memandang Asia Tenggara sebagai suatu kesatuan, memungkinkan kita untuk menerangkan sejumlah bidang kehidupan yang, jika tidak, akan tetap tinggal kabur. Ini lantaran untuk setiap bidang budaya, sumber-sumbernya sangat fragmentaris. Jika kita menelaahnya bersama-sama, suatu gambaran yang padu tentang gaya hidup di kawasan tersebut secara keseluruhan mulai muncul. Sekalipun sangat beragam dalam hal bahasa dan kebudayaan, kawasan ini berhadapan dengan keadaan cuaca, lingkungan, dan perdagangan yang sama, dan karena itu mengembangkan seperangkat kebudayaan materiil yang sangat mirip.
Daftar Isi
Cover
Daftar Isi
Daftar Ilustrasi
Ilmu Sejarah dan kedudukan Sentralnya
Prakata
1. Pendahuluan: Tanah di Bawah Angin
Asia Tenggara sebagai Kesatuan Manusia
2. Kesejahteraan Fisik
Pola Pertanian
Penggunaan Tanah
Peralatan
Makanan dan Pasokan Makanan
Makan Daging sebagai Upacara Agama (Ritus)
Air dan Anggur
Makan dan Pesta Makan
Sirih dan Tembakau
Penduduk yang Lebih Sehat
Ilmu Kesehatan
Obat-obatan
Wabah dan Penyakit Endemik
3. Kebudayaan Material
Tubuh yang Indah
Rambut
Pakaian
Produksi Pakaian dan Perdagangan
Kerajinan Emas dan Perak
Spesialisasi Kerajinan
Keramik
Keahlian Logam: Kunci menuju Kekuasaan
Tembaga, Timah, dan Timah Putih
4. Pengaturan Masyarakat
Peperangan
Mobilisasi Buruh: Perbudakan dan Kewajiban
Keadilan dan Hukum
Hubungan Seksual
Perkawinan
Pengantin Muda
Kelahiran dan Kesuburan
Peran Wanita
5.Pesta Keramaian dan Dunia Hiburan
Negara Panggung
Pertandingan dan Perlombaan
Permainan Rakyat
Teater, Tari, dan Musik
Kemampuan Baca-Tulis yang Tersebar Luas?
Bahan-bahan Tulisan
Kesusastraan, Lisan, dan Tertulis
Singkatan
Daftar Pustaka
Glosari
Indeks