Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Melewati Batas

Kekerasan Ekstrem Belanda dalam Perang kemerdekaan Indonesia, 1945-1949

1 Pembaca
Rp 180.000 30%
Rp 126.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 378.000 13%
Rp 109.200 /orang
Rp 327.600

5 Pembaca
Rp 630.000 20%
Rp 100.800 /orang
Rp 504.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Pada 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Belanda menolak mengakui proklamasi kemerdekaan tersebut dan segera beralih menggunakan kekuatan militer guna mengambil kendali proses dekolonisasi yang tak terelakkan. Alhasil, pecahlah perang yang sengit, disertai negosiasi pelik, yang berlangsung selama empat tahun penuh.

Pada tahun 2005, pemerintah Belanda sempat menyatakan bahwa Belanda tak seharusnya mengobarkan perang di Indonesia. Sebelumnya, sejak 1969, pemerintah Belanda berpendirian teguh bahwa meskipun timbul 'ekses-ekses', angkatan bersenjata Belanda secara keseluruhan berperilaku sesuai aturan selama Perang Kemerdekaan Indonesia berlangsung. Akan tetapi, sehubungan dengan semakin menguatnya indikasi kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh angkatan bersenjata Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia, pendirian tersebut goyah. Pada tahun 2016, pemerintah Belanda memutuskan untuk mendanai program penelitian menyeluruh tentang dinamika Perang Kemerdekaan Indonesia yang diberi tajuk Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia 1945-1950 (ODGOI). Program penelitian tersebut dilaksanakan oleh tiga lembaga penelitian, yaitu Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH) dan Institut Belanda untuk Studi Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD).

Kesimpulan-kesimpulan terpenting dari penelitian tersebut dimuat dalam buku ini. Para penulis dalam buku ini menjabarkan bagaimana angkatan bersenjata Belanda menggunakan kekerasan ekstrem secara struktural, dan bagaimana kekerasan ekstrem tersebut ditutup-tutupi selama bertahun-tahun setelah perang berakhir. Kekerasan ekstrem selama Perang Kemerdekaan Indonesia, seperti halnya keseluruhan sejarah kolonial Belanda, meruntuhkan citra baik yang selama ini disematkan Belanda pada dirinya sendiri.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Thijs Brocades Zaalberg / Eveline Buchheim / Esther Captain / Martijn Eickhoff / Roel Frakking / Azarja Harmanny / Meindert van der Kaaij / Jeroen Kemperman / Rémy Limpach / Bart Luttikhuis / Gert Oostindie / Remco Raben / Peter Romijn / Ben Schoenmaker / Onno Sinke / Fridus Steijlen / Frank van Vree / Stephanie Welvaart / Esther Zwinkels / Hilmar Farid

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786233212281
Terbit: September 2023 , 519 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Pada 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Belanda menolak mengakui proklamasi kemerdekaan tersebut dan segera beralih menggunakan kekuatan militer guna mengambil kendali proses dekolonisasi yang tak terelakkan. Alhasil, pecahlah perang yang sengit, disertai negosiasi pelik, yang berlangsung selama empat tahun penuh.

Pada tahun 2005, pemerintah Belanda sempat menyatakan bahwa Belanda tak seharusnya mengobarkan perang di Indonesia. Sebelumnya, sejak 1969, pemerintah Belanda berpendirian teguh bahwa meskipun timbul 'ekses-ekses', angkatan bersenjata Belanda secara keseluruhan berperilaku sesuai aturan selama Perang Kemerdekaan Indonesia berlangsung. Akan tetapi, sehubungan dengan semakin menguatnya indikasi kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh angkatan bersenjata Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia, pendirian tersebut goyah. Pada tahun 2016, pemerintah Belanda memutuskan untuk mendanai program penelitian menyeluruh tentang dinamika Perang Kemerdekaan Indonesia yang diberi tajuk Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia 1945-1950 (ODGOI). Program penelitian tersebut dilaksanakan oleh tiga lembaga penelitian, yaitu Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH) dan Institut Belanda untuk Studi Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD).

Kesimpulan-kesimpulan terpenting dari penelitian tersebut dimuat dalam buku ini. Para penulis dalam buku ini menjabarkan bagaimana angkatan bersenjata Belanda menggunakan kekerasan ekstrem secara struktural, dan bagaimana kekerasan ekstrem tersebut ditutup-tutupi selama bertahun-tahun setelah perang berakhir. Kekerasan ekstrem selama Perang Kemerdekaan Indonesia, seperti halnya keseluruhan sejarah kolonial Belanda, meruntuhkan citra baik yang selama ini disematkan Belanda pada dirinya sendiri.

Pendahuluan / Prolog

Latar belakang, landasan, dan metodologi
Antara tahun 1945 dan 1949, Indonesia berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikannya dari tentangan Belanda yang kukuh mengobarkan perang kolonial terakhirnya secara besar-besaran di Indonesia.1 Kini, banyak sudah yang telah diketahui ihwal perang tersebut; akan tetapi, masih banyak juga yang tetap samar dan kerap dipertentangkan kebenarannya. Di penghujung tahun 2016, Kabinet Rutte II mengucurkan dana kepada KITLV, NIMH, dan NIOD2 untuk melakukan penelitian mendalam dan menyeluruh ihwal perilaku militer Belanda selama perang di Indonesia.3 Sebagai hasil akhir dari penelitian tersebut, buku ini memaparkan kesimpulan-kesimpulan serta temuan penelitian, yang diawali dengan bab pertama yang mengurai latar belakang, landasan, dan metodologi yang dipakai.

Perang dan Dampaknya di Belanda
Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, tepat dua hari setelah kapitulasi Jepang yang menandai berakhirnya Perang Dunia II dan hengkangnya kekuatan militer Jepang dari Indonesia.

Tiga setengah tahun sebelumnya, kedatangan Jepang di Indonesia adalah akhir dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Namun, begitu Jepang hengkang, pemerintah Belanda bersikukuh menolak mengakui kemerdekaan Indonesia dan mencoba menduduki kembali Nusantara dengan memulihkan kekuasaan kolonial. Sejak tahun 1946, segala kebijakan Belanda diarahkan pada dekolonisasi yang seturut kepentingan Belanda. Proses dekolonisasi tersebut diawali dengan pemulihan ‘ketenteraman dan ketertiban’ – ’kemudian diubah menjadi ‘ketertiban dan perdamaian’ yang ditegakkan lewat cara-cara militer.

Inilah yang menjadikan proses dekolonisasi yang menurut Belanda tuntas selepas penyerahan kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 sarat dengan negosiasi yang berlarut-larut dan pertempuranpertempuran sengit. Alhasil, Perang Kemerdekaan Indonesia menelan korban jiwa dalam jumlah yang tidak berimbang. Menurut catatan angkatan perang Belanda, sekira 5.300 orang tewas di pihak Belanda – setengahnya sebetulnya tewas gegara kecelakaan atau tertulari penyakit mematikan; sementara, di lain pihak, tak kurang dari 100.000 pejuang dan warga sipil Indonesia gugur akibat kekerasan militer Belanda.

Penulis

Thijs Brocades Zaalberg - Thijs Brocades Zaalberg mengajar di Fakultas Ilmu Militer di Akademi Pertahanan Belanda di Breda. Ia juga mengajar di Universitas Leiden. Kepakarannya adalah operasi militer non-reguler dalam konteks kolonial dan modern.
Eveline Buchheim - Eveline Buchheim adalah sarjana sastra Belanda dan antropologi. Kini ia bekerja sebagai peneliti di NIOD. Minat penelitiannya adalah persinggungan bahasa dengan interaksi antar manusia, terutama pada masa perang di Eropa dan Asia.
Esther Captain - Esther Captain adalah sejarawan dan peneliti senior di KITLV. Sebelumnya, ia adalah bekerja sebagai peneliti di Nationaal Comité 4 en 5 mei, Universitas Utrecht, dan Universitas Amsterdam. Dia juga bekerja sebagai pemimpin proyek Warisan Hindia dalam program Warisan Perang Kementerian Kesehatan, Kesejahteraan, dan Olahraga Belanda.
Martijn Eickhoff - Martijn Eickhoff adalah direktur NIOD dan juga Profesor di bidang Arkeologi dan Warisan Perang dan Kekerasan Massal di Universitas Groningen.

Ia mengkaji sejarah, dimensi budaya, dan efek samping dari kekerasan berskala besar, dan perubahan rezim di Eropa dan Asia pada abad kesembilan belas dan kedua puluh, dengan penekanan khusus pada aspek spasial, material, dan transnasionalnya. Ia memperoleh gelar doktor dari Universitas Amsterdam (2003) dengan penelitian tentang arkeologi pra dan protohistoris Belanda dan konfrontasinya dengan Sosialisme Nasional. Topik penelitian terbarunya adalah ‘lanskap memori’, kekerasan massal antikomunis di Indonesia pada periode 1965- 1968’. Beberapa publikasinya, yang dikerjakan bersama Marieke Bloembergen, membahas tentang hubungan antara arkeologi, politik, kolonialisme, warisan, dan kekerasan di Indonesia.
Roel Frakking - Roel Frakking adalah dosen sejarah politik di Department of History and Art History, Utrecht University. Ia adalah koordinator dan co-editor program penelitian Dunia Revolusioner yang merupakan bagian dari program penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia 1945-1950. Ia memperoleh gelar PhD dari European University Institute di Florence, Italia.
Azarja Harmanny - Azarja Harmanny adalah peneliti di Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH) di Den Haag. Penelitian sebelumnya adalah tentang penggunaan kekerasan selama Perang Aceh.
Meindert van der Kaaij - Meindert van der Kaaij adalah jurnalis pada harian Trouw hingga 2020. Pada 2012, ia memperoleh gelar doktor dari Universitas Leiden dengan disertasinya Een eenzaam staatsman Dirk de Geer (1870–1960), sebuah biografi politik perdana menteri Belanda Dirk de Geer. Dari 2017 hingga 2021 ia bekerja sebagai peneliti di KITLV.
Jeroen Kemperman - Jeroen Kemperman adalah seorang sejarawan dan peneliti di NIOD. Dia sebelumnya menulis tentang perlawanan mahasiswa Belanda selama pendudukan Jerman, kampkamp Jepang di Indonesia, dan jatuhnya kantong perlawanan Srebrenica. Dia saat ini sedang mengerjakan disertasi tentang Kotamadya Amsterdam selama Perang Dunia Kedua.
Rémy Limpach - Rémy Limpach adalah peneliti senior di NIMH. Dia sebelumnya menerbitkan buku De brandende kampongs van generaal Spoor (2016) dan mengkhususkan diri dalam sejarah militer kolonial Belanda pada abad kedua puluh.
Bart Luttikhuis - Bart Luttikhuis mengkhususkan diri dalam sejarah kolonial akhir dan dekolonisasi Indonesia dan telah menjadi peneliti di Universitas Leiden dan KITLV sejak 2014. Ia kini bekerja sebagai guru pendidikan dasar sejak September 2020.
Gert Oostindie - Gert Oostindie adalah profesor emeritus Sejarah Kolonial dan Pascakolonial di Universitas Leiden dan menjadi Direktur KITLV hingga 1 Januari 2022. Awalnya ia fokus pada Amerika Latin dan terutama Karibia, kemudian memperluas bidang kajiannya ke sejarah kolonial dan pascakolonial Belanda.
Remco Raben - Remco Raben mengajar sejarah Asia, global, dan kolonial di Universitas Utrecht dan profesor dengan penunjukan khusus pada bidang sastra kolonial dan pascakolonial dan sejarah budaya di Universitas Amsterdam.
Peter Romijn - Peter Romijn adalah seorang sejarawan, kepala Departemen Riset NIOD dan profesor paruh waktu sejarah abad ke-20 di Universitas Amsterdam.
Ben Schoenmaker - Ben Schoenmaker adalah Direktur NIMH. Dia mengkhususkan diri dalam sejarah militer abad kesembilan belas dan kedua puluh di Belanda. Sebagai profesor dengan penunjukan khusus pada bidang sejarah militer, ia berafiliasi dengan Institut Sejarah Universitas Leiden.
Onno Sinke - Onno Sinke adalah sejarawan dan peneliti/penasihat kebijakan senior di ARQ Pusat Pengetahuan tentang Perang, Persekusi, dan Kekerasan. Dalam program penelitian ini, ia diperbantukan ke KITLV.
Fridus Steijlen - Fridus Steijlen adalah peneliti senior di KITLV dan profesor di bidang Migrasi dan Kebudayaan Maluku dalam Perspektif Perbandingan di VU Amsterdam. Sejak mahasiswa ia telah menggeluti persoalan dekolonisasi Indonesia dan komunitas Maluku dan Indis.
Frank van Vree - Frank van Vree adalah profesor emeritus di bidang Sejarah Perang, Konflik dan Memori di Universitas Amsterdam dan direktur NIOD hingga September 2021. Sebelumnya ia adalah dekan Fakultas Ilmu Budaya, profesor Kajian Media di Universitas Amsterdam dan peneliti tamu di Universitas New York.
Stephanie Welvaart - Stephanie Welvaart adalah sarjana antropologi dan sosiologi. Ia berafiliasi dengan NIOD dari 2017 hingga 2021. Minat kajiannya adalah struktur kekuasaan dan bagaimana individu bergerak di dalamnya. Ia mengkaji penggambaran penjajahan dan dekolonisasi dalam kaitannya dengan Indonesia.
Esther Zwinkels - Esther Zwinkels adalah asisten peneliti di NIMH dan ahli dalam sejarah kolonial Belanda abad kedua puluh. Kini Esther sedang mengerjakan disertasi tentang pengadilan kolaborator dan penjahat perang Jepang setelah Perang Dunia Kedua di Indonesia.
Hilmar Farid - Hilmar Farid adalah seorang sejarawan dan intelektual publik. Dari 2016 hingga 2021 ia adalah ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia. Ia juga seorang dosen pada program pascasarjana Institut Kesenian Jakarta. Minat risetnya adalah pada tema-tema pencarian kebenaran, rekonsiliasi, dan pemulihan hak.

Daftar Isi

Sampul Depan
Identitas Buku
Daftar Isi
Pendahuluan
     1. Latar belakang, landasan, dan metodologi
     2. Belanda dan Indonesia 1945-1949
     3. Perang di Indonesia 1945-1949
     Kesimpulan Sementara
II. Intermeso
     Dimensi Manusia Mencari kisah tentang Perang Kemerdekaan Indonesia
III. Hasil Penelitian
     1. ‘Kebencian terhadap anasir asing dan "Kaki tangannya"
     2. Dunia revolusi
     3. Informasi membahayakan jiwa
     4. Mitos ‘Metode Belanda’
     5. Hukum sebagai senjata
     6. Bungkam, berbagi informasi, dan pengelabuan kala Perang Kemerdekaan Indonesia
     7. Bungkam sebagai strategi
     8. Melampaui peringkat kesalahan kolonial
     9. Nurani yang bersalah
IV. Kata Penutup
     Kesimpulan
V. Epilog
     Warisan masa lampau yang keras
Catatan Akhir
Daftar Singkatan
Bacaan lebih lanjut
Lembar Persembahan
Indeks
Tentang Para Penulis
Sampul Belakang