Ikhtisar
Kewargaan pascakolonial di Indonesia meneliti sejarah pembentukan negara di Indonesia pascakolonial. Buku ini berawal dengan cerita kematian Jan Djong, seorang aktivis dan mantan kepala desa dekat kota kecil Maumere. Selanjutnya ia memandang perdebatan masa kini tentang kewargaan di dunia pascakolonial dari perspektif sejarah.
Kewargaan pernah disebut “prinsip dasar organisasi hubungan antara negara dengan masyarakat di negara-negara modern.” Kini, proses demokratisasi bersifat lebih intensif di dunia non-Barat yang pascakolonial daripada di Barat. Namun kewargaan yang dianggap “nyata” tampaknya jarang ditemukan di sini. Buku pegangan umumnya menganggap warga yang nyata adalah individu yang meng-klaim haknya, yang bersifat otonom, dan individualistik. Justru warga semacam ini jarang ada di dunia pascakolonial.
Sambil merenungkan satu cerita yang konkret, studi ini mengangkat dilema-dilema inti yang menghadapi studi kewargaan di dunia pascakolonial. Ia menantang etnosentrisme yang masih kuat di bidang studi kewargaan pada umumnya, yang menganggap sah hanya model kewargaan yang ditemukan di Eropa dan Amerika Serikat. Pada saat yang sama, buku dengan enam bab ini menghadapi secara jujur persoalan kerapuhan institusional, kekerasan politik, di samping soal legitimasi dan aspirasi kemerdekaan yang hidup dalam budaya-budaya non-Barat.
===========
Gerry van Klinken adalah guru besar emeritus bidang sejarah Asia Tenggara di Universitas Amsterdam dan Universitas Queensland. Ia tetap berhubungan dengan lembaga penelitian Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV), di mana ia ikut menyelenggarakan program penelitian kerja sama internasional ‘Dari Klien menjadi Warga? Kewargaan yang bertumbuh dalam demokratisasi Indonesia’ (‘Clients to Citizens? Emerging citizenship in democratising Indonesia’).
Pendahuluan / Prolog
Kewargaan Pascakolonial di Indonesia: Sebuah Sejarah Populer
“Buku yang ditulis Gerry van Klinken ini merupakan sumbangan penting di bidang studi kewargaan, tidak hanya di Indonesia melainkan di seluruh dunia. Berlawanan dengan paradigma bapakisme (patronase-klientelisme) yang umum di Selatan Global, penulis menunjukkan bahwa konsep kesamarataan, keadilan, keikutsertaan, inklusivitas, dan mobilisasi menjadi kekuatan yang sangat berarti dalam sejarah Indonesia. Ide-ide ini memberikan semangat berbuat kepada warganya untuk melawan penindasan dan ketidaksamaan.”
– Roel Meijer, Associate Professor, Universitas Radboud, Belanda.
Kata Pengantar
Kewargaan pascakolonial di Indonesia: Sebuah sejarah populer adalah suatu kisah tentang seseorang di kota kecil, sedemikian kecilnya sehingga tidak banyak orang Indonesia yang dapat menemukannya di peta. Kisah ini juga merupakan sebuah kisah seluruh bangsa dan bahkan kisah yang universal, tentang hasrat untuk mencapai kebebasan, keinginan kuat untuk berteriak melawan hirarki yang dikuasai oleh tradisi dan tekanan pemerintahan yang kejam.
Pada 1945, bangsa Indonesia berjuang untuk mendapatkan kebebasan. Namun demikian, hingga kini masih banyak orang yang tampak bahagia menjalani kehidupan sehari-hari mereka dengan diperlakukan sebagai klien oleh patron yang melindungi mereka. Mengapa klaim hak kewarganegaraan sangat jarang disuarakan secara tegas di negara pascakolonial ini? Hal ini merupakan pertanyaan mendasar (yang mungkin bisa dikatakan kurang diplomatis) yang melatarbelakangi program riset Belanda-Indonesia antara tahun 2012 dan 2017. Riset ‘Dari Klien menjadi Warga? Kewargaan yang bertumbuh dalam demokratisasi Indonesia’ (‘Clients to Citizens? Emerging citizenship in democratising Indonesia’) membawa kami ke dalam kancah politik lokal. Akhir-akhir ini, zona sosial ini telah menjadi daya tarik yang besar di Indonesia, seperti yang terjadi di banyak demokrasi Gelombang Ketiga di Selatan Global. Di sinilah tempat masyarakat umum ‘menjalankan demokrasi.’ Penelitian hubungan antara masyarakat dan pemerintah di sini akan menjadi produktif secara sosial. Seberapa jauh masyarakat umum dapat membuat demokrasi tersebut berjalan? Secara intelektual, tentunya hal ini akan menjadi sangat menarik.
Bahkan, dapatkah kita membicarakan demokrasi ketika terdapat begitu banyak hadangan struktural dan definisional di dalamnya? Kelompok ilmuwan internasional yang telah bekerja sama dengan saya telah menaruh minat dalam wilayah lokal ini sejak Suharto mengundurkan diri pada tahun 1998.
Tugas saya adalah menjadi sejarawan program, yang mempertanyakan: Apakah kita melihat hal ini telah terjadi sebelumnya? Pertanyaan riset seringkali membawa saya kembali pada dua titik balik sejarah Indonesia: Revolusi 1945 dan pertumpahan darah anti-komunis 1965; Kelahiran republik demokratis dan kehancurannya. Kemudian, dua dokumen kontemporer yang sangat luar biasa jatuh ke tangan saya, merangkul kedua momen tersebut. Secara bersamasama, kedua dokumen tersebut memberikan gambaran yang detil tentang sejarah politik di kota kecil di Indonesia.
Ketika saya menceritakannya pada kolega saya, Henk Schulte Nordholt, tentang kedua dokumen tersebut, ia bersikeras bahwa hal ini haruslah dijadikan buku (‘yang kecil’, ujarnya cepat). Seperti Great Cat Massacre di Paris pada 1730-an yang dijelaskan oleh Darnton (1984), ujarnya dengan antusias, atau Chronicle of a Death Foretold (Marques) (2008 [orig. Spanish 1981]). Kepercayaan demikian besar dalam kisah tersebut, dan di dalam diri saya sebagai penceritanya, meyakinkan saya secara kuat untuk tetap melanjutkannya. Sebenarnya saya cenderung lebih menganggapnya sebagai kajian ilmu politik dalam politik lokal seperti kajian otoritarianisme subnasional (Sidel 2014), politik kebersamaan (Geschiere 2011), dan kewargaan teritorial (Linklater 1998). Sejarah mikro kota kecil ini akan menjadi perhatian utama sebagai dinamika yang umum terjadi di seluruh Indonesia, bahkan, dalam batas tertentu, terjadi pula di seluruh wilayah pascakolonial sedunia. Kisah tentang Maumere juga menyerupai kisah yang terjadi di Iran dan Irak. Di sana, republik yang pernah bertujuan untuk menghubungkan seluruh warga secara merata telah jatuh ke dalam kekerasan anti komunis dan membawa seluruh perpecahan komunal kembali ke era kolonial.
Penulis
Gerry van Klinken - Gerry van Klinken kini adalah Guru besar Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia Tenggara pada Universitas Amsterdam, dan peneliti senior pada Institut Kerajaan Belanda untuk Studi-studi Asia Tenggara dan Karibia (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, disingkat KITLV), keduanya di Belanda. Antara 2006 dan 20012, dia mengkoordinasi proyek penelitian Belanda-Indonesia dengan tema “In Search of Middle Indonesia,” yang mempelajari kelas menengah di kota-kota provinsi. Di antara karyanya mengenai konflik di Indonesia adalah The Maluku Wars: Bringing Society back in (2001) dan Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars (2007).
Daftar Isi
Cover Depan
Identitas Buku
Daftar Isi
Daftar Foto
Kata Pengantar
Bab 1: Peristiwa Pembunuhan di Maumere
Dua Teks
Warga di Wilayah Pascakolonial
Bab 2: Raja Berkuasa
Sikka dalam Sejarah
Masyarakat yang Bodoh dan Pemalas
Kanopi Suci Sikka
Tantangan bagi Kaum Republikan
Bab 3: Warga Pascakolonal
Lahirnya Seorang Pemberontak
Kota
Kesempatan
Demonstrasi
Pembumihangusan
Organisasi Etnis
Inklusivitas Memang Efektif
Bab 4: Faksi dan Keyakinan
Pencarian Seorang Patron
Perkelahian Antar Faksi
Otoritas Baru
Uji Kekuatan
Kemenangan Para Bos
Bab 5: Saat yang Mencekam
Komunis di Sikka
Politik Militer
Kain Basah yang Tipis
Satu Langkah yang Salah
Dampak yang Ditimbulkan
Bab 6: Kewargaan dan Pembentukan Negara Pascakolonial d Indonesia
Teka-Teki Telah Terpecahkan
Despotisme yang Terdesentralisasi
Kewargaan Pascakolonial
Bagaimana dengan Masa Kini?
Daftar Pustaka
Indeks
Tentang Penulis
Cover Belakang