Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Aceh: Kisah Datang dan Terusirnya Belanda dan Jejak yang Ditinggalkan

1 Pembaca
Rp 140.000 30%
Rp 98.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 294.000 13%
Rp 84.933 /orang
Rp 254.800

5 Pembaca
Rp 490.000 20%
Rp 78.400 /orang
Rp 392.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Perang Aceh (1873-1942) merupakan salah satu lembar terhitam dalam sejarah Belanda. Pertempuran antara tentara kolonial Belanda yang kejam melawan kaum muslim Aceh yang fanatik telah menelan 100.000 korban jiwa, termasuk ribuan perempuan dan anak-anak Aceh.

Dalam buku Aceh: Kisah datang dan terusirnya Belanda dan jejak yang ditinggalkan ini, Anton Stolwijk menyusuri tapak jejak perang itu – jejak yang tidak hanya membawa pembaca menyelami kandungan catatan lama yang menguning dan kadang dilupakan, tetapi juga mengajak menelusuri Aceh pada masa sekarang dengan tinggalan historisnya.

Penelusuran jejak itu terwujud dalam kisah menarik dengan jalinan cerita yang apik didasarkan pada satu sisi antara fakta sejarah dan aktualitas, pada lain sisi antara penelitian dan jurnalistik. Kisah itu diceritakan di buku ini dalam bahasa yang mengalir.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Anton Stolwijk

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786233211222
Terbit: Desember 2021 , 289 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Perang Aceh (1873-1942) merupakan salah satu lembar terhitam dalam sejarah Belanda. Pertempuran antara tentara kolonial Belanda yang kejam melawan kaum muslim Aceh yang fanatik telah menelan 100.000 korban jiwa, termasuk ribuan perempuan dan anak-anak Aceh.

Dalam buku Aceh: Kisah datang dan terusirnya Belanda dan jejak yang ditinggalkan ini, Anton Stolwijk menyusuri tapak jejak perang itu – jejak yang tidak hanya membawa pembaca menyelami kandungan catatan lama yang menguning dan kadang dilupakan, tetapi juga mengajak menelusuri Aceh pada masa sekarang dengan tinggalan historisnya.

Penelusuran jejak itu terwujud dalam kisah menarik dengan jalinan cerita yang apik didasarkan pada satu sisi antara fakta sejarah dan aktualitas, pada lain sisi antara penelitian dan jurnalistik. Kisah itu diceritakan di buku ini dalam bahasa yang mengalir.

Pendahuluan / Prolog

Menara suar di Pulau Breueh
Tergantung dari sudut mana dilihatnya, Pulau Breueh adalah titik awal atau akhir dari Indonesia. Bagi yang datang dengan kapal dari arah India, pulau ini adalah titik awal karena pulau ini merupakan bagian pertama Indonesia yang tampak di Selat Benggala. Pastilah pemandangan dari arah itu sangatlah indah: tampak pegunungan tinggi hijau yang menjulang tinggi di tengah lautan.

Bagi orang Aceh yang tidak bisa berenang tapi mencoba melakukannya, Pulau Breueh ini merupakan terminal akhir. Akibat sistem arus air atas dan bawah yang rumit, hampir setiap korban tenggelam di pantai utara Aceh terbawa hanyut oleh arus dan terdampar di teluk tidak jauh dari dermaga Lampuyang, di bagian belakang pulau.

Syahbandar Lampuyang memiliki tugas memeriksa pantai secara teratur apakah di sepanjang pantai itu ada korban terdampar akibat seretan arus. Tugas pemeriksaan itu tidak memberi semangat, dan mengerjakan tugas itu juga berarti harus berjalan yang melelahkan dari bangunan kantor kayunya di dermaga sampai ke ujung akhir teluk, apalagi kalau cuacanya panas. Namun, itu hal biasa di Pulau Breueh.

Hampir setiap bulan ditemukan mayat korban tenggelam yang terdampar. Nelayan yang terlempar jatuh dari kapalnya, penyelundup yang tidak berhasil mencapai Malaysia, anak yang bermain terlalu jauh ke laut. Kebanyakan mereka tersangkut di bebatuan karang, di antara batang-batang kayu, pelepah-pelepah daun kelapa, dan botol-botol plastik.

Lewat sedikit sesudah teluk terdapat pemakaman tempat menguburkan mayat-mayat korban tenggelam yang ditemukan pada hari itu juga sesuai cara Islam yang benar. Di setiap kuburan ada batu nisan dengan nomor. Di kantornya, syahbandar memiliki buku dengan catatan tanggal ditemukannya korban untuk setiap nomor itu dengan keterangan singkat: kemeja hijau, gigi emas, kumis.

Sekali dalam beberapa bulan dia menelepon meneruskan data informasi itu ke Banda Aceh, dan kadang-kadang sesudahnya datanglah orang-orang dari daratan Banda Aceh untuk berdoa di kuburan-kuburan yang mungkin dari orang-orang yang mereka cintai.

Selanjutnya tidak banyak yang terjadi di Lampuyang. Sejak kebanyakan penduduk menemui ajalnya akibat bencana besar tsunami di tahun 2004 yang juga hampir menghancurkan semua bangunan dan perahu nelayan, desa ini mengesankan kosong ditinggalkan penduduknya. Ada beberapa rumah yang tak terurus, sebuah masjid dengan kubahnya dari logam mengkilap, dermaga dengan kantornya, dan jalan kecil berpasir menuju pegunungan. Kapal kayu yang reyot melayani hubungan sehari-hari dengan daratan Banda Aceh. Karungkarung beras dan mi instan diangkut ke Pulau Breueh, kembalinya ke Banda Aceh dengan membawa krat-krat isi ikan.

Hari ini ada dua penumpang: dua pemuda dengan sepeda motor – pegawai perusahaan telepon – yang datang ke pulau untuk memeriksa menara antena telepon. Begitu mereka pergi, suara derum sepeda motor mereka yang keras menghilang dan suasana desa kembali sunyi. Satu-satunya penumpang lain adalah saya sendiri. Sementara pengemudi kapal yang reot itu menurunkan sepeda motor saya ke darat, saya mencoba berorientasi.

Seperti pada umumnya dengan banyak pulau di Indonesia, Pulau Breueh berabad-abad lamanya hampir tidak berpenghuni. Kadang-kadang didatangi nelayan, atau pemetik buah kelapa, tetapi di sepanjang tahun biasanya pulau ini hanya menjadi sarang monyet, ular, dan babi liar kecil. Pelan-pelan pulau ini sepertinya sekarang balik ke keadaan aslinya dan tidaklah mengherankan, karena tidak ada yang dicari di tempat terpencil ini. Abad kesembilan belas, abad yang mengubah semuanya di Pulau Breueh, tampaknya tidak lebih dari sebuah mimpi jauh yang aneh.

Riwayat terjadinya perubahan besar berawal beberapa ribu kilometer dari tempat ini dengan iringan musik fanfare dan bunyi klakson kapal-kapal uap. Saat itu tahun 1869, Ismail Pasha – raja muda Mesir (khedive) – membuka Terusan Suez. Satu setengah juta pekerja selama bertahun-tahun harus banting tulang di gurun pasir yang panas membara, tapi sekarang akhirnya berubah: kapal-kapal selanjutnya tidak perlu memutari lagi Tanjung Harapan untuk mencapai Asia.

Daftar Isi

Sampul
Daftar isi
Kata pengantar
Kata pengantar penulis
Prolog: Menara suar di Pulau Breueh
1. Zaman keemasan kesultanan Aceh
2. Habib dan ancang-ancang menuju perang
3. Kunjungan ke acara kegiatan Himpunan Sejarah
4. Invasi pertama Belanda
5. Invasi kedua Belanda
6. Sampanye untuk Belanda
7. Serdadu Ghana di KNIL
8. Puisi Aceh dan jihad
9. Kandasnya kapal Nisero
10. Garis Pertahanan Terkonsentrasi
11. Mualaf
12. Cut Nyak Dhien
13. Christiaan Snouck Hurgronje
14. Van Heutsz dan marsose
15. Arwah tunangan Henrie de Bruijn
16. Minyak
17. Takluknya sultan terakhir
18. Ekspedisi Van Daalen
19. Kenyataan tentang kekerasan Belanda
20. Panglima Polem
21. Keluarga Di Tiro
22. Trem Aceh
23. Sabang dan pembunuhan Aceh
24. Orang Cina di Aceh
25. Pemberontakan 1942 dan kedatangan Jepang
26. Letnan Van Zanten
Epilog
Pertanggungjawaban
Daftar pustaka
Ucapan terima kasih
Indeks nama orang
Indeks nama geografis
Tentang penulis