Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Merdeka

Perang Kemerdekaan dan Kebangkitan Republik yang Tak Pasti (1945-1950)

1 Pembaca
Rp 170.000 30%
Rp 119.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 357.000 13%
Rp 103.133 /orang
Rp 309.400

5 Pembaca
Rp 595.000 20%
Rp 95.200 /orang
Rp 476.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Pada tahun 1945, di bawah semboyan 'Merdeka!', Republik Indonesia terlibat dalam perang kemerdekaan yang ujung akhirnya tak bisa diramalkan. Harry Poeze dan Henk Schulte Nordholt menceritakan kisah baru tentang revolusi yang terutama membahas selain perjuangan melawan Belanda juga kebangkitan Republik yang tak pasti.



Setelah mengalami kekejaman pada masa pendudukan Jepang, para pemimpin Republik harus membangun pemerintah yang baru. Di pihak Belanda, mereka harus berhadapan dengan para politikus berwawasan sempit dan tentara-tentara yang suka perang. Di kalangannya sendiri, Republik harus menghadapi pemuda yang punya kehendak sendiri tetapi siap berjuang, pemimpin militer yang otonom, federalis konservatif, komunis revolusioner, dan muslim radikal. Kudeta, perang saudara, dan serangan Belanda mengancam eksistensi Republik. Oleh karena itu, kemenangan yang akhirnya dicapai oleh para pemimpin Indonesia merupakan keajaiban besar dalam revolusi.



HARRY POEZE adalah mantan kepala penerbitan, peneliti tamu KITLV di Leiden, dan salah satu peneliti terkemuka tentang Revolusi Indonesia.



HENK SCHULTE NORDHOLT adalah Emeritus Guru Besar Sejarah Indonesia pada Universitas Leiden dan peneliti tamu KITLV di Leiden.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Harry A. Poeze / Henk Schulte Nordholt

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786233212366
Terbit: September 2023 , 534 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Pada tahun 1945, di bawah semboyan 'Merdeka!', Republik Indonesia terlibat dalam perang kemerdekaan yang ujung akhirnya tak bisa diramalkan. Harry Poeze dan Henk Schulte Nordholt menceritakan kisah baru tentang revolusi yang terutama membahas selain perjuangan melawan Belanda juga kebangkitan Republik yang tak pasti.



Setelah mengalami kekejaman pada masa pendudukan Jepang, para pemimpin Republik harus membangun pemerintah yang baru. Di pihak Belanda, mereka harus berhadapan dengan para politikus berwawasan sempit dan tentara-tentara yang suka perang. Di kalangannya sendiri, Republik harus menghadapi pemuda yang punya kehendak sendiri tetapi siap berjuang, pemimpin militer yang otonom, federalis konservatif, komunis revolusioner, dan muslim radikal. Kudeta, perang saudara, dan serangan Belanda mengancam eksistensi Republik. Oleh karena itu, kemenangan yang akhirnya dicapai oleh para pemimpin Indonesia merupakan keajaiban besar dalam revolusi.



HARRY POEZE adalah mantan kepala penerbitan, peneliti tamu KITLV di Leiden, dan salah satu peneliti terkemuka tentang Revolusi Indonesia.



HENK SCHULTE NORDHOLT adalah Emeritus Guru Besar Sejarah Indonesia pada Universitas Leiden dan peneliti tamu KITLV di Leiden.

Pendahuluan / Prolog

Pendahuluan
Segera setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia pada pagi hari di tanggal 17 Agustus 1945, merdeka' menjadi kata ajaib dan sakral yang menembus berbagai dimensi kehidupan sebagian besar insan yang hidup di Kepulauan Indonesia pada saat ituBersama proklamasi, dua kata itu bersanding manis sebagai dwi tunggal di singgasana negara bangsa baru yang diberi nama Republik Indonesia, yang saat itu bukan lagi koloni Belanda, Inggris, ataupun Jepang. Seruan merdeka berkumandang di seantero persada negeri, dan bahkan sampai ke Semenanjung. Tiga minggu kemudian ketika masyarakat merayakan Idul Firi yang pertama setelah Proklamasi, pekik merdeka bahkan terdengar saling bersahutan setelah salat hari raya didirikan dan mengiringi prosesi silaturahmi saling bermaaf-maafan (Bambang Purwanto 2013).

Bagi Indonesia kata merdeka tidak hanya mantra pemikat yang membuat orang berkumpul menjadi satuAtau juga bukan sekadar pemberi semangat untuk bergerak, melainkan juga inspirasi bagi terbentuknya satu kesatuan kerangka berpikir dan mentalitas yang mendekonstruksi norma-norma lama sebagai wujud dari tanggung jawab untuk menghadirkan peradaban baru pasca-penjajahan. Jika dipahami dalam konteks keagamaan, kata merdeka menjadi seperti deklarasi keimanan, kredo yang membangun sebuah kepercayaan untuk membimbing jalan kehidupan di kemudian hari. Atau mengutip kalimat Sukarno, sebagai 'jembatan emas... di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat (Soekarno 1949).

Kata merdeka memiliki kemampuan metamorfosa. Beralih wujud, yang tidak hanya memiliki daya konstruktif melainkan juga kekuatan untuk menghancurkan. Oleh karena ituberbagai peristiwa yang mengikuti kehadirannya memiliki banyak dimensi tidak seluruhnya menyenangkan dan menghadirkan keteraturan, namun banyak pula yang menyakitkan dan menimbulkan kekacauan. Aksi-aksi yang dilakukan juga tidak seluruhnya merepresentasikan keinginan kolektif murni sebuah bangsa, melainkan juga tidak sedikit yang dipenuhi oleh kepentingan personal, kelompok, atau pun ideologis tertentu. Akibatnya, tidak semua orang senang dengan kata merdeka. Bagi mereka yang berasosiasi secara menguntungkan dengan dunia kolonial, kata merdeka dipahami sebagai monster yang siap mencengkeram dan memangsa. Tetapi bagi mereka yang membayangkan masa depan dengan identitas baru karena telah bebas dari penjajahan, kata merdeka merupakan jalan masuk menuju gemah ripah loh jinawi kehidupan yang sejahtera dan penuh keadilan di negeri yang subur makmur

Begitu juga dengan kata-kata lain yang menyusul kemudian terutama 'revolusi' dan 'daulatyang mengisi ruang ingar bingar euforia merayakan keberhasilan sebuah perjuangan mewujudkan identitas baru bernama Indonesia. Revolusi yang bermakna adanya kebutuhan perubahan cepat, telah berhasil mencuri hati jiwa zaman sehingga revolusi identik dengan merdeka itu sendiri. Dalam konteks historiografis kemudian, revolusi juga menjadi label bagi periode awal setelah Proklamasi ituSementara kata daulat juga sudah bertransformasi mendapat awalan atau/dan akhiran, menjadi berdaulat' dan kedaulatan'. Di Yogyakarta, sebuah koran yang konsisten membela perjuangan Republik Indonesia diberi nama Kedaulatan Rakjat didirikan tepat 41 hari setelah Proklamasi. Sementara koran dengan misi yang sama bernama Indonesia Merdeka, mulai terbit di Jakarta beberapa hari kemudian di awal Oktober 1945 (Andi Suwirta 2000).

Dalam proses perubahan yang terus terjadi, kata daulat ketika menjadi kata kerja bermakna revolusioner, seperti juga makna kata merdeka itu sendiri. Kata daulat berhubungan dengan aksi pengganyangan komunal berdimensi kekerasan terhadap kelompok elite sosial tertentu yang dikaitkan dengan kekuasaan kolonial, seperti yang terjadi di Pekalongan, Surakarta, dan Sumatra Timur (Djoko Suryo 1978; Soejatno Kartodirdjo 1982; H. Mohammed Said 1973). Sementara berdaulat menjadi tuntutan sekaligus manifestasi diri sebagai entitas manusia merdeka, ketika berhadapan dengan kekuatan eksternal Kata berdaulat bersama kata-kata yang lain tadi, mengisi ruang berbagai poster, spanduk, coretan pada dinding, bangunan, dan kendaraan para pendukung Republik Indonesia (Muhammad Yuanda Zara 2016), sebagai perwujudan dari penolakan dan perlawanaan terhadap kehadiran kekuatan asing yang mengancam eksistensi Indonesia yang telah merdeka.

Dari semua itu dapat disimpulkan, kata merdeka menempati posisi paling sentral sepanjang sejarah periode 1945-1950. Oleh karena itu, tidak mengherankan Harry Poeze dan Henk Schulte Nordholt kemudian mengambil kata merdeka sebagai judul buku mereka, bukan proklamasi, revolusi, atau bahkan bukan kemerdekaan yang banyak digunakan para penulis lainnya selama ini.

Daftar Isi

Sampul Depan
Identitas buku
Daftar Isi
Kata Pengantar 1
Kata Pengantar 2
Prolog
1 - Negara kolonial: kekerasan dan modernitas,
2 - Pendudukan Jepang: harapan, eksploitasi,
3 -  Proklamasi
4 - Revolusi lokal: Bersiap dan Daulat
5 - Pendudukan kembali oleh Belanda
6 - Persatoean Perdjoeangan
7 - Krisis militer
8 - Diplomasi dan peperangan
9 - Federalisme
10 - Perang saudara
11 - Serangan kedua terhadap Republik
12 - Kekerasan, diplomasi, dan kemerdekaan
13 - Persatuan
Epilog
Pembagian kursi
Sketsa biografi beberapa tokoh utama
Sumber foto
Daftar istilah dan nama organisasi
Bibliografi
Indeks
Sampul Belakang