Ikhtisar
Tan Malaka (1894- 1949) pada tahun 1942 kembali ke Indonesia dengan menggunakan nama samaran sesudah dua puluh tahun mengembara. Ia tinggal di sebuah kampung kecil di Jakarta dan kemudian bekerja sebagai mandor buruh tambang batu bara di bayah, Banten Selatan. Pada masa Hindia Belanda ia bekerja untuk Komintern (organisasi komunis revolusioner internasional) dan pasca 1927 memimpin Partai Repoeblik Indonesia yang ilegal dan antikolonial.
Menjelang kapitulasi Jepang ia diutus ke Jakarta. Ia tidak diberi peranan dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, tokoh Tan Malaka yang legendaris ini berkenalan dengan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia: Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ia memberi kesan yang mendalam dan segera terlibat dalam pembentukan kebijakan di tingkat tertinggi. Tetapi segera pula mereka tidak sejalan. Tan Malaka menghendaki sikap tak mau berdamai dengan Belanda yang ingin memulihkan kembali kekuasaan kolonialnya. Ia memilih jalan 'perdjoangan' dan bukan jalan 'diplomasi'.
Januari 1946 Tan Malaka mendirikan Persatoean Perdjoangan yang dalam beberapa bulan menjadi alternatif dahsyat terhadap pemerintah moderat. Dalam konfrontasi di Parlemen ia kalah dan beberapa minggu kemudian Tan Malaka dan sejumlah pengikutnya ditangkap dan ditahan tanpa proses sama sekali - dari Maret 1948 sampai September 1948. Tan Malaka selalu dihadapkan dengan empat sekawan pimpinan Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir Sjarifoeddin serta gerakan komunis-sosialis yang berpengaruh dan yang menuduh Tan Malaka sebagai penganut Trotsky.
Jilid kedua biografi Tan Malaka menggambarkan secara rinci nasib Tan Malaka dan pengikutnya dalam tawanan. Ia difitnah sebagai dalang di balik Peristiwa 3 Juli 1946 untuk menyelubungi fakta bahwa peristiwa itu sebetulnya menyerupai kup Panglima Besar Soedirman yang ingin berkuasa. Dalam risalah yang menegangkan rahasia Peristiwa 3 Juli diungkapkan. Walaupun Tan Malaka masih dalam tawanan, teman-teman sehaluannya berhasil muncul kembali sebagai oposisi melawan Perjanjian Linggarjati yang dianggap sebagai kapitulasi terhadap Belanda. Akan tetapi semuanya berakhir dengan kekalahan lagi.
Pendahuluan / Prolog
Kup Tan Malaka?
Pagi buta tanggal 18 Maret di Solo, terdengar Polisi Tentara (PT) mengunci pintu. Maka Tan Malaka dan Soekarni pun tersekap sudah. Berita tentang penangkapan pemimpin-pemimpin Persatoean Perdjoeangan (PP) itu jelas sudah sampai di Yogya, oleh karena itu PT di Solo segera diberitahu. Pasukan secukupnya dikumpulkan dan diberangkatkan menuju gedung di Jalan Baron, untuk menjaga para pemimpin yang ditangkap itu.
Sejurus sesudah pintu dikunci Tan Malaka mendengar suara Yamin dari ruang sebelah. Ia mengatakan bahwa Abikoesno Tjokrosoejoso dan dirinya sudah ditangkap sebelumnya.1 Mereka berempat dikurung terpisah, dan tanpa kontak dengan dunia luar. Daun jendela kamar-kamar mereka tentu saja selalu tertutup, sehingga cahaya sianghari tidak bisa masuk. Juga janganlah bicara soal penerangan di dalam kamar.
Mereka berempat selalu di dalam kegelapan, bahkan juga pada waktu makan, sehingga seperti dikatakan Yamin, tidak bisa membedakan antara nasi dengan jari-jari tangan sendiri. Keadaan seperti itu berlangsung selama lima hari.2 Di Madiun, pada tanggal 18 pagi, Sajoeti Melik ditangkap di hotelnya; keberangkatannya ditunda karena ia merasa sakit.
Kemudian ia dibawa ke Solo dan ditahan di sana; jelas tidak bersama Tan Malaka, Yamin, Abikoesno, dan Soekarni.3 Pada tanggal 20 Maret Chairul Saleh ditangkap di Yogya.4 Ini merupakan tindakan Pemoeda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang sangat cepat dalam menanggapi mundurnya Chairul Saleh sebagai ketua Badan Kongres Pemoeda Repoeblik Indonesia (BKPRI) satu hari sebelumnya. Chairul ditahan di sebuah pabrik gula di Bantul, dekat Yogya.
Pemerintah sekarang menghadapi tugas untuk memberikan pembenaran tentang penahanan itu – dengan cara yang sesedikit mungkin menimbulkan reaksi dan tetap ada jalan alternatif yang bisa dilakukan tanpa kehilangan muka. Hal itu dilakukan dengan sangat berhati-hati, oleh sedikitnya informasi yang sengaja menyembunyikan kenyataan. Langkah pertama berupa pernyataan dari Amir Sjarifoeddin dan Soedarsono. Dua menteri ini memberikan pernyataan mereka pada tanggal 18 Maret, jadi sesudah Tan Malaka dan kawan-kawannya ditangkap.
Daftar Isi
Sampul
Daftar isi
Kata pengantar edisi Indonesia
Bab I: Kup Tan Malaka? Maret-Juli 1946
Teka-teki sekitar penangkapan
Tan Malaka dihitamkan sebagai trotskiis
Disimpan di daerah pegunungan
Konsentrasi Nasional
Para tukang di Tawangmangu
Solo dalam oposisi
Tentara dan pemerintah
Perdjuangan untuk kekuasaan di dalam PKI
Kembalinya Djamaloeddin Tamin dan kawan-kawannja
PKI menolak Tan Malaka
Partai Rakjat
Thesis
Pari bagian Submarine
Yamin menulis terus
Soedirman mengunjungi Tawangmangu
Kabinet koalisi
A.Koma
Konsesi-konsesi diplomatik kepada Belanda
Pemerintah mengakui konsesi
Oposisi bersidang
Soedarsono dan Joesoef bergerak
Penculikan Sjahrir
Manuver sekitar penculikan
Soedirman sebagai tokoh antara
Soekarno bertindak
Pembebasan Sjahrir
Penahanan-penahanan baru
Rencana Soedarsono
Tindakan Soedirman
Tahanan dibebaskan dan menuju Wiyoro
Soedarsono dan Joesoef mempersiapkan diri
Konfrontasi Soedarsono dengan Soekarno, Hatta, dan Amir
Pemerintah menghimpun dukungan
Janji dengan Soedirman
Perebutan kekuasaan, kup, atau petisi?
Daya pengaruh pendapat umum
Keterangan pemerintah
Pemerintah membenahi keadaan
Reaksi Belanda
Penulisan sejarah
Bab II: Benteng Repoeblik Juli 1946-Maret 1947
Perpindahan
Dukungan pada pemerintah
Tahanan
Ditahan di Yogya
Komidi putar tahanan
Reaksi-reaksi di luar sel
Kabinet baru
Perang saudara sesama komunis
Kembalinya Alimin
Tahanan-tahanan yang dilupakan
Perjanjian Linggajati
Benteng Repoeblik
Pengambilan keputusan parlementer, tapi bagaimana?
KNIP di Malang
Perhatian terhadap tahanan
Penantian yang tanpa ujung
Polemik kalangan kiri
PKI Sibar
Thesis dan Analisis
Roestam Effendi
Partai Rakjat
Lasjkar Rakjar Djawa Barat
Partai Rakjat Djelata
A.Koma
PKI Merah
Partai Wanita Rakjat
Bibliografi
Daftar singkatan
Indeks nama
Indeks subjek
Indeks geografi
Sumber ilustrasi