Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia

Jilid 5: 1950 - 2007

1 Pembaca
Rp 130.000 30%
Rp 91.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 273.000 13%
Rp 78.867 /orang
Rp 236.600

5 Pembaca
Rp 455.000 20%
Rp 72.800 /orang
Rp 364.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Tan Malaka (1894-1949) pada tahun 1942 kembali ke Indonesia menggunakan nama samaran sesudah 20 tahun mengembara. Pada masa Hindia Belanda ia bekerja untuk Komintern (organisasi komunis revolusioner internasional) dan sesudah 1927 memimpin Partai Repoeblik Indonesia yang ilegal dan antikolonial. Ia tidak diberi peranan dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, tokoh Tan Malaka yang legendaris itu berkenalan dengan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia: Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.

Tetapi segera pula mereka tidak sejalan. Tan Malaka menghendaki sikap tak mau berdamai dengan belanda yang ingin memulihkan kembali kekuasaan kolonialnya. Ia memilih jalan 'perjuangan' dan bukan jalan 'diplomasi'. Ia mendirikan Persatoean Perdjoangan yang dalam beberapa bulan menjadi alternatif dahsyat terhadap pemerintah moderat. Dalam konfrontasi di Parlemen ia kalah dan beberapa minggu kemudian Tan Malaka dan sejumlah pengikutnya ditangkap dan ditahan tanpa proses sama sekali- dari Maret 1946 sampai september 1948.

Sesudah pembebasan, Tan Malaka mulai dengan menghimpun pengikutnya yang telah bercerai-berai. pada November 1948 ia mendirikan partai baru yang bernama Partai Murba. Pembentukan dan perkembangan partai terganggu oleh serangan Belanda Kedua pada Desember 1948. Saat itu Tan Malaka bermarkas di Kediri di bawah perlindungan batalyon TNI yang dipimpin Sabarudin. Sabarudin memiliki reputasi buruk sebagai panglima yang bengis dan kejam. Tan Malaka mempersiapkan tentara dan rakyat melakukan perang gerilya terhadap Belanda. Ia ikut bergerilya ke Gunung Wilis.

Dalam pamflet yang ditulisnya tiap hari ia menyerang Soekarno dan Hatta, dan TNI. Bahkan ia memproklamirkan dirinya sebagai Presiden Indonesia. Serentak TNI beraksi. Setelah suatu rangkaian peristiwa yang luar biasa Tan Malaka di eksekusi oleh satuan lokal TNI di Desa Selopanggung 21 Februari 1949. Kematiannya dirahasiakan. Perlawanan pendukungnya terhadap Belanda, TNI, dan Republik diteruskan. Namun, dukungan dari rakyat tidak terwujud, dan di desember 1949, waktu Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Partai Murba menghentikan perlawanan bersenjata.

Buku ini memuat riwayat petualangan peringatan Tan Malaka dan percobaan Partai Murba untuk menjadi partai kiri yang terbesar. Tan Malaka sendiri hampir dilupakan, khususnya waktu Orde Baru. Sesudah itu ada kebangkitan kembali Tan Malaka. Banyak buku dari dan mengenai Tan Malaka diterbitkan. Bahkan kuburannya dibuka dalam tahun 2009. Partai Murba hidup merana, dan sekarang tidak ada kegiatan lagi. Yang paling aktif sekarang ialah keluarga adat Tan Malaka, yang didukung oleh pemerintah provinsi. Tetapi, sosok Tan Malaka masih kontroversial.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Harry A. Poeze

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786024332839
Terbit: Desember 2020 , 495 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Tan Malaka (1894-1949) pada tahun 1942 kembali ke Indonesia menggunakan nama samaran sesudah 20 tahun mengembara. Pada masa Hindia Belanda ia bekerja untuk Komintern (organisasi komunis revolusioner internasional) dan sesudah 1927 memimpin Partai Repoeblik Indonesia yang ilegal dan antikolonial. Ia tidak diberi peranan dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, tokoh Tan Malaka yang legendaris itu berkenalan dengan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia: Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.

Tetapi segera pula mereka tidak sejalan. Tan Malaka menghendaki sikap tak mau berdamai dengan belanda yang ingin memulihkan kembali kekuasaan kolonialnya. Ia memilih jalan 'perjuangan' dan bukan jalan 'diplomasi'. Ia mendirikan Persatoean Perdjoangan yang dalam beberapa bulan menjadi alternatif dahsyat terhadap pemerintah moderat. Dalam konfrontasi di Parlemen ia kalah dan beberapa minggu kemudian Tan Malaka dan sejumlah pengikutnya ditangkap dan ditahan tanpa proses sama sekali- dari Maret 1946 sampai september 1948.

Sesudah pembebasan, Tan Malaka mulai dengan menghimpun pengikutnya yang telah bercerai-berai. pada November 1948 ia mendirikan partai baru yang bernama Partai Murba. Pembentukan dan perkembangan partai terganggu oleh serangan Belanda Kedua pada Desember 1948. Saat itu Tan Malaka bermarkas di Kediri di bawah perlindungan batalyon TNI yang dipimpin Sabarudin. Sabarudin memiliki reputasi buruk sebagai panglima yang bengis dan kejam. Tan Malaka mempersiapkan tentara dan rakyat melakukan perang gerilya terhadap Belanda. Ia ikut bergerilya ke Gunung Wilis.

Dalam pamflet yang ditulisnya tiap hari ia menyerang Soekarno dan Hatta, dan TNI. Bahkan ia memproklamirkan dirinya sebagai Presiden Indonesia. Serentak TNI beraksi. Setelah suatu rangkaian peristiwa yang luar biasa Tan Malaka di eksekusi oleh satuan lokal TNI di Desa Selopanggung 21 Februari 1949. Kematiannya dirahasiakan. Perlawanan pendukungnya terhadap Belanda, TNI, dan Republik diteruskan. Namun, dukungan dari rakyat tidak terwujud, dan di desember 1949, waktu Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Partai Murba menghentikan perlawanan bersenjata.

Buku ini memuat riwayat petualangan peringatan Tan Malaka dan percobaan Partai Murba untuk menjadi partai kiri yang terbesar. Tan Malaka sendiri hampir dilupakan, khususnya waktu Orde Baru. Sesudah itu ada kebangkitan kembali Tan Malaka. Banyak buku dari dan mengenai Tan Malaka diterbitkan. Bahkan kuburannya dibuka dalam tahun 2009. Partai Murba hidup merana, dan sekarang tidak ada kegiatan lagi. Yang paling aktif sekarang ialah keluarga adat Tan Malaka, yang didukung oleh pemerintah provinsi. Tetapi, sosok Tan Malaka masih kontroversial.

Pendahuluan / Prolog

Kata pengantar
Akhirnya, terbit juga jilid terakhir terjemahan dari Verguisd en vergeten: Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische revolutie, 1945-1949 (Dihujat dan dilupakan: Tan Malaka, gerakan kiri, dan revolusi Indonesia, 1945-1949). Jadinya, tiga jilid dalam bahasa Belanda, dengan tebal total 2.200 halaman, berubah menjadi enam jilid dalam bahasa Indonesia, dengan tebal total 2.600 halaman. Dengan begini, Tan Malaka, yang dulu hampir tidak dikenal dan dilupakan, secara paradoks justru mendapatkan biografi yang sejauh ini melampaui biografi yang ditulis tentang Soekarno, Hatta dan Sjahrir.

Penjelasan untuk popularitas yang tampak berbeda antara Tan Malaka dengan para tokoh lainnya itu terletak pada kurangnya data dan informasi tentang Tan Malaka. Selama penelitian, saya menemukan banyak dokumen dan sumber lain yang tidak pernah dipelajari sebelumnya. Selain itu, wawancara dengan para saksi dan aktor yang terlibat erat dalam proses selama Revolusi membantu mengisi halamanhalaman kosong tentangnya. Karena itu perlu ditulis panjang lebar tentang temuan baru ini.

Selain itu, selama penelitian yang saya lakukan, saya terkejut akan kurangnya deskripsi dan analisis tentang sejumlah peristiwa penting selama Revolusi. Walaupun tidak disengajakan untuk itu, saya terdorong juga untuk menulis tentang sejumlah perkembangan yang penting dan menentukan di tingkat pusat di Republik ini ketika itu.

Peristiwa-peristiwa sangat penting dalam kesimpangsiuran di Republik ini ketika itu adalah persidangan parlemen sementara, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), pada bulan Februari-Maret 1946, Peristiwa 3 Juli 1946, sidang KNIP tentang persetujuan Perjanjian Linggardjati (FebruariMaret 1947), pembentukan Kabinet Hatta (Januari 1948), pemberontakan Madiun (September-Oktober 1948), dan akhirnya reaksi-reaksi terhadap persetujuan Roem-Van Roijen (Mei 1949), dan Konferensi Meja Bundar (Desember 1949).

Jilid terakhir ini dimulai dengan perkembangan yang berlangsung di Republik Indonesia, setelah Belanda akhirnya, pada 27 Desember 1949, sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar pada 23 Agustus 1949-2 November 1949 di Den Haag, mengakui kedaulatannya. Para pengikut Tan Malaka pun mengakhiri perlawananan bersenjata mereka melawan Belanda, TNI, dan pemerintah Indonesia.

Partai Murba, yang didirikan oleh Tan Malaka pada bulan November 1948, yang pada awalnya dianggap partai ilegal, kemudian menjadi terbuka dan berhasil merebut kursi di parlemen. Partai Murba tampaknya memiliki prospek sebagai wakil utama kaum kiri, karena Partai Komunis mengalami kesulitan oleh karena keterlibatannya dalam Pemberontakan Madiun pada September 1948. Tetapi Partai Murba gagal mewujudkan rencananya, dan tak lama kemudian kaum komunis mengerdilkan Partai Murba.

Pemilihan umum 1955 merupakan pukulan telak bagi Partai Murba, dan sejak saat itu ia tidak pernah pulih. Ia tetap menjadi partai yang kecil, dengan beberapa anggota berpengaruh. Pada tahun 1965, Soekarno merespons tekanan dari kaum komunis dan menyatakan bahwa Partai Murba ilegal. Pada masa awal Orde Baru yaitu peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto pada tahun 1966, partai itu direhabilitasi, tetapi bersama dengan semua partai politik sebelumnya tidak diberi ruang untuk mengartikulasikan programnya atau mempropagandakannya secara terbuka.

Pada pemilihan umum 1971, partai ini dilebur menjadi satu dalam Partai Demokrasi Indonesia. Dengan berakhirnya Orde Baru, Partai Murba muncul kembali tetapi tidak dapat menarik minat para pemilih. Pada pemilihan umum pertama pada masa Reformasi yaitu tahun 1999, Partai Murba menjadi kontestan dengan nomor urut 31 tetapi tidak mencapai ambang batas parlemen, sehingga ia pun lenyap kembali. Kemudian, dari partai ia bersalin rupa menjadi forum-forum diskusi. Yang membedakannya dari partai-partai kecil lain atau asosiasi-asosiasi dengan konten politik adalah sejarah panjangnya dan hubungannya yang melekat dengan Tan Malaka.

Tan Malaka terbunuh pada bulan Februari 1949 – seperti yang direkonstruksi dengan sangat rinci dalam jilid 4 karya saya tentang Tan Malaka, dengan judul Tan Malaka, gerakan kiri, dan revolusi Indonesia – tetapi ketika pada tahun 1950, dengan berakhirnya Perang Kemerdekaan, timbul pertanyaan tentang nasib Tan Malaka. Tak seorang pun mampu atau mau menjawab pertanyaan ini. Kecuali untuk para pengikutnya, sebagian besar pihak yang terlibat merasa paling nyaman dan tepat untuk meninggalkan pertanyaan tentang nasib Tan Malaka ini dalam gelap. Partai Murba mendesak untuk mendapatkan informasi tetapi tidak berhasil.

Penelitian saya sendiri pada akhirnya mengarah pada informasi yang memungkinkan untuk merekonstruksi hari-hari terakhir Tan Malaka. Saya menyampaikan hal ini pada tahun 2007 di buku saya Verguisd en vergeten (Dihujat dan dilupakan), namun tanpa informasi tentang tempat di mana ia dimakamkan. Beberapa jurnalis daerah yang melakukan penelitian tentang hal tersebut berhasil mengidentifikasi kemungkinan tempat makamnya. Oleh karena itu, pada tahun 2009 dilakukan penggalian di tempat yang ditengarai sebagai makamnya itu.

Hasilnya membenarkan kemungkinan temuan itu, tetapi karena materi DNA terlalu sedikit dan terlalu rusak, maka tidak didapatkan jawaban yang pasti dan tegas tentang apakah itu Tan Malaka atau bukan. Informasi tentang penggalian makam yang ditengarai sebagai makam Tan Malaka ini dimasukkan dalam bab ‘Makam Tan Malaka’ dalam jilid 4, hlm. 389-410.

Dokter Djaja Surya Atmadja, ahli forensik yang memimpin penggalian, berhasil mengamankan beberapa bagian yang sangat kecil dari jasad di makam tersebut. Dia berupaya keras untuk mengekstraksi DNA dari temuannya, tetapi tetap saja tak menghasilkan apa-apa, meskipun ada bantuan internasional. Selama kunjungan saya ke Jakarta baru-baru ini, Dr. Djaja menjanjikan Direktorat di Kementerian Sosial yang bertanggung jawab atas Pahlawan Nasional, sebuah laporan dalam waktu singkat, tetapi sayangnya ternyata hal itu tidak disampaikan. Hal ini sungguh patut disayangkan, karena hanya dengan pengakuan resmi, misalnya sebuah monumen makam atau sebuah museum, maka pertemuan peringatan dan publikasi mungkin mendapatkan dukungan.

Lebih khusus lagi, penantian yang tak berkesudahan ini terasa menyakitkan bagi para pria dan wanita yang bekerja keras untuk memberi Tan Malaka tempat yang layak diterimanya dalam sejarah perjuangan bangsa. Ketekunan mereka sebagai anggota Keluarga Besar Murba sangat mengagumkan. Zulfikar Tan, juga dikenal sebagai Zulfikar Kamarudin Rasad, putra dari adik lelaki Tan Malaka, adalah pemimpin dari Keluarga Besar Murba ini dan tanpa lelah selalu menyediakan waktu untuk menghadiri pertemuan, di mana ia sering menyatakan keterikatan emosional dan perasaannya yang mendalam dengan Tan Malaka.

Zulfikar menyatakan penyesalannya karena tidak melihat perwujudan dari citacitanya mengenai tempat yang layak bagi Tan Malaka dalam sejarah perjuangan Indonesia. Zulfikar meninggal pada Mei 2019, dan sayang sekali setelahnya tidak ada pengganti yang mumpuni.

Ada sebuah kelompok lain pendukung Tan Malaka, tetapi sekarang berdasarkan garis keturunan ibu, sesuai dengan sistem matriarkis Minangkabau. Dari garis keturunan itulah Tan Malaka menerima gelar adat Datuk Tan Malaka. Gelar keturunan ini kemudian diturunkan dari Tan Malaka (penyandang gelar keempat) ke Hengky Novaron (penyandang ketujuh). Tan Malaka yang baru ini (ketujuh) pada awalnya tidak begitu tertarik pada Tan Malaka yang keempat, karena sebagai seorang Muslim yang saleh ia menganggap Tan Malaka keempat sebagai seorang komunis, suatu pandangan yang mengikuti retorika pemerintah.

Namun, hal ini perlahan-lahan berubah, dan Tan Malaka ketujuh menjadi juru bicara yang setia untuk pengakuan terhadap tokoh sejarah Tan Malaka. Hubungan antara keluarga ayah dan ibu telah menjadi tegang, dan sekurang-kurangnya netral. Garis keibuan perlahan-lahan menjadi lebih menonjol, juga memobilisasi organisasi adat di Sumatra Barat.

Dengan pengaruh garis keibuan seperti itu, akhirnya didapatkan dukungan dari wakil gubernur Sumatra Barat yang berasal dari kecamatan yang sama dengan Tan Malaka, yang mendukung pembangunan sebuah pusat peringatan di wilayahnya. Berkat bantuannya untuk membangun infrastruktur dan mengatasi hambatan birokrasi akhirnya pada bulan Februari, 2017 dilangsungkan upacara akbar di Selopanggung. Ratusan tetua adat bergabung dalam perjalanan dengan mobil dari Sumatra Barat ke Jawa Timur.

Ritual dilakukan di situs pemakaman Tan Malaka, dan sebuah kotak khusus diisi dengan tanah dari makam Tan Malaka. Kotak berisi tanah makam itu merupakan simbol kembalinya Tan Malaka ke tempat kelahirannya di Pandangadang, kemudian dilangsungkan acara pemakaman dengan upacara khusus. Seperti yang dinyatakan dengan blak-blakan oleh wakil gubernur, dia tidak sabar untuk menunggu lebih lama lagi keputusan resmi dari pemerintah pusat. Dan pada kenyataannya pemerintah pusat malah tidak begitu marah dengan tindakan pembangkangan daerah seperti ini: itu justru menyelamatkan pemerintah pusat dari membuat keputusan kontroversial.

Daftar Isi

Sampul
Daftar isi
Kata pengantar
Bab 1: Partai Murba di ambang senja 1950-1965
     Sayap kiri bergabung kembali
     Kongres II Partai Murba dan Tan Malaka
     Kerja sama kiri gagal
     Gerakan buruh
     Roestam Effendi
     Kabinet Natsir
     Kabinet Soekiman
     Razia Soekiman
     Kongres III Partai Murba
     Tanda-tanya tentangTan Malaka tetap menggelantung
     Kabinet Wilopo
     Kabinet Ali Sastroamidjojo I
     Partai Murba menuju pemilu
     Acoma
     Kawan sepaham dalam politik
     Pemilu
     Kabinet Harahap dan Kabinet Ali
     Chaerul Saleh dan kaum veteran
     Demokrasi parlementer gagal
     Kelompok Murba
     Semaoen
     Menuju Demokrasi Terpimpin
     Konstituante dan komplikasi kenegaraan
     Partai Murba menghadapi hubungan baru
     Acoma
     Warisan Tan Malaka
     Pertentangan intern dalam Partai Murba
     Kiat keseimbangan PKI
     Angkatan ‘45
     PM diakui sebagai parpol
     Partindo
     Polarisasi
     Koalisi dan aksi-aksi anti-komunis
     Soekarnoisme
     BPS dilarang
     Partai Murba dibekukan
     Rencana kudeta PKI?
     Kampanye PKI anti-PM
     PKI, PM dan konflik Moskow-Beijing
     PKI bergerak untuk pelarangan PM
     PM disingkirkan
     Pendapat Hatta dan Anak Agung
     Visi dan reaksi mancanegara
Bab 2: Pemulihan dan lantas dilupakan, tapi kebangkitan kembali 1965–2007
Penutup
Bibliografi
Daftar singkatan
Indeks nama
Indeks subjek
Indeks geografi
Sumber ilustrasi