Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia

Jilid 3: Maret 1947 - Agustus 1948

1 Pembaca
Rp 125.000 30%
Rp 87.500

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 262.500 13%
Rp 75.833 /orang
Rp 227.500

5 Pembaca
Rp 437.500 20%
Rp 70.000 /orang
Rp 350.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Tan Malaka (1984-1949) pada tahun 1942 kembali ke Indonesia menggunakan nama samaran sesudah dua puluh tahun mengembara. Pada masa Hindia Belanda ia bekerja untuk Komintren (organisasi komunis revolusioner internasional) dan pasca-1927 memimpin Partai Politik Indonesia yang ilegal dan antikolonial. Ia tidak diberi peranan dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, tokoh Tan Malaka yang legendaris ini berkenalan dengan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia: Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Tetapi segara pula mereka tidak sejalan.

Tan Malaka menghendaki sikap tak mau berdamai dengan Belanda yang ingin memulihkan kembali kekuasaan kolonialnya. Ia memilih jalan 'perjuangan' dan bukan jalan 'diplomasi'. Ia mendirikan Persatoean Perdjoeangan yang dalam beberapa bulan menjadi alternatif dahsyat terhadap pemerintah moderat. Dalam konfrontasi di Parlemen ia kalah dan beberapa minggu kemudian Tan Malaka dan sejumlah pengikutnya ditangkap dan ditahan tanpa proses sama sekali - dari Maret 1946 sampai September 1948. Ia juga dituduh terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai kudeta.

Dalam periode yang dibicarakan dalam jilid ketiga ini Tan Malaka masih mendekam di penjara, namun demikian ia memiliki kesempatan untuk menulis. Sementara itu para pengikutnya sekali lagi terorganisir dalam Gerakan Revolusi Rakjat. Terdapat indikasi mungkin ia akan dibebaskan. Tan Malaka di dalam sel menulis autobiografi dalam tiga jilid Dari pendjara ke pendjara. Sebuah analisis mendalam menunjukkan bahwa autobiografi Tan Malaka dapat ditafsirkan dalam berbagai cara. Dalam jilid ketiga ini terdapat pula banyak perhatian terhadap proses pengadilan raksasa yang berlangsung dari Februari-Mei 1948. Dalam proses tersebut sejumlah besar politisi terkemuka diadili. Ini merupakan proses politik unik yang tidak pernah ada taranya di Indonesia.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Harry A. Poeze

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786024332860
Terbit: Desember 2020 , 398 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Tan Malaka (1984-1949) pada tahun 1942 kembali ke Indonesia menggunakan nama samaran sesudah dua puluh tahun mengembara. Pada masa Hindia Belanda ia bekerja untuk Komintren (organisasi komunis revolusioner internasional) dan pasca-1927 memimpin Partai Politik Indonesia yang ilegal dan antikolonial. Ia tidak diberi peranan dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, tokoh Tan Malaka yang legendaris ini berkenalan dengan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia: Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Tetapi segara pula mereka tidak sejalan.

Tan Malaka menghendaki sikap tak mau berdamai dengan Belanda yang ingin memulihkan kembali kekuasaan kolonialnya. Ia memilih jalan 'perjuangan' dan bukan jalan 'diplomasi'. Ia mendirikan Persatoean Perdjoeangan yang dalam beberapa bulan menjadi alternatif dahsyat terhadap pemerintah moderat. Dalam konfrontasi di Parlemen ia kalah dan beberapa minggu kemudian Tan Malaka dan sejumlah pengikutnya ditangkap dan ditahan tanpa proses sama sekali - dari Maret 1946 sampai September 1948. Ia juga dituduh terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai kudeta.

Dalam periode yang dibicarakan dalam jilid ketiga ini Tan Malaka masih mendekam di penjara, namun demikian ia memiliki kesempatan untuk menulis. Sementara itu para pengikutnya sekali lagi terorganisir dalam Gerakan Revolusi Rakjat. Terdapat indikasi mungkin ia akan dibebaskan. Tan Malaka di dalam sel menulis autobiografi dalam tiga jilid Dari pendjara ke pendjara. Sebuah analisis mendalam menunjukkan bahwa autobiografi Tan Malaka dapat ditafsirkan dalam berbagai cara. Dalam jilid ketiga ini terdapat pula banyak perhatian terhadap proses pengadilan raksasa yang berlangsung dari Februari-Mei 1948. Dalam proses tersebut sejumlah besar politisi terkemuka diadili. Ini merupakan proses politik unik yang tidak pernah ada taranya di Indonesia.

Pendahuluan / Prolog

Kemungkinan-kemungkinan baru
Sidang Komite Nasional Indonesia Poesat (KNIP) di Malang berakhir dengan kekalahan bagi oposisi. Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masjoemi menanggapi kata-kata Hatta dan Soekarno yang bernada perintah, dengan agak memalukan, yaitu meninggalkan ruang sidang. Oposisi mereka, yang sedikit banyak terdorong oleh penolakan terhadap peranan kaum sosialis yang mendominasi kabinet itu, tidak mendapatkan hasil.

Memang prospek keberhasilannya juga tidak sangat menjanjikan. Untuk melakukan tindakan drastis dengan perebutan kekuasaan agaknya mereka tidak berani. Dengan haluan mereka yang menentang perundingan dan persetujuan dengan Belanda, menentang dasar pikiran Linggajati, mereka terus dalam posisi melawan kabinet dan lebih penting lagi melawan Soekarno dan Hatta.

Karena itu hasrat untuk ikut ambil bagian dalam kabinet juga di luar anganangan. Maka PNI dan Masjoemi pun perlu berpikir ulang; dan hasil daripadanya langsung berpengaruh terhadap fungsi dan kelangsungan hidup Benteng Repoeblik. Persetujuan Linggajati pada tanggal 25 Maret ditandatangani, tapi kedua belah pihak menerimanya dengan versi masing-masing. Republik menandatangani naskah itu sebagaimana yang disepakati pada bulan November 1946; Belanda kemudian menambah dengan penjelasan seperti yang telah disepakati dalam pembahasan parlemen mereka di Den Haag.

Kemudian dengan agak kurang menguntungkan perundingan untuk pematangan persetujuan bisa dimulai. Di dalam kalangannya sendiri PNI dan Masjoemi memikirkan kegagalannya. Masih bulan Maret ketika itu Masjoemi mengadakan konferensi kilat pada tanggal 19 dan 20 Maret di Yogya. Sebuah program urgen disetujui, yaitu menuntut diselenggarakannya pemilihan umum; dan pimpinan pusat diberi kuasa untuk menghadapi perjuangan politik lebih lanjut, dalam ‘melawan bahaya yang bisa timbul sebagai akibat dari persetujuan Linggajati’.

Ditambahkan pula, bahwa penandatanganan persetujuan itu sia-sia belaka, jika memerhatikan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Belanda itu.2 Tapi satu minggu kemudian pernyataannya itu ditarik kembali. PNI menyelenggarakan kongresnya yang kedua pada 29 sampai 31 Maret di Madiun. Mosi tentang Linggajati menyatakan, bahwa partai mendasarkan perjuangannya pada ‘Realpolitik’.

Sehingga oleh karenanya harus diperhitungkan tentang persetujuan yang sudah diadakan, dan selanjutnya diputuskan bahwa akibat-akibat dan kemungkinan-kemungkinan persetujuan itu harus benar-benar diamati, dan bersama dengan partaipartai lain segala daya-upaya harus dicurahkan untuk pembangunan dan pertahanan, untuk mempertahankan kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia sepenuhnya.

Wakil-wakil PNI dalam delegasi perundingan dengan Belanda, menteri A.K. Gani dan menteri Soesanto Tirtoprodjo, mendapat kesempatan yang leluasa untuk menyampaikan visi mereka. Terpilihnya mereka sebagai ketua dan wakil ketua dewan partai justru bisa memperkuat kesan, bahwa PNI telah siap untuk meninggalkan persekutuan anti-Linggajati.

Daftar Isi

Sampul
Daftar isi
Kata pengantar edisi Indonesia
Bab I: Kemungkinan-kemungkinan baru Maret 1947 – Agustus 1948
Bab II: Autobiografi ‘Dari pendjara ke pendjara’
Bab III: Proses 3 Juli
Bibliografi
Daftar singkatan
Indeks nama
Indeks subjek
Indeks geografi
Sumber ilustrasi