Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Madiun 1948 PKI Bergerak

1 Pembaca
Rp 125.000 30%
Rp 87.500

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 262.500 13%
Rp 75.833 /orang
Rp 227.500

5 Pembaca
Rp 437.500 20%
Rp 70.000 /orang
Rp 350.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Pada tanggal 10 Agustus 1948 Moeso kembali ke Indonesia. Sejak tahun 1926, setelah pemberontakan komunis, ia menghilang ke Moskow dan mengabdikan dirinya pada Komintern - Komunis Internasional. Pada tahun 1936 sebagai agen rahasia ia tinggal selama enam bulan di Surabaya untuk membangun kembali Partai Komunis Indonesia (PKI). Kemudian ia bermukim di Uni Soviet dengan aktivitas utamanya sebagai penasihat untuk urusan Indonesia. Sesudah kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia II dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, PKI memperoleh posisi yang kuat di dalam Republik, tapi tetap mempertahankan eksistensinya yang setengah ilegal. Anggota-anggotanya menyebar masuk ke dalam berbagai macam partai. Amir Sjarifoeddin - anggota rahasia PKI - pernah menjadi perdana menteri, tapi pada Januari 1948 ia mengundurkan diri. Kabinet di bawah pimpinan Wakil Presiden Hatta tampil tanpa mengikutsertakan komunis. Sementara itu, Soviet mengubah haluan politiknya menjadi beroposisi keras terhadap Barat. Moeso mendapat restu dari Moskow untuk melakukan reorganisasi terhadap PKI. Maka segera setelah sesudah kedatangannya di Indonesia ia memaparkan sebuah haluan baru yang disebut 'Djalan Baru'. Ini merupakan perubahan radikal dari sikap PKI, yaitu konfrontasi terhadap pemerintah borjuis Soekarno-Hatta. Bahasa Moeso yang menghasut mendapat dukungan dari semua anggota PKI dan mengakibatkan ketegangan semakin memuncak, serta memecah-belah pendapat politik di kalangan tentara. Di Solo terjadi bentrokan sengit antara golongan militer dan politik. Kekalahan kaum kiri di sana menimbulkan reaksi di Madiun, sehingga terjadi perebutan kekuasaan oleh kaum komunis pada tanggal 18 September. Soekarno dan Hatta tampil menghadapi Moeso dan Madiun direbut kembali sepuluh hari kemudian. Dibutuhkan waktu beberapa minggu untuk mematahkan seluruh perlawanan PKI. Bagi pemerintah peristiwa ini merupakan suatu 'narrow escape' - bagaikan lolos dari lubang jarum.

Berdasarkan pada banyak bahan yang tidak dikenal. Harry Poeze dengan amat teliti menyusun kembali segala apa yang telah terjadi di seputar 'Madiun'. Ia telah berhasil mengurai banyak teka-teki yang melatarbelakangi kejadian tersebut. Ia juga memberi jawaban, apakah persoalan 'Madiun' harus disebut sebagai peristiwa lokal saja, ataukah suatu perebutan kekuasaan oleh kaum komunis. Sampai sekarang masalah ini masih merupakan tema perdebatan seru, sebagaimana juga tampak dalam tinjauan historiografis yang tercantum dalam buku ini. Menurut hemat pengarang, sekarang debat itu bisa mendapatkan jalan keluarnya.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Harry A. Poeze

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786024331801
Terbit: Desember 2020 , 444 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Pada tanggal 10 Agustus 1948 Moeso kembali ke Indonesia. Sejak tahun 1926, setelah pemberontakan komunis, ia menghilang ke Moskow dan mengabdikan dirinya pada Komintern - Komunis Internasional. Pada tahun 1936 sebagai agen rahasia ia tinggal selama enam bulan di Surabaya untuk membangun kembali Partai Komunis Indonesia (PKI). Kemudian ia bermukim di Uni Soviet dengan aktivitas utamanya sebagai penasihat untuk urusan Indonesia. Sesudah kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia II dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, PKI memperoleh posisi yang kuat di dalam Republik, tapi tetap mempertahankan eksistensinya yang setengah ilegal. Anggota-anggotanya menyebar masuk ke dalam berbagai macam partai. Amir Sjarifoeddin - anggota rahasia PKI - pernah menjadi perdana menteri, tapi pada Januari 1948 ia mengundurkan diri. Kabinet di bawah pimpinan Wakil Presiden Hatta tampil tanpa mengikutsertakan komunis. Sementara itu, Soviet mengubah haluan politiknya menjadi beroposisi keras terhadap Barat. Moeso mendapat restu dari Moskow untuk melakukan reorganisasi terhadap PKI. Maka segera setelah sesudah kedatangannya di Indonesia ia memaparkan sebuah haluan baru yang disebut 'Djalan Baru'. Ini merupakan perubahan radikal dari sikap PKI, yaitu konfrontasi terhadap pemerintah borjuis Soekarno-Hatta. Bahasa Moeso yang menghasut mendapat dukungan dari semua anggota PKI dan mengakibatkan ketegangan semakin memuncak, serta memecah-belah pendapat politik di kalangan tentara. Di Solo terjadi bentrokan sengit antara golongan militer dan politik. Kekalahan kaum kiri di sana menimbulkan reaksi di Madiun, sehingga terjadi perebutan kekuasaan oleh kaum komunis pada tanggal 18 September. Soekarno dan Hatta tampil menghadapi Moeso dan Madiun direbut kembali sepuluh hari kemudian. Dibutuhkan waktu beberapa minggu untuk mematahkan seluruh perlawanan PKI. Bagi pemerintah peristiwa ini merupakan suatu 'narrow escape' - bagaikan lolos dari lubang jarum.

Berdasarkan pada banyak bahan yang tidak dikenal. Harry Poeze dengan amat teliti menyusun kembali segala apa yang telah terjadi di seputar 'Madiun'. Ia telah berhasil mengurai banyak teka-teki yang melatarbelakangi kejadian tersebut. Ia juga memberi jawaban, apakah persoalan 'Madiun' harus disebut sebagai peristiwa lokal saja, ataukah suatu perebutan kekuasaan oleh kaum komunis. Sampai sekarang masalah ini masih merupakan tema perdebatan seru, sebagaimana juga tampak dalam tinjauan historiografis yang tercantum dalam buku ini. Menurut hemat pengarang, sekarang debat itu bisa mendapatkan jalan keluarnya.

Pendahuluan / Prolog

Kata Pengantar
Dalam bulan Juni 2007 terbitlah buku saya yang berjudul Verguisd en vergeten; Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945- 1949 (Dihujat dan dilupakan; Tan Malaka, gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia, 1945-1949). Buku ini bukan sekadar biografi, tapi juga merupakan sejarah Revolusi Indonesia, sebagaimana yang terjadi pada tingkat pusat. Ketika menulis, saya menjadi heran karena ternyata masih sangat banyak kejadian yang belum dituliskan. Maka saya berusaha melakukan penulisan itu. Hasilnya berupa sebuah buku tebal dalam bahasa Belanda, yang terdiri dari tiga jilid berisi 2.200 halaman.

Sejarah ini dituliskan dengan perkembangan politik dalam negeri Indonesia sebagai titik tolak. Sebagian besar buku yang ada sampai sekarang memilih suatu sudut pandang, yang ditentukan oleh dimensidimensi internasional dari konflik dekolonisasi antara Indonesia dan Belanda, dengan peranan penting Inggris, Amerika Serikat, dan Perserikatan Bangsa Bangsa di dalamnya. Dengan demikian dalam bukubuku itu, Perjanjian Linggadjati dan Perjanjian Renville, serta dua aksi militer Belanda tentu saja berperan sebagai titik-balik yang menentukan.

Di dalam Republik Indonesia sendiri kejadian-kejadian tersebut juga merupakan peristiwa penting, tapi yang terlebih penting dalam menentukan jalannya sejarah ialah perkembangan dan krisis internal. Hal itu menentukan hidup-mati republik itu sendiri. Konflik di dalam republik antara ‘perjuangan’ dan ‘diplomasi’ itulah yang setiap kali berkobar. Kan tetapi, kedua belah ‘pihak’ yang berkonflik tidak mempunyai pengikut tetap. Sebagian besar suatu ketika memilih satu pihak, kemudian pada saat yang lain pindah ke pihak lain. Di sini oportunitas politik memainkan peranan besar. Ini sebuah permainan akrobat yang sulit. Tidak ada jaring pengaman, maka jumlah korban pun tidak sedikit.

Peristiwa-peristiwa sangat penting dalam kesimpangsiuran dalam negeri republik itu ialah persidangan parlemen sementara, Komite Nasional Indonesia Pusat dalam bulan Februari-Maret 1946, Peristiwa 3 Juli (1946), sidang KNIP tentang persetujuan Perjanjian Linggadjati (Februari-Maret 1947), pembentukan Kabinet Hatta (Januari 1948), pemberontakan Madiun (September-Oktober 1948), dan akhirnya reaksireaksi terhadap persetujuan Roem-Roijen (Mei 1949), dan Konferensi Meja Bundar (Desember 1949).

Semua peristiwa itu dibicarakan panjang lebar di dalam buku saya. Setelah melalui pertimbangan panjang akhirnya diputuskan, terjemahan Indonesia Verguisd en vergeten akan terdiri dari enam jilid, yang akan terbit berturut-turut dalam waktu tiga tahun. Judul berubah menjadi: Tan Malaka, gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia. Setiap jilid akan diberi anak judul yang berupa keterangan kronologis. Pembagiannya sebagai berikut: Jilid 1: Agustus 1945 – Maret 1946 Jilid 2: Maret 1946 – Maret 1947 Jilid 3: Maret 1947 – Agustus 1948 Jilid 4: September 1948 – Februari 1949 Jilid 5: Maret 1949 – 2010.

Jilid keenam ini memberikan uraian tentang jalannya pemberontakan Madiun. Oleh karena itu, judul untuk lima jilid pertama tidak berlaku lagi, mengingat di dalam peristiwa Madiun Tan Malaka tidak mempunyai peran. Dengan demikian jilid ini akan diterbitkan sendiri dengan judul tersendiri pula. Dibandingkan dengan penerbitan versi bahasa Belanda, pada penerbitan buku ini ditambahkan sebuah pendahuluan, yang dalam garis besarnya menggambarkan tentang sejarah komunisme di Hindia Belanda/Indonesia. Juga data-datanya diolah dari sejumlah publikasi yang terbit sejak tahun 2007.

Terjemahan semua jilid buku dikerjakan oleh Hersri Setiawan. Saya sangat berterima kasih untuk kesediaan dan kesungguhannya. Selain keahliannya dalam bahasa, ia juga membawa serta pengetahuan dan perhatiannya yang besar terhadap pokok pikiran dalam kisah sejarah saya ini. Berkat sumbangan dari SNS Reaal Fonds, Utrecht sehingga anggaran penerjemahan dapat dibiayai. Tata letak terjemahan ini diatur oleh Slamat Trisila. Akhirnya penerbit saya di Indonesia, Ibu Kartini dari Yayasan Obor Indonesia dan Roger Tol dari KITLV-Jakarta, mengupayakan agar buku ini bisa diselesaikan.

Daftar Isi

Sampul
Daftar isi
Kata pengantar edisi Indonesia
Bab I Jalan ke konfrontasi
     Sejarah PKI yang bergelora
     Reorientasi PKI
     Kedatangan Moeso
     Djalan baru
     Haluan baru dalam publisitas
     Pelaksanaan haluan baru
     Amir Sjarifoeddin membuka selubung
     Ancang-ancang menuju fusi
     GRR dan Moeso
     Hatta bicara
     Tekanan ditingkatkan
     Pertentangan di Solo
     Pembunuhan terhadap Soetarto
     Konfrontasi di Solo
     Pertempuran terbuka
     Siliwangi mulai unggul
     Pentingnya Solo
     Moeso berpidato di depan massa
     Adu kekuatan di Madiun
     Reaksi-reaksi Belanda
     Reaksi keras dari Yogya
     Suara-suara pers
     PKI dalam perang kata-kata
     Yogya memobilisasi tentara
     PKI mengubah taktik
     Kampanye militer
     Madiun di bawah pemerintah FDR
     Kekejaman-kekejaman
     Pemberontakan di daerah
     Melarikan diri dari Madiun
     Akibat-akibat di luar Madiun
     Suara pers
     Rencana rahasia komunis
     Longmars
     Tamatnya Moeso
     Longmars jalan terus
     Neraca
     Ofensif propaganda pemerintah
     Perhitungan
Bab II Madiun dalam pandangan politik dan sejarah, 1948-2010
     Pandangan Soekarno dan Hatta
     Interpretasi CPN
     Uni Soviet menunggu
     Analisis PKI yang pertama
     PKI menulis kembali Madiun
     Versi kiri pasca-1965
     Kilas balik Soekarno dan Hatta
     Penulis-penulis Indonesia sampai 1965
     Historiografi ‘resmi’ pasca-1965
     Historiografi lain di Indonesia
     Pandangan Barat
     Penutup
Bibliografi
Daftar singkatan
Indeks nama
Indeks subjek
Indeks geografi
Sumber ilustrasi