Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Calon Arang

Kisah perempuan korban patriarki

1 Pembaca
Rp 95.000 30%
Rp 66.500

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 199.500 13%
Rp 57.633 /orang
Rp 172.900

5 Pembaca
Rp 332.500 20%
Rp 53.200 /orang
Rp 266.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Legenda Calon Arang yang menjadi populer di Bali sebagai karya sakral dalam pusaka budaya Bali berasal dari kerajaan Kediri di Jawa pada zaman Raja Erlangga yang lahir dari perkawinan Pangeran Udayana dari dinasti Warmadewa di Bali dengan putri Mahendradatta (991-1046) dari Jawa Timur. Karya tari itu juga memperlihatkan bahwa perang dan mempersalahkan orang lain itu sia-sia belaka. Dalam Calon Arang, Kisah Perempuan Korban Patriarki Toeti Heraty selaku salah seorang penyair feminis Indonesia terdepan tak hanya memintakan perhatian pada sebabmusabab dan kesia-siaan perang antarjenis. Ia juga memintakan perhatian pada ancaman terhadap kedamaian yang datang dari patriarki yang tak putusnya berupaya melemparkan kesalahan ke alamat lain.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Toeti Heraty

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9789794618332
Terbit: Desember 2012 , 163 Halaman

BUKU SERUPA













Ikhtisar

Legenda Calon Arang yang menjadi populer di Bali sebagai karya sakral dalam pusaka budaya Bali berasal dari kerajaan Kediri di Jawa pada zaman Raja Erlangga yang lahir dari perkawinan Pangeran Udayana dari dinasti Warmadewa di Bali dengan putri Mahendradatta (991-1046) dari Jawa Timur. Karya tari itu juga memperlihatkan bahwa perang dan mempersalahkan orang lain itu sia-sia belaka. Dalam Calon Arang, Kisah Perempuan Korban Patriarki Toeti Heraty selaku salah seorang penyair feminis Indonesia terdepan tak hanya memintakan perhatian pada sebabmusabab dan kesia-siaan perang antarjenis. Ia juga memintakan perhatian pada ancaman terhadap kedamaian yang datang dari patriarki yang tak putusnya berupaya melemparkan kesalahan ke alamat lain.

Ulasan Editorial

Dalam karya ini, suara pengarangnya tetap seperti dahulu: mengajak bercengkerama, terkadang mengajak tersenyum, tetapi selalu mengajak berpikir

Australian National University, Sydney / Keith Foulcher

Pembaca boleh penasaran untuk mengikuti, bagaimana prosa lirik ini akan ditulis oleh seorang penyair, yang mencoba memahami manusia semenjak tubuhnya, sampai tingkat sarjana muda kedokteran lantas jiwanya, sampai lulus sarjana psikologi diteruskan dengan refleksi radikal melalui filsafat, sampai tingkat doktor 'yang telah dikukuhkan sebagai guru besar; namun mengaku baru mengenalnya secara utuh dalam ekspresi puisi

Seno Gumira Ajidarma

Pendahuluan / Prolog

Pendahuluan
Dari sudut pandang saya, setidaknya terdapat dua jalan menuju buku ini. Jalan pertama adalah tradisi Calon Arang. Jalan kedua tentu kedudukan perempuan dalam puisi-puisi Toeti Heraty. Keduanya, sendirian atau berbarengan, sangat relevan dalam pendekatan kepada prosa lirik ini, Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. Celakanya, pengetahuan saya mengenai Calon Arang amatlah miskin. Saya masih duduk di bangku sekolah dasar ketika mengenalnya sebagai sumber grubug dari Bali, penebar bencana kematian massal, dari buku Tjerita Rakjat yang diterbitkan Balai Pustaka. Dengan kata Iain, Ni Rangda ini, si janda itu, menjadi simbol kejahatan. Demikianlah sejak masa kanak-kanak sebagian besar dari kita diperkenalkan dengan dikotomi baik-buruk, jahat-suci, hitam-putih. Kita diperkenalkan kepada panah-panah yang berlawanan arah, dan bahwa “kebenaran” selalu menang.

Setelah menjadi tua, ternyata masih ada juga yang berpikir dalam pemilahan kekanakkanakan itu. Sebagian besar memilih jadi penjahat, terang-terangan maupun tersembunyi, sebagian lagi dengan kesadaran penuh memilih “jalan yang benar” memilih peran heroik, yang sampai hari ini harus puas dengan hadiah hiburan bernama kemenangan moral. Tentu lebih banyak lagi yang tidak pernah berpikir, dan kalau terpikir pun tidak peduli dengan semua itu mereka inilah yang sungguh berbahagia dan beruntung.

Yang paling malang adalah korban, obyek para penjahat maupun pahlawan. Nah, buku ini berjudul Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. Ternyata Calon Arang adalah korban. Dikotomi baku mengalami penghancuran: Si Jahat, Sang Penebar Teluh, kenapa disebut korban? Apakah sebenarnya kebenaran itu? Dengan diperkenalkannya pemikiran antirealis, kita boleh bersyukur tidak usah mencari kebenaran “sampai dapat”, melainkan cukup mengurusi gejala teramati saja dan untuk itu sungguh Calon Arang adalah bahan yang menarik.

Dalam prosa lirik ini kita temui catatan tentang naskah berkode LOR 5387/5279 yang bertahun Saka 1462 (1540M) dan berbahasa Jawa Kuno. Jelas di sana Calon Arang terkutuk untuk menjadi jahat. Saya tak tahu bagaimana Calon Arang ditafsirkan dalam Dongeng Dari Dirah (1974), koreografi Sardono W. Kusumo yang memasyhurkan namanya di Eropa, namun saya membacanya dalam wujud dongeng tertulis Calon Arang (1954) karya Pramudya Ananta Toer, maupun dalam bentuk komik Tapak Suci Sang Bharadah (1981) karya Teguh Santosa. Dalam dua karya terakhir itu pun Calon Arang sudah berbeda tafsir. Pram tidak memberi ampun Calon Arang yang dengan teluhnya menjadi simbol kekuasaan jahat, tetapi dalam komik Teguh Santosa, Mpu Bharadah memberi kesempatan Calon Arang mati sebagai orang suci.

Namun dikotomi kedua karya ini masih sama, yakni dikotomi jahat-suci. Tahun 2000 muncul The King’s Witch, suatu naskah libretto, yang ditulis Goenawan Mohamad dalam bahasa Inggris. Naskah itu dimuat dalam Silenced Voices: New Writing from Indonesia. Dalam pengantarnya Goenawan menyatakan, cerita Calon Arang yang tradisional tentu adalah sudut pandang raja, yakni Airlangga yang mengutus Mpu Bharadah menaklukkan Calon Arang. Artinya, dikotomi yang berlaku kini adalah pusat dan pinggiran, dan simpati diberikan kepada Calon Arang yang dikorbankan untuk mengukuhkan kekuasaan pusat. Lantas prosa lirik ini, selesai ditulis Toeti Heraty pada Agustus 2000, menokohkan Calon Arang bukan hanya sebagai korban, tetapi terutama sebagai perempuan korban.

Dengan kalimat lengkap perempuan korban patriarki, jelas sudah sang antagonis adalah pria, lelaki, semua makhluk manusia berlingga. Dikotomi perempuan-lelaki adalah topik utama kaum feminis: dunia ini tidak adil terhadap perempuan, karena kebudayaan dunia merupakan manifestasi penindasan lelaki terhadap perempuan - sengaja atau tidak, dunia ini menguntungkan lelaki. Kalau menjadi lagu dangdut, judulnya Gara-Gara Lelaki, Apa boleh buat, hal itu memang terbukti. Bahkan berlangsung internalisasi nilai-nilai patriarki dalam diri kaum perempuan sendiri. Seolah-olah nasib malang kaum perempuan adalah kodrat. Tidak aneh jika prosa lirik ini dipersembahkan kepada setiap perempuan yang meredam kemarahan saja. Karena proses internalisasi nilai tersebut, yang membuai pria, di sisi lain telah juga dimanfaatkan perempuan, sehingga mampu menangguk keuntungan, tidak marah, malah pasrah dan bahagia, dalam ketertindasannya. Pendapat seperti ini bisa mengundang kemarahan lagi, tapi memang begitulah yang terjadi. Perempuan yang mampu marah (termasuk yang mampu meredamnya) hanyalah perempuan yang sadar, dan tidak setiap perempuan (seperti juga tidak setiap lelaki) beruntung mengalami penyadaran.

Daftar Isi

Sampul
Pendahuluan
Pengantar
Daftar Isi
I. Calon Arang dalam Budaya Bali
II. Calon Arang menurut penelitian sastra
III. Janda dengan anak Gadis
IV. Menghadap Batara Durga
V. Misogini dan Patriarki
VI. Kilas Balik - Majapahit - Bali
VII. Calon Arang dengan anak buah
VIII. Strategi Mpu Baradah
IX. Ratna Manggali dilamar Kebo Bahula
X. Pengkhianatan dan Pencurian Buku Lipyakara
XI. Mpu Baradah menghadapi Calon Arang
XII. Kekerasan terhadap perempuan
XIII. Filsafat Perjodohan
XIV. Perihal Legitimasi
XV. Hal ihwal tubuh manusia
XVI. Hak Reproduksi
XVII. Arus Balik Feminisme
XVIII. penutup
Perempuan sebagai Ada dan Makna*
Epilog
Tentang Penulis

Kutipan

Calon Arang dalam Budaya Bali
Calon Arang begitu ia disebut orang
dianggap simbol kejahatan di Bali
melawan Barong yang kemenangannya belum pasti
nenek sihir dengan rambut gimbal terjurai
lidah terjulur, taring dan kuku mencengkeram
dengan susu bergayutan,
dia, sebenarnya juga perempuan
lanjut usia yang kebablasan geramnya

riwayatnya dimulai dengan menjangkitnya
ketakutan di suatu desa bernama Dirah
seorang janda, Calon Arang dengan daya sihirnya
ditakuti sangat, sehingga
Ratna Manggali, putrinya yang cantik jelita
tak ada yang berani melamarnya :
alangkah marahnya sang janda
alangkah malunya sang janda

Calon Arang namanya, dengan geram yang
tak habis-habisnya, menyemburkan api dahsyat
dari mata, hidung, mulut dan telinga

Desa Dirah, sekitar abad sebelas, terletak
di Kerajaan Daha di mana Raja Erlangga
bertahta, yang kemudian dibagi menjadi Kediri
dan Jenggala kalau kisah ini didudukkan
dalam alur sejarah tapi mitosnya sederhana saja:

ada gadis cantik jelita, anak janda
tidak ada yang meminangnya
janda geram mendatangkan bencana
putera pendeta mempersunting anak, sekaligus
menjebak rahasia ibu mertua, sehingga Sang janda
berhasil dimusnahkan oleh pendeta
demi kekuasaan raja Erlangga

demikianlah masalah memperoleh penyelesaian
mitosnya antara cinta ibu dan kekuasaan Negara