Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Keamanan Maritim dan Ekonomi Biru: Transformasi Ekonomi Kelautan Berkelanjutan di Indonesia

1 Pembaca
Rp 95.000 30%
Rp 66.500

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 199.500 13%
Rp 57.633 /orang
Rp 172.900

5 Pembaca
Rp 332.500 20%
Rp 53.200 /orang
Rp 266.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Keamanan maritim sangat penting untuk mendukung Ekonomi Biru. Banyak forum keamanan maritim telah menjadi pendukung utama konsep Ekonomi Biru. Ada dua interaksi utama antara Ekonomi Biru dan kepentingan keamanan maritim. Pertama, keamanan maritim adalah pendorong Ekonomi Biru, misalnya, melalui pengamanan rute navigasi, menyediakan data oseanografi penting untuk industri kelautan dan melindungi hak atas sumber daya dan aktivitas laut yang berharga di dalam zona yurisdiksi maritim yang diklaim. Kedua, peran keamanan maritim yang sering diabaikan dalam Ekonomi Biru, yakni dengan menjadi sumber pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Biru yang diperluas akan menciptakan permintaan yang lebih besar untuk kemampuan keamanan maritim. Pada gilirannya, hal ini akan memacu peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi kelautan. Ekonomi Biru bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kehidupan dan inklusi sosial tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan laut dan wilayah pesisir karena sumber daya laut terbatas dan kondisi fisiknya telah dirugikan oleh tindakan manusia.

Istilah “Ekonomi Biru” semakin menjadi komponen integral dari tata kelola laut (ocean governance) dalam bahasa sehari-hari selama dekade terakhir sejak kemunculannya di Konvensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (UNCSD) 2012 atau Konferensi Rio + 20. Ekonomi Biru muncul untuk mencerminkan fakta bahwa lebih dari 70% permukaan bumi adalah air. Lautan sangat penting untuk keberlanjutan global dan memainkan peran penyeimbang utama dalam iklim global sebagai penyerap utama untuk kelebihan panas dan karbon yang ada dalam sistem iklim global. Memang, lautan diakui sebagai area yang vital dan pendukung keanekaragaman hayati global. Pada saat yang sama, lautan juga merupakan sumber penting makanan, yakni dengan perikanan dan budi daya lautnya. Hal ini merupakan dasar bagi ekonomi global melalui perdagangan laut.

Konsep Ekonomi Biru telah secara khusus diperjuangkan oleh Pulau Kecil dan Negara Berkembang (Small Island and Developing States - SIDS) sebagai pengakuan atas yurisdiksi laut mereka yang besar dan pentingnya industri laut dan kelautan bagi ekonomi nasional mereka. Salah satu pertanyaan yang sering dimasukkan ke dalam diskusi Ekonomi Biru adalah berkaitan dengan ruang lingkup sektoralnya. Mengingat Ekonomi Biru sering dianggap sebagai bagian dari ekonomi kelautan, identifikasi dan penilaian segmen atau sektor yang membentuk ekonomi laut sering merupakan langkah pertama dalam proses perencanaan pengembangan Ekonomi Biru atau mengidentifikasi potensi peluang Ekonomi Biru.

Masih ada pertanyaan tentang apa yang membedakan kelautan dan Ekonomi Biru dalam kaitannya dengan ruang lingkup sektoral. Namun, ada potensi di semua sektor untuk meningkatkan kinerja lingkungan dan menumbuhkan manfaat sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan kelautan. Dalam hal ini, setidaknya, semua sektor memiliki kemampuan untuk menjadi lebih “Biru”.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Dr. Humphrey Wangke, M.Si / Ziyad Falahi, M. Si / Simela Victor Muhamad, Drs., M.Si
Editor: Dr. Humphrey Wangke, M.Si

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786233211253
Terbit: Desember 2021 , 148 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Keamanan maritim sangat penting untuk mendukung Ekonomi Biru. Banyak forum keamanan maritim telah menjadi pendukung utama konsep Ekonomi Biru. Ada dua interaksi utama antara Ekonomi Biru dan kepentingan keamanan maritim. Pertama, keamanan maritim adalah pendorong Ekonomi Biru, misalnya, melalui pengamanan rute navigasi, menyediakan data oseanografi penting untuk industri kelautan dan melindungi hak atas sumber daya dan aktivitas laut yang berharga di dalam zona yurisdiksi maritim yang diklaim. Kedua, peran keamanan maritim yang sering diabaikan dalam Ekonomi Biru, yakni dengan menjadi sumber pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Biru yang diperluas akan menciptakan permintaan yang lebih besar untuk kemampuan keamanan maritim. Pada gilirannya, hal ini akan memacu peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi kelautan. Ekonomi Biru bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kehidupan dan inklusi sosial tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan laut dan wilayah pesisir karena sumber daya laut terbatas dan kondisi fisiknya telah dirugikan oleh tindakan manusia.

Istilah “Ekonomi Biru” semakin menjadi komponen integral dari tata kelola laut (ocean governance) dalam bahasa sehari-hari selama dekade terakhir sejak kemunculannya di Konvensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (UNCSD) 2012 atau Konferensi Rio + 20. Ekonomi Biru muncul untuk mencerminkan fakta bahwa lebih dari 70% permukaan bumi adalah air. Lautan sangat penting untuk keberlanjutan global dan memainkan peran penyeimbang utama dalam iklim global sebagai penyerap utama untuk kelebihan panas dan karbon yang ada dalam sistem iklim global. Memang, lautan diakui sebagai area yang vital dan pendukung keanekaragaman hayati global. Pada saat yang sama, lautan juga merupakan sumber penting makanan, yakni dengan perikanan dan budi daya lautnya. Hal ini merupakan dasar bagi ekonomi global melalui perdagangan laut.

Konsep Ekonomi Biru telah secara khusus diperjuangkan oleh Pulau Kecil dan Negara Berkembang (Small Island and Developing States - SIDS) sebagai pengakuan atas yurisdiksi laut mereka yang besar dan pentingnya industri laut dan kelautan bagi ekonomi nasional mereka. Salah satu pertanyaan yang sering dimasukkan ke dalam diskusi Ekonomi Biru adalah berkaitan dengan ruang lingkup sektoralnya. Mengingat Ekonomi Biru sering dianggap sebagai bagian dari ekonomi kelautan, identifikasi dan penilaian segmen atau sektor yang membentuk ekonomi laut sering merupakan langkah pertama dalam proses perencanaan pengembangan Ekonomi Biru atau mengidentifikasi potensi peluang Ekonomi Biru.

Masih ada pertanyaan tentang apa yang membedakan kelautan dan Ekonomi Biru dalam kaitannya dengan ruang lingkup sektoral. Namun, ada potensi di semua sektor untuk meningkatkan kinerja lingkungan dan menumbuhkan manfaat sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan kelautan. Dalam hal ini, setidaknya, semua sektor memiliki kemampuan untuk menjadi lebih “Biru”.

Pendahuluan / Prolog

Kata Pengantar
Pada bulan September 2018 para pemimpin dari 14 negara setuju membentuk Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Kelautan Berkelanjutan yang dimaksudkan untuk memanfaatkan momentum membangun sebuah model ekonomi kelautan yang berkelanjutan. Dengan model ini, aspek pelindungan yang efektif, produksi yang terukur, dan kemakmuran yang adil diupayakan berjalan beriringan. Model ini hendak mengubah cara berpikir dan bertindak negara-negara di dunia, sekaligus ingin menginspirasi lahirnya kebijakan tingkat global yang akan mengkatalisasi transisi menuju tata kelola ekonomi kelautan yang berkelanjutan.

Tujuan utama dari model ini adalah membuat lautan lebih bermanfaat secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Keseimbangan di antara ketiganya ingin diraih dengan meningkatkan hubungan antara manusia dengan laut, menjembatani kesehatan dan kekayaan laut, bekerja sama dengan beragam pemangku kepentingan, memanfaatkan pengetahuan kelautan terbaru, dan mengembangkan agenda aksi untuk transisi ke ekonomi kelautan yang berkelanjutan.

Apa yang dicita-citakan oleh Panel tersebut menunjukkan bahwa pembangunan kelautan secara berkelanjutan penting untuk meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir dan ketahanan pangan, menjadikan laut sebagai sumber energi global, serta menjadi kawasan yang aman bagi lalu lintas perdagangan internasional. Sebanyak 90% perdagangan internasional diangkut melalui laut, dan satu miliar orang di negara berkembang bergantung pada kekayaan laut sebagai sumber utama protein hewani. Karenanya, eksploitasi sumber daya perikanan laut harus dicegah, dampak perubahan iklim harus dikurangi, kejahatan maritim harus ditanggulangi, agar tidak mengancam industri dan melemahkan ekonomi pesisir. Ancaman-ancaman itu akan mengurangi kesejahteraan masyarakat pesisir dan membatasi peluang berdirinya industri maritim legal, yang pada gilirannya akan mendorong masyarakat setengah menganggur memasuki pasar gelap dan menjadi aktor kejahatan maritim transnasional.

Jika pemikiran konservasi akan meminimalkan kerusakan laut dan pendekatan ekstraktif bertujuan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan, maka model ekonomi kelautan yang berkelanjutan berupaya mengintegrasikan kedua pendekatan itu menjadi sebuah pola baru dalam pengelolaan kelautan yaitu konvergensi antara pelindungan yang efektif, produksi yang berkelanjutan, dan tercapainya kemakmuran yang merata. Proses transformasi ini bukan membiarkan laut begitu saja melainkan mengajarkan tentang bagaimana tata kelola laut secara bijaksana harus dilakukan, yaitu membangun masa depan yang lebih sejahtera dengan tingkat kesehatan laut yang baik, karena alam yang lebih terkelola dengan baik dan sumber daya yang terdistribusi lebih adil.

Pemikiran laut sebagai objek ekonomi telah bertransformasi menjadi laut sebagai bagian penting dari solusi atas permasalahan dalam pengelolaan laut secara global. Kemitraan baru perlu ditempa agar semua pihak yang berkepentingan mengambil peran konkret untuk mencapai pengelolaan laut dan masa depan yang berkelanjutan. Pilihannya bukan antara pelindungan laut atau produksi, melainkan secara bersamasama membangun masa depan yang sehat dan sejahtera. Penangkapan ikan yang berlebihan atau menciptakan polusi, dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut. Lebih buruk lagi, bila para pelaku secara lokal memperparah satu sama lain, dengan konsekuensi yang sangat besar bagi ekosistem. Tanpa tindakan pencegahan dan penegakan hukum, masalah ini dapat merugikan ekonomi lokal dan global.

Pengabaian dan penyalahgunaan laut serta dampak perubahan iklim global akan memperburuk kehidupan semua orang. Akan tetapi, komunitas yang secara historis kurang terwakili dan terlayani, termasuk perempuan, akan menanggung beban yang sangat besar secara tidak proporsional. Kelompok-kelompok ini paling rentan terhadap kerawanan pangan, hilangnya mata pencaharian, dan kenaikan permukaan air laut. Mereka juga yang paling mungkin menderita dari kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di laut, termasuk perdagangan dan penyelundupan manusia, kerja paksa dan pembayaran utang.

Dalam konteks memperbaiki kehidupan manusia, maka melindungi laut tidak berarti membiarkannya begitu saja. Namun, yang terpenting adalah mengelola aktivitas manusia dengan bijak agar dapat melestarikan keanekaragaman hayati dan habitat kritis, memungkinkan laut untuk secara berkelanjutan menghasilkan manfaat yang lebih besar, dan melestarikan nilai budaya dan spiritual laut. Pengurangan atau pelarangan aktivitas manusia secara signifikan sangat diperlukan untuk memungkinkan ekosistem pulih dan beregenerasi. Di sebagian besar wilayah, praktik berkelanjutan diperlukan untuk memungkinkan laut memproduksi dan menjaga kesehatan laut tanpa harus mengabaikan kebutuhan ekonomi masyarakat.

Sumber utama kerusakan ekosistem baik di laut lepas maupun perairan pesisir adalah illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing.1 IUU Fishing dengan mudah bisa terjadi karena penegakan hukum yang lemah, kegagalan tata kelola, korupsi, dan institusi yang lemah. Kerusakan yang ditimbulkannya mengakibatkan kerugian ekonomi yang diukur dari laju degradasi sumber daya yang lebih cepat dan distribusi sumber daya yang tidak merata. IUU fishing telah menjadi ancaman terhadap keberlanjutan pengelolaan kelautan dan keamanan maritim. Maraknya kegiatan illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing di Indonesia, telah menimbulkan kerugian yang cukup besar, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan, sehingga kegiatan ini dapat dikatakan sebagai kendala utama bagi Indonesia dalam mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan.

Keamanan maritim secara sederhana dapat diartikan sebagai tidak adanya ancaman terhadap pemanfaatan laut.2 Kejahatan yang lahir di laut mulai dari pembajakan, penangkapan ikan ilegal hingga penyelundupan manusia, senjata, narkotika dan barang terlarang lainnya, terorisme, dan proliferasi senjata nuklir, merupakan ancaman terhadap kebebasan navigasi, risiko lingkungan, dan juga bencana. Keamanan maritim adalah ajakan untuk memikirkan keterkaitan antara ancaman-ancaman ini secara sistematis, dengan agenda lain seperti keamanan nasional, keamanan manusia, keselamatan laut, dan yang tak kalah pentingnya adalah pengelolaan ekonomi kelautan secara berkelanjutan atau ekonomi biru.

Keamanan maritim pada dasarnya penting karena menciptakan kondisi bagi berkembangnya ekonomi biru. Negara-negara harus memiliki kelompok-kelompok masyarakat yang berkepentingan dengan keberlanjutan sumber daya laut dengan memastikan bahwa tantangan keamanan maritim telah terkelola secara memadai dan terkendali. Konsep ekonomi biru merujuk pada sektor ekonomi dan lingkungan laut. Jika ingin mengeksploitasi laut, maka harus dilakukan secara berkelanjutan dan menjaga kesehatan lautan dengan baik. Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit (2015) menunjukkan ada gelombang baru industrialisasi laut, yang sejalan dengan penurunan kesehatan laut yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

Buku yang ditulis oleh para peneliti bidang Hubungan Internasional, Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPRRI ini merupakan hasil penelitian di Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Bali. Hasil penelitian menunjukkan perlunya transformasi pengelolaan ekonomi kelautan mengingat masalah keamanan maritim telah berada dalam tingkatan yang sangat merugikan perekonomian bukan hanya Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia. Kegiatan IUU Fishing bukan hanya dilakukan oleh nelayan asing tetapi juga oleh nelayan dan pengusaha Indonesia. Semuanya ini bisa terjadi karena lemahnya penegakan hukum, kurangnya kordinasi diantara lembaga negara yang bertanggung jawab dalam pengelolaan di laut, dan kapal-kapal patroli yang masih mempunyai banyak kekurangan. Akibatnya, sebagian besar aktivitas perikanan nasional belum memperlihatkan kinerja yang optimal, berkelanjutan, dan menjamin kelestarian sumber daya ikan seperti yang diamanatkan dalam pasal 6 ayat 1 UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Secara keseluruhan, bila dianalisis lebih jauh, tata kelola di laut akan berjalan baik bila dikaitkan dengan dua rangkaian aktivitas, yaitu pertama, tentunya koordinasi yang intensif di antara pemangku kepentingan baik di tingkat nasional, regional maupun global, mengingat persoalan di laut sangat kompleks, bersifat lintas sektoral, lintas yurisdiksi, dan bahkan lintas batas ngara. Dengan koordinasi yang intensif, undangundang dan rencana aksi dapat disesuaikan. Kedua, perlu pemahaman yang sama tentang apa yang terjadi di laut sehingga kordinasi, terutama dalam informasi, menjadi faktor penting dalam kerja sama internasional sehingga bukan hanya apa kegiatan di laut, melainkan apa tantangan yang sebenarnya perlu ditangani bisa saling mengtahui. Dengan demikian, kepercayaan dan kebersamaan menjadi dasar keberhasilan.

Hasil lain dari penelitian ini menunjukan, praktik-praktik pengamanan laut di Indonesia masih bersifat parsial, belum terkordinasi dengan baik, mengingat sedikitnya ada enam lembaga negara yang terkait langsung dengan keamanan maritim, yaitu TNI AL, Badan Keamanan Laut, Kepolisian Air dan Udara, Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan, Bea Cukai Kementerian Keuangan, Pengawasan Sumber Daya Kelautan, dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Padahal, secara internasional kewenangan menjaga keamanan maritim berada di satu lembaga yang berfungsi sebagai coast guard. Harmonisasi peraturan perundang-undangan menjadi keharusan bila Indonesia ingin mempunyai satu lembaga yang khusus menangani keamanan maritim, selain TNI AL yang bertugas sebagai perangkat pertahanan negara. Dengan demikian, ke depannya, tugas pengawasan keamanan maritim yang melibatkan banyak lembaga di bawah satuan tugas 115 (satgas illegal fishing) tidak diperlukan lagi.

Semoga buku yang berjudul Keamanan Maritim dan Ekonomi Biru: Transformasi Kelautan Berkelanjutan di Indonesia ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca tentang pentingnya pembangunan ekonomi kelautan berkelanjutan berbasis kolaboratif di antara para pemangku kepentingan. Diharapkan juga, buku ini dapat menjadi inspirasi bagi peneliti dan akademisi untuk meneliti lebih jauh tentang kesungguhan dari negara-negara yang tergabung dalam High Panel for Sustainable Ocean Economy dalam mengimplementasikan komitmennya untuk melakukan transformasi pengelolaan sumber daya kelautannya dari yang ekstraktif menjadi berkelanjutan dengan mengarusutamakan kepentingan ekonomi, sosial dan ekologi. Selamat membaca!

Penyunting,

Penulis

Dr. Humphrey Wangke, M.Si - Dr. Humphrey Wangke, M.Si., menyelesaikan pendidikan S-1 Hubungan Internasional tahun 1988 di FISIP Universitas Jember dan pendidikan S-2 tahun 1998 pada Program Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia. Pada tahun 2018 menyelesaikan studi S-3 di Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) Universitas Indonesia.
Ziyad Falahi, M. Si - Ziyad Falahi, M. Si.lahir di Bojonegoro 28 Oktober 1988, menyelesaikan Pendidikan Sarjana Hubungan Internasional Universitas Airlangga engan predikat cumlaude pada tahun 2010. Dua tahun kemudian menyelesaikan Pendidikan S-2 Hubungan Internasional di Universitas Indonesia dengan predikat IPK tertinggi. Tahun 2008 pernah meraih juara pertama karya tulis ilmiah tingkat nasional. Sejak 2013 aktif mengajar sebagai dosen tidak tetap di beberapa kampus dan resign sejak 2016. Karya Tulis ilmiah yang sudah terbit diantaranya satu buah buku “desa cosmopolitan”, sepuluh jurnal ilmiah baik yang terakreditasi maupun belum terakreditasi, dan beberapa prosiding baik internasional maupun nasional. Publikasi ilmiah lainya juga telah tersebar di puluhan media massa cetak dan online. Sekarang ziyad falahi merupakan Calon Peneliti Pertama bidang hubungan Internasional di Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI. Ziyad Falahi dapat di hubungi di ziyad.falahi@DPR.go.id.
Simela Victor Muhamad, Drs., M.Si - Simela Victor Muhamad, Drs., M.Si. Peneliti Ahli Utama Bidang Isu-isu Politik Strategis, Masalah Internasional dan Domestik pada Pusat Penelitian Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR-RI. Menyelesaikan pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, pada 1986, dan Pascasarjana (S2) Program Studi Kajian Wilayah Amerika, Universitas Indonesia, pada 1999.

Karya tulis ilmiah yang pernah diterbitkan, antara lain: “Kejahatan Transnasional Penyelundupan Narkoba ke Indonesia: Masalah dan Upaya Penanganannya,” dalam buku Aktor Non-Negara: Kajian Implikasi Kejahatan Transnasional di Asia Tenggara, Penerbit Yayasan Obor, Indonesia, 2017; “Peran Asian Parliamentary Assembly dalam Mendukung Solusi Damai Palestina-Israel,” Jurnal Politica, Vol. 8 No. 1, Mei 2017; “Indonesia dan Kerja Sama Internasional Penanggulangan Terorisme di Kawasan,” dalam buku Kerja Sama Internasional Melawan Terorisme, Penerbit Yayasan Obor, Indonesia, 2018; “Proxy War dalam Konflik di Lebanon,” dalam buku Proxy War di Timur Tengah, Penerbit Yayasan Obor, Indonesia, 2019.

Editor

Dr. Humphrey Wangke, M.Si - Dr. Humphrey Wangke, M.Si., menyelesaikan pendidikan S-1 Hubungan Internasional tahun 1988 di FISIP Universitas Jember dan pendidikan S-2 tahun 1998 pada Program Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia. Pada tahun 2018 menyelesaikan studi S-3 di Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) Universitas Indonesia.

Daftar Isi

Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Prolog
Bagian Kesatu: Kemanan Maritim dan Urgensi Kehadiran Bakamla Dalam Pengamanan Wilayah Perairan Indonesia
     Bab I. Pendahuluan
     Bab II. Bakamla dalam Konsep Kemanan Maritim
     Bab III. Tantangan Kemanan Maritim Indonesia
     Bab IV. Bakamla dan Keamanan Laut RI
     Bab V. Pentutup
     Daftar Pustaka
Bagian Kedua: Pengelolaan Laut Secara Berkelanjutan di Indonesia
     Bab I. Pendahuluan
     Bab II. Pembangunan Kelautan Berkelanjutan dan Kemanan Maritim
     Bab III. Pengelolaan Ekonomi Kelautan di Indonesia
     Bab IV. Penutup
     Daftar Pustaka
     Ucapan Terima Kasih
Bagian Ketiga: Tantangan Terhadap Pengelolaan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan
     Bab I. Pendahuluan
     Bab II. Diskursus Ekonomi Kelautan
     Bab III. Pencemaran Sampah Plastik
     Bab IV. Proyeksi Ekonomi Kelautan Berkelanjutan
     Bab V. Pelajaran dari Sulawesi Utara dan Bali
     Bab VI. Penutup
Daftar Pustaka
Epilog
Indeks
Tentang Penulis