Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Obor Indonesia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Cermin Poskolonial: Membaca Kembali Sastra Hindia Belanda

1 Pembaca
Rp 185.000 20%
Rp 148.000
Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Selain dalam arsip, foto, surat, atau catatan perjalanan, sejarah panjang kolonialisme Belanda di Indonesia juga terekam dalam fiksi, termasuk sastra Hindia Belanda. Sastra Hindia Belanda sederhananya adalah karya sastra berbahasa Belanda tentang Hindia Belanda. Seperti apa penggambaran masyarakat kolonial di dalamnya? Bagaimana analisis poskolonial diterapkan terhadap karya sastra Hindia Belanda? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibahas menyeluruh dalam buku ini.

Buku Cermin Poskolonial: Membaca Kembali Sastra Hindia Belanda ini mempelajari sejarah penjajahan Belanda di Indonesia melalui sastra, dan merupakan versi pendek dari buku berbahasa Belanda De postkoloniale spiegel: De Nederlands-Indische letteren herlezen (2021) yang disunting oleh Rick Honings, Coen van ’t Veer, dan Jacqueline Bel dan diterjemahkan oleh Rhomayda A. Aimah. Dalam bunga rampai ini, para peneliti mengkaji fiksi Hindia Belanda mulai tahun 1860 hingga 2019, melalui pendekatan-pendekatan poskolonial yang antara lain menyoroti representasi penduduk lokal dan ketimpangan relasi kuasa masyarakat kolonial yang ditemukan dalam teks.

Dari sudut pandang yang mengkritik hegemoni narasi kolonial, buku ini membaca kembali tidak hanya karya sastra penulis-penulis ‘kanon’ Belanda seperti Multatuli dan Louis Couperus; namun juga penulis Indo-Eropa, seperti Victor Ido dan Dido Michielsen; serta penulis Indonesia, Soewarsih Djojopoespito, dan Arti Purbani, yang karya-karyanya masih belum banyak dikaji. Cermin Poskolonial menawarkan sebuah model pembacaan kritis, retrospektif, dan reflektif terhadap sastra untuk mempelajari masa lalu dan menyajikan cerita-cerita dengan tokoh, latar, dan tema yang beragam.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Jacqueline Bel / Rick Honings / Coen van't Veer

Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786233212564
Terbit: Februari 2024 , 450 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Selain dalam arsip, foto, surat, atau catatan perjalanan, sejarah panjang kolonialisme Belanda di Indonesia juga terekam dalam fiksi, termasuk sastra Hindia Belanda. Sastra Hindia Belanda sederhananya adalah karya sastra berbahasa Belanda tentang Hindia Belanda. Seperti apa penggambaran masyarakat kolonial di dalamnya? Bagaimana analisis poskolonial diterapkan terhadap karya sastra Hindia Belanda? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibahas menyeluruh dalam buku ini.

Buku Cermin Poskolonial: Membaca Kembali Sastra Hindia Belanda ini mempelajari sejarah penjajahan Belanda di Indonesia melalui sastra, dan merupakan versi pendek dari buku berbahasa Belanda De postkoloniale spiegel: De Nederlands-Indische letteren herlezen (2021) yang disunting oleh Rick Honings, Coen van ’t Veer, dan Jacqueline Bel dan diterjemahkan oleh Rhomayda A. Aimah. Dalam bunga rampai ini, para peneliti mengkaji fiksi Hindia Belanda mulai tahun 1860 hingga 2019, melalui pendekatan-pendekatan poskolonial yang antara lain menyoroti representasi penduduk lokal dan ketimpangan relasi kuasa masyarakat kolonial yang ditemukan dalam teks.

Dari sudut pandang yang mengkritik hegemoni narasi kolonial, buku ini membaca kembali tidak hanya karya sastra penulis-penulis ‘kanon’ Belanda seperti Multatuli dan Louis Couperus; namun juga penulis Indo-Eropa, seperti Victor Ido dan Dido Michielsen; serta penulis Indonesia, Soewarsih Djojopoespito, dan Arti Purbani, yang karya-karyanya masih belum banyak dikaji. Cermin Poskolonial menawarkan sebuah model pembacaan kritis, retrospektif, dan reflektif terhadap sastra untuk mempelajari masa lalu dan menyajikan cerita-cerita dengan tokoh, latar, dan tema yang beragam.

Pendahuluan / Prolog

Pendahuluan
Pada tahun 2020, 75 tahun telah berlalu sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pukul sepuluh pagi tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno membacakan naskah Proklamasi di halaman rumahnya. Batavia diubah menjadi Jakarta oleh Jepang pada tahun 1942 dan nama itu tetap dipertahankan. Hari berikutnya, Sukarno menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Kemudian, dibutuhkan sekitar empat tahun dengan berperang melawan pejuang kemerdekaan Indonesia, hingga akhirnya Belanda menyadari bahwa sejarah telah berubah untuk selamanya.

Setelah hampir 350 tahun, berakhirlah keterikatan kolonial Indonesia dengan Belanda, yang dimulai ketika kapal-kapal Belanda untuk pertama kalinya muncul di pesisir Jawa pada tahun 1596. Tak lama setelahnya, pada tahun 1602, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC, Perserikatan Dagang Hindia Timur) dibentuk dan berdiri hingga tahun 1799. Baru pada abad ke-19 — dimulai pada tahun 1816, usai pemerintahan sisipan Inggris — Hindia pun secara efektif menjadi koloni Belanda, hingga tahun 1945. Hanya New Guinea yang baru mengakhiri pendudukan Belanda pada tahun 1962. Kemerdekaan Indonesia yang ke-75 ini dimaksudkan untuk dirayakan besar-besaran pada tahun 2020, namun karena epidemi global korona — yang juga menghantam Indonesia — perayaan tersebut terpaksa disederhanakan.

Indonesia memang telah lama merdeka, namun ingatan Belanda tentang masa lalu kolonial di ‘Timur’ masih sangat hidup. Setiap tahun banyak orang Belanda — Indis dan bukan Indis — berkumpul di Pasar Malam, sekarang bernama Tong Tong Fair, di Den Haag. Nasi, sate, dan sambal sudah begitu melokal di Belanda sehingga banyak yang tidak tahu betapa eksotisnya hidangan ini dahulu bagi para penjelajah yang mencicipinya untuk yang pertama kali di negeri nun jauh. Setiap minggunya di koran, bermunculan berita kematian orang-orang yang lahir di Hindia. Nama-nama kota tempat mereka lahir, seperti Batavia atau Buitenzorg, sudah tidak ada lagi. Tidak lama lagi orang-orang Belanda terakhir yang terlahir di Hindia juga akan meninggal dunia.

Masa lalu kolonial di Asia saat ini sedang mendapatkan banyak sorotan. Tiada hari berlalu tanpa pemberitaan tentang hal itu di koran, majalah, dan internet. Stasiun televisi di Belanda pun menayangkan dokumenter dan film-film, seperti Onze jongens op Java (2019) dari sutradara Coen Verbraak dan Ze noemen me baboe (2019) garapan Sandra Beerends. Film dokumenter yang pertama menyoroti cerita para pemuda Belanda yang setelah Perang Dunia Kedua dikirim ke Hindia sebagai tentara, sedangkan film kedua berkisah tentang pengalaman seorang pribumi pengasuh anak yang pergi ke ‘negara penjajah’ bersama sebuah keluarga Belanda. Selain itu, pada tahun 2020 De Oost dirilis, sebuah film tentang kekerasan kolonial Belanda selama perang kemerdekaan Indonesia yang divisualisasikan dengan eksplisit, dilihat dari sudut pandang seorang tentara yang bertugas pada Pasukan Khusus pimpinan Raymond Westerling. Ini hanyalah beberapa contoh dari sekian banyaknya perhatian akan segala sesuatu yang berhubungan dengan Hindia Belanda di masa lalu.

Berdasarkan pernyataan media, rupanya Belanda kini bukan lagi negara yang sama dengan Belanda 75 tahun yang lalu: Belanda telah berubah menjadi masyarakat multietnis. Oleh karena itu, semakin besar pula tuntutan terhadap Belanda untuk secara kritis mengevaluasi diri dan masa lalunya, dan mendefinisikan ulang citra dirinya. Seruan untuk Belanda memperbaiki persepsinya terhadap Hindia yang sudah ada sejak lama, juga semakin sering terdengar. Beberapa tahun yang lalu penulis Reggie Baay mengimbau digantinya slogan kolonial ‘Di sana telah dikerjakan sesuatu yang besar’ dengan varian poskolonialnya ‘Di sana telah dilakukan sesuatu yang mengerikan’.1 Pada tahun 2016, sesuai instruksi pemerintah Belanda, dimulailah sebuah proyek penelitian besar terhadap penggunaan kekerasan dalam perang kemerdekaan Indonesia: Independence, Decolonization, Violence and War in Indonesia, 1945–1950, sebuah kerja sama antara Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV, Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia), Nederlands Instituut voor Militaire Historie (NIMH, Lembaga Sejarah Militer), dan Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (NIOD, Lembaga untuk Dokumentasi Perang). Singkatnya, Belanda masih tetap berkutat dengan masa lalu kolonialnya.

Dalam upaya ini, banyak museum Belanda memikirkan cara untuk mengganti penggunaan bahasa yang bersifat kolonial dan ‘mendekolonisasi’ koleksi mereka. Selain itu, di Belanda, sama seperti di negara-negara lain, terjadi perdebatan tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap patung-patung ‘pahlawan’ kolonial. Dapatkah, misalnya, patung Jan Pieterszoon Coen — ‘pendiri’ Batavia, yang antara lain bertanggung jawab atas terbunuhnya ribuan pekerja di Pulau Banda — tetap dipertahankan di Hoorn dengan penambahan teks penjelas yang kritis, atau sebaiknya dihilangkan sama sekali dari ruang publik? Diskusi-diskusi ini adalah bagian dari yang disebut sebagai Vergangenheitsbewältigung Belanda.2 Seperti Jerman yang sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua berupaya berdamai dengan masa lalu sosialis-nasionalisnya, Belanda pun kini masih tetap bergumul dengan sejarah kolonialnya.

Bedanya dengan Jerman adalah bahwa di Belanda proses ini terjadi relatif terlambat. Sampai belum lama ini, persepsi yang beredar adalah bahwa Belanda merupakan penjajah berperikemanusiaan yang juga telah melakukan banyak kebaikan untuk Indonesia, seperti pendirian sekolahsekolah dan rumah sakit dan pembangunan jalan raya. Bukubuku foto dari Rob Nieuwenhuys adalah contoh ilustrasinya.

Buku-buku ini menyuguhkan visualisasi Hindia lama yang diromantisasi. Antara tahun 1981 dan 1988 Nieuwenhuys menerbitkan tiga buku foto dengan judul berantai Tempo doeloe — een verzonken wereld.

3 Pembaca akan mendapatkan sajian gambaran sebuah masa seindah surga: gambaran tentang ‘white innocence’ dengan hidangan eksotis, rumahrumah putih yang megah, para pelayan, dan alam yang menakjubkan. Sisi gelap masyarakat kolonial tidak begitu diperhatikan, bahkan seolah-olah tidak ada. Nieuwenhuys telah menerima fakta bahwa Indonesia merdeka, tapi juga merawat dengan baik hasrat nostalgisnya terhadap masa kecilnya di wilayah koloni dan merasa tersentuh oleh fotofoto dan cerita-cerita lama.

Bagi mereka yang mengenal Hindia dari pengalaman pribadi seperti Nieuwenhuys, yang lahir di Semarang pada tahun 1908, rasa kehilangan menjadikan mereka melankolis.

Pada tahun 2018 Kester Freriks, yang pada tahun 1954 lahir di Jakarta, masih menerbitkan selebaran Tempo doeloe, een omhelzing, yang berisi tuntutan bahwa ia memiliki hak untuk merindukan Hindia.4 Namun, yang menjadi penting di sini adalah membedakan pengalaman individu dengan ingatan kolektif sebuah bangsa. Di balik kenangan manis seseorang, terdapat penderitaan banyak orang lain yang tidak memiliki suara dan yang ceritanya tidak pernah dituliskan.

Bukan berarti sisi gelap kolonialisme Belanda tidak pernah diamati. Pada tahun 1969, sesuai instruksi pemerintah Belanda, Excessennota telah diterbitkan, yang turut disusun oleh Cees Fasseur yang pada waktu itu adalah seorang pegawai Kementerian Kehakiman dan kemudian menjadi guru besar untuk studi Sejarah Asia Tenggara di Leiden.

Daftar Isi

Sampul Depan
Identitas Buku
Daftar Isi
Kata Pengantar
Pendahuluan
1 - Hindia Lama:
     Pemerasan dan Nyanyian
     ‘Di Hadapan Inlander
     Tentang
2 - Dari Hindia ke Indonesia:
     Anak-Anak Koloni yang Polos?
     Dijebak Belanda Totok,
     Dua Suara dari Indonesia:
3 - Retrospeksi dan Penulisan Balik:
     Mengingat
     ‘Ada Lagi yang Terbakar’:
     Mencari
     Bukan Ideologi,
     ‘Diam di Tempat
     Suara Lantang Nyai Jawa:
Daftar Pustaka
Tentang Penulis
Indeks Nama
Sampul Belakang