Tampilkan di aplikasi

Buku Pustaka Rumah C1nta hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Aksi Pustakawan Dimuat Media

1 Pembaca
Rp 50.000 15%
Rp 42.500

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 127.500 13%
Rp 36.833 /orang
Rp 110.500

5 Pembaca
Rp 212.500 20%
Rp 34.000 /orang
Rp 170.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Dicki Agus Nugroho, sosok lelaki yang nampaknya lembut dan 'grapyak' tersebut ternyata menyimpan energi yang siap meletup. Dan ternyata benar, dalam waktu yang relatif singkat, Dicki mengubah energinya menjadi dorongan krativitas-kreativitas yang belum pernah terbayangkan. Idenya dalam menggabungkan antara fakta (berita terhangat) yang terjadi saat itu, dengan daya imajinasinya yang entah dia dapat dari mana, mewujud dalam literasi seni alternatif, jika saya boleh menyebutnya. Mungkin keberaniannya dalam mengungkapkan karya yang 'nyleneh' sudah hidup dan tumbuh dalam ekofiksi di benaknya. Latar belakang pendidikan perpustakaan menjadikannya lekat dengan literasi. Menjadi muridnya Sinto Gendheng di Solo menjadikannya lekat dengan niatnya menjadi beda. Sehingga apapun yang disentuh selalu memberikan ruh literasi yang beda. Memahami literasi kreasi berarti memahami literasi daya cipta yang mungkin di luar kebiasaan. Itulah Dicki Agus Nugroho yang kita kenal. “Gak nduwe kreasi, gak mudeng literasi, cak!” Mungkin slogan Suroboyoan itu yang pas dilekatkan pada pundak Dicki.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Dicki Agus Nugroho
Editor: Nisa Adelia

Penerbit: Pustaka Rumah C1nta
ISBN: 9786239323110
Terbit: Agustus 2019 , 98 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Dicki Agus Nugroho, sosok lelaki yang nampaknya lembut dan 'grapyak' tersebut ternyata menyimpan energi yang siap meletup. Dan ternyata benar, dalam waktu yang relatif singkat, Dicki mengubah energinya menjadi dorongan krativitas-kreativitas yang belum pernah terbayangkan. Idenya dalam menggabungkan antara fakta (berita terhangat) yang terjadi saat itu, dengan daya imajinasinya yang entah dia dapat dari mana, mewujud dalam literasi seni alternatif, jika saya boleh menyebutnya. Mungkin keberaniannya dalam mengungkapkan karya yang 'nyleneh' sudah hidup dan tumbuh dalam ekofiksi di benaknya. Latar belakang pendidikan perpustakaan menjadikannya lekat dengan literasi. Menjadi muridnya Sinto Gendheng di Solo menjadikannya lekat dengan niatnya menjadi beda. Sehingga apapun yang disentuh selalu memberikan ruh literasi yang beda. Memahami literasi kreasi berarti memahami literasi daya cipta yang mungkin di luar kebiasaan. Itulah Dicki Agus Nugroho yang kita kenal. “Gak nduwe kreasi, gak mudeng literasi, cak!” Mungkin slogan Suroboyoan itu yang pas dilekatkan pada pundak Dicki.

Ulasan Editorial

Buku ini akan menjadi inspirasi bagi kita karena diisi dengan kegiatan-kegiatan yang inovatif dan kreatif. Saya rasa, pancingan-pancingan kreatif seperti ini akan memberi dampak positif bagi yang membacanya. Mudah-mudahan dengan hadirnya buku ini dapat menjadi warna pelangi bagi Indonesia dalam hal penyajian kegiatan yang memanusiakan manusia

Kampoeng Dolanan / Mustofa Sam

Pendahuluan / Prolog

Pendahuluan
Perpustakaan di Indonesia apakah semakin kurang populer? Survei UNESCO 2012 menunjukkan Indonesia sebagai negara dengan minat baca masyarakat paling rendah di ASEAN. Minat baca orang Indonesia hanya 1:1.000.

Selain itu penelitian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP untuk melek huruf pada 2002 menempatkan Indonesia pada posisi 110 dari 173 negara. Posisi ini kemudian turun satu peringkat menjadi 111 pada tahun 2009.

Tragedi kehancuran budaya baca buku di Indonesia itu patut diratapi. Realita menyedihkan itu semakin terkuak ketika kita melihat perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara.

Di Amerika Serikat jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 Buku, Singapura 6 Buku, Thailand 5 Buku, dan Indonesia 0 buku. Hal ini yang pernah disebut penyair / budayawan Taufik Ismail sebagai Tragedi Nol Buku di Indonesia.

Survei lain menemukan pada Test of International Reading Literacy Study (PIRLS), menilai prestasi siswa kelas empat dalam Literacy Reading, peringkat Indonesia di tempat ke-45 dari 48 negara peserta pada tahun 2011. Sedangkan pada tahun 2012 dalam Program of International Student Assessment (PISA) telah mengevaluasi keterampilan literasi siswa usia 15 tahun, Indonesia menempati rangking ke-64 dari 65 negara.

Terbaru, hasil studi deskriptif yang dilaksanakan Central Conecticut State University, AS, yang diumumkan pada Maret 2016, telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti dalam hal literasi para warganya.

Di negara-negara yang maju budaya literasinya, popularitas perpustakaan berbanding lurus dengan minat baca sebuah bangsa.

Semakin populer perpustakaan di masyarakat, minat baca masyarakatnya pun pasti tinggi, begitu pula budaya literasinya.

Menilik salah satu nasehat bijak dari Albert Einstein, tokoh dunia, mengungkapkan bahwa salah satu yang wajib harus Anda ketahui adalah alamat perpustakaan. Ungkapan itu mungkin tidak berlaku bagi masyarakat di sebagian daerah di Indonesia sehingga terjadilah penurunan kunjungan di berbagai perpustakaaan.

Contohnya, Perpustakaan Daerah Kuningan di Jakarta pada tahun 2014 mengalami penurunan kunjungan yaitu menjadi rata-rata setiap hari tidak lebih dari 70 kunjungan saja.

Lebih tragis terjadi di Solo, jumlah kunjungan turun drastis. Dari tahun 2013 terdapat kunjungan 23.000 pengunjung menjadi hanya 3.000 kunjungan pada tahun 2014. Di tahun 2015, tertanggal bulan Agustus hanya mencapai 300 kunjungan setiap bulannya, jauh dari harapan.

Kota Jombang, tetangga terdekat Surabaya, juga mengalami penurunan kunjungan.

Mari menengok di luar Jawa, Perpustakaan Daerah Mataram misalnya, setiap hari hanya ada 21 kunjungan saja pada akhir tahun 2013 dan jumlahnya semakin menurun hingga akhir 2014.

Pada April tahun lalu, semakin parah terjadi Perpustakaan Daerah Banjarmasin, pada hari biasa hanya dikunjungi maksimal 30 orang, per bulan, bukan per hari. Paling mentok 50 kunjungan adalah saat musim skripsi.

Menengok realita mengejutkan di atas, tentu muncul pertanyaan.

Mengapa itu terjadi? Padahal data kunjungan ke perpustakaan merupakan bagian dari peradaban budaya literasi masyarakat itu sendiri.

Menurut analisis penulis pribadi, ada tujuh alasan terhadap realita di atas. Alasan pertama adalah kurangnya kreatifitas pengelolaan perpustakaan ketika memberikan pelayanan kepada pengunjung.

Kedua, kurangnya kepedulian tenaga pendidik untuk mendekatkan (membiasakan) anak didiknya kepada buku melalui perpustakaan.

Ketiga, banyak remaja maupun orang dewasa lebih memilih membaca melalui gawai / gadget dari pada pergi ke perpustakaan.

Keempat, akses menuju perpustakaan tidak memadai atau lokasi yang tidak strategis.

Kelima, fasilitas yang mendekatkan akses buku seperti mobil perpustakaan keliling tidak memadai sesuai luas area layanan masing daerah.

Keenam, kurangnya program terintegrasi antara perpustakaan daerah dengan perpustakaan desa atau Taman Bacaan Masyarakat padahal lokasi mereka lebih dekat dengan masyarakat.

Dan terakhir, minimnya kemampuan berjejaring bagi pengelola perpustakaan untuk meyelenggarakan kegiatan di perpustakaan. Padahal perpustakaan merupakan pemacu dan benteng terakhir perkembangan peradaban budaya literasi masyarakatnya.

Maka perlu adanya tindakan awal menanggulangi ketujuh alasan di atas. Tindakan awal tersebut adalah mengemas informasi supaya tersampaikan kepada masyarakat yang kemudian menyadarkan masyarakat terhadap pentingnya menjadi bagian dari masyarakat yang berbudaya literasi. Dimana masyarakat dan perpustakaan memiliki keterkaitan yang strategis. Maka di sinilah peran perpustakaan dinilai sangat vital.

Penulis memiliki pengalaman dalam melaksanakan tindakan awal untuk mengemas informasi supaya mudah tersampaikan kepada masyarakat sejak Oktober 2013 sampai April 2016. Kemas ulang informasi yang telah penulis terapkan adalah melalui Aksi Pustakawan.

Aktivitas ini lebih dikenal luas dengan promosi perpustakaan. Namun dalam tulisan ini, penulis menggunakan: Aksi Pustakawan.

Aksi Pustakawan adalah rangkaian kegiatan yang berasal dari hasil mengemas informasi. Informasi tersebut disajikan lebih menarik, menyenangkan dan mencerahkan. Bentuk penyajian juga bisa dinikmati dan menarik perhatian media massa sehingga Aksi Pustakawan bisa disaksikan oleh masyarakat luas. Kian efektif untuk mencerahkan pembaca (masyarakat), bukan?

Melalui media massa, maka akan ada banyak pembaca yang mengetahui kegiatan tersebut dan ikut andil menciptakan isu baik.

Sehingga sangat bangga ketika menyebut media adalah sahabat perpustakaan. Sedangkan bagi perpustakaan, membutuhkan Aksi Pustakawan dari kita.

Berikut langkah-langkah memulai Aksi Pustakawan. Selamat menggila!

Penulis

Dicki Agus Nugroho - Laki-laki kelahiran Sukoharjo 5 Agustus 1991 ini merupakan seorang pembelajar melalui menulis yang merangkum capaian diri di blog untid.academia.edu/dickiagusnugroho/. Tercatat sebagai Alumni S1 Ilmu Perpustakaan Universitas Diponegoro di Semarang.

Editor

Nisa Adelia - Nisa Adelia, seorang Ibu Rumah Tangga, Istri dan selebihnya bekerja kantoran sebagai Pustakawan Jaringan Dokumen dan Informasi Hukum di Bagian Hukum Setda Kabupaten Magelang.

Daftar Isi

Cover
Kata pengantar
Daftar Isi
Pengantar penulis
Pendahuluan
Langkah Pertama: Persiapan
Langkah Kedua: Pelaksanaan
Langkah Ketiga: Pasca Pelaksanaan
Penutup