Tampilkan di aplikasi

Buku Selaras Media hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Desentralisasi

Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer

1 Pembaca
Rp 120.000 38%
Rp 75.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 225.000 13%
Rp 65.000 /orang
Rp 195.000

5 Pembaca
Rp 375.000 20%
Rp 60.000 /orang
Rp 300.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Kajian dan teori desentralisasi tidak berkembang dalam ruang hampa. Perkembangan teori desentralisasi mengikuti kebutuhan dan tuntutan zaman. Perubahan paradigma administrasi publik juga berpengaruh terhadap teori desentralisasi dari yang semula berpusat pada decentralized government menjadi decentralized governance. Pondasi yang selama ini berpijak pada semata sektor pemerintah kini bergeser pada pijakan yang melibatkan di luar sektor pemerintah untuk menyajikan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Namun demikian, jika desentralisasi adalah pemberian otonomi kepada masyarakat maka seyogyanya pilihan diberikan kepada subsidiarity principle dan oleh karenanya hal tersebut perlu diperkuat.

Jikalau desentralisasi berarti demokratisasi dan otonomisasi masyarakat maka seyogyanya desain juga lebih dekat dengan potensi, kapasitas, dan aspirasi masyarakat. Untuk hal ini maka berkembangnya desentralisasi asimetrik bukanlah hal tabu untuk dilanjutkan. Selanjutnya, jikalau subsidiarity principle merupakan azas fundamental dalam penguatan teori desentralisasi maka perlu dipertimbangkan apa level pemerintahan terendah yang didesain. Kenyataannya ada struktur kewilayahan terendah yang juga memiliki pemerintahan namun tidak memiliki otonomi daerah karena ia merupakan bagian dari daerah otonom terendah. Untuk itulah maka desa perlu dipertimbangkan desain-nya dalam tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia.

Selain itu, meskipun decentralized governance berpusat pada pelibatan aktor di luar pemerintah dalam tata Kelola pemerintahan, sebaiknya kita tidak menghilangkan peran dan kapasitas pemerintah dalam tata kelola tersebut. Faktanya pemerintah tetap menjadi faktor kunci dalam tata kelola tersebut. Untuk itu, kapasitas pemerintah dalam tata Kelola pemerintahan tetap harus dikembangkan dan salah satu cara utamanya adalah dekonsentrasi. Pilihan terhadap arsitektur dekonsentrasi akan sangat menentukan peran dan kapasitas pemerintah dalam menjalankan tata kelola pemerintahan (governance) secara umum dan decentralized governance secara khusus.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: M.R. Khairul Muluk

Penerbit: Selaras Media
ISBN: 9786236980798
Terbit: Januari 2023 , 160 Halaman










Ikhtisar

Kajian dan teori desentralisasi tidak berkembang dalam ruang hampa. Perkembangan teori desentralisasi mengikuti kebutuhan dan tuntutan zaman. Perubahan paradigma administrasi publik juga berpengaruh terhadap teori desentralisasi dari yang semula berpusat pada decentralized government menjadi decentralized governance. Pondasi yang selama ini berpijak pada semata sektor pemerintah kini bergeser pada pijakan yang melibatkan di luar sektor pemerintah untuk menyajikan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Namun demikian, jika desentralisasi adalah pemberian otonomi kepada masyarakat maka seyogyanya pilihan diberikan kepada subsidiarity principle dan oleh karenanya hal tersebut perlu diperkuat.

Jikalau desentralisasi berarti demokratisasi dan otonomisasi masyarakat maka seyogyanya desain juga lebih dekat dengan potensi, kapasitas, dan aspirasi masyarakat. Untuk hal ini maka berkembangnya desentralisasi asimetrik bukanlah hal tabu untuk dilanjutkan. Selanjutnya, jikalau subsidiarity principle merupakan azas fundamental dalam penguatan teori desentralisasi maka perlu dipertimbangkan apa level pemerintahan terendah yang didesain. Kenyataannya ada struktur kewilayahan terendah yang juga memiliki pemerintahan namun tidak memiliki otonomi daerah karena ia merupakan bagian dari daerah otonom terendah. Untuk itulah maka desa perlu dipertimbangkan desain-nya dalam tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia.

Selain itu, meskipun decentralized governance berpusat pada pelibatan aktor di luar pemerintah dalam tata Kelola pemerintahan, sebaiknya kita tidak menghilangkan peran dan kapasitas pemerintah dalam tata kelola tersebut. Faktanya pemerintah tetap menjadi faktor kunci dalam tata kelola tersebut. Untuk itu, kapasitas pemerintah dalam tata Kelola pemerintahan tetap harus dikembangkan dan salah satu cara utamanya adalah dekonsentrasi. Pilihan terhadap arsitektur dekonsentrasi akan sangat menentukan peran dan kapasitas pemerintah dalam menjalankan tata kelola pemerintahan (governance) secara umum dan decentralized governance secara khusus.

Pendahuluan / Prolog

Kata Pengantar: Prof. Dr. Luqman Hakim, M.Si.
“Kajian dan teori desentralisasi tidak berkembang dalam ruang hampa. Perkembangan teori desentralisasi mengikuti kebutuhan dan tuntutan zaman. Perubahan paradigma administrasi publik juga berpengaruh terhadap teori desentralisasi dari yang semula berpusat pada decentralized government menjadi decentralized governance.”

Buku ini membahas perkembangam teori desentralisasi dari perspektif ilmu administrasi publik (public administration) kontemporer. Kajian ini diawali dengan pernyataan bahwa teori desentralisasi, sebenarnya juga cabang ilmu lain, terus berkembang atau berubah dari satu paradigma ke paradigma yang lain. Sejalan dengan perubahan masya rakat, suatu teori itu tidak pernah berada di ruang kosong kepentingan atau melulu merupakan hasil kontemplasi filsafati. Di sini peradigma ilmu selalu berada dalam tarik menarik dalam interaksi take and give dengan kepentingan politik, ekonomi, budaya, hukum dan lainlain. Dalam lingkungan sosial yang terus berubah seperti itu, kiranya dapat difahami jika penekanan teori desentralisasi pun berubah dari decentralized government ke decentralized governance.

Dalam paradigma otokrasi, yaitu ketika ilmu administrasi publik masih merupakan bagian dari ilmu politik, paradigma ilmu dmi nistrasi publik adalah government. Apa yang penting dari praktik administrasi publik oleh karenanya adalah well governed. Pada era ini sentralisasi atau desentralisasi sepenuhnya adalah soal politik, soal exercise of power dan soal distribution of power. Kini, dalam paradigma demokrasi, government atau well governed saja dirasa tidak cukup. Demokrasi menuntut penyebaran kekuasaan. Sejalan dengan per ubahan politik itu, paradigma ilmu administrasi pun berkembang ke arah governance, ke arah kolaborasi dalam mewujudkan public interest (NPM) dan kinerja pelayanan publik (NPS).

Meskipun penulis tidak mengemukakan pertanyaan ini secara eksplisit, sesuai judulnya, buku ini menjawab pertanyaan mengapa desen tralisasi? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis mengemukakan alasan teoretik fundamental secara mendalam yaitu prinsip residuality dan subsidiarity. Lebih lengkap lagi, jawaban mengapa teori desentralisasi diterapkan dalam tata kelola pemerintahan dikemas dalam bingkai sejarah asalusulnya sejak abad 16. Karenanya kajian teori desentralisasi menemukan konteks sosialnya.

Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai penyerahan tanggung jawab perencanaan, pelaksanaan, dan pengumpulan serta alokasi sumberdaya dari pemerintah pusat dan badanbadan pemerintah pusat kepada: instansi vertikal, unit pemerintahan wilayah, instansi publik atau badan usaha semiotonom, pemerintah daerah, dan organisasi swasta atau masyarakat yang bersifat non pemerintah. Desentralisasi dalam pengertiannya yang luas baik sebagai pengejawantahan dari areal division of power (governmental decentralization) maupun non-governmental division of power (governance decentralization) akan senantiasa dibutuhkan oleh semua negara di dunia ini, dengan tanpa me mandang bentuk negara maupun pemerintahannya. Sesungguhnya untuk menjaga integritas suatu negara begitu juga untuk menjamin jalannya tatakelola pemerintahan bukan hanya desentralisasi yang dibutuhkan oleh setiap negara dan pemerintahan, melainkan juga sentralisasi dan dekonsentrasi. Sayang sekali, di era modern ini, kajian tentang asasasas tata kelola pemerintahan ini surut kalau tidak boleh disebut padam. Khususnya, sebagaimana dikatakan penulis buku ini, dekonsentrasi tidaklah sepopuler desentralisasi, meskipun pada kenyataannya tidak ada satupun negara di dunia yang tidak menjalankan dekonsentrasi. Sungguh, ibarat uang, desentralisasi dan dekon sentrasi adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Gambar dari masingmasing sisi berbeda, tetapi tanpa keduanya uang tidak berlaku. Analog dengan itu, keduanya bukanlah melulu soal pembagian kewenangan administratif dan/atau pembagian teknis dan qua pekerjaan, melainkan sebagai aspek politik yang harus ada dalam tata kelola setiap negara betapapun kecil ukuran luas wilayah yurisdiksinya.

Kalaulah ada perubahan dalam unsur yang perlu mendapat penekanan dalam suatu era hal itu, sebagaimana kehidupan sosial lainnya, karena politik berubah Sejalan dengan perubahan politik di atas, UU no 5 tahun 1974 tentang Pokokpokok Pemerintahan di Daerah harus berubah menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakast saat itu. UU no 5 tahun 1974 tentang Pokokpokok Pemerintahan di Daerah menggunakan cara bertingkat dalam membagi kewenangan dan urusan. Istilah yang digunakan saat itu adalah Daerah Tingkat I (sebagai daerah atasan) dan Daerah Tingkat II (sebagai daerah bawahan). Sementara itu, UU no 22 tahun 1999, UU no 32 tahun 2004 dan UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (semuanya di era orde reformasi) meng gunakan cara langsung dalam membagi kewenangan dan urusan kepada semua daerah otonom. Sejalan perubahan politik dimaksud, teks kajian desentralisasi lokal akan lebih menemukan konteksnya jika dibingkai dalam ilmu politik. Teoriteori politik klasik seperti Polybius Anacyclosis atau teoriteori politik modern berbasis dikhotomi seperti State-Society dalam tradisi filsafat WeberianHintzean mungkin dapat memberi pencerahan yang lebih cemerlang.

Terlepas dari saran di atas dan/atau saran dari para pembaca lain, kajian tentang desentralisasi dalam buku ini cukup luas, sistematis dan mendalam. Dalam pembahasannya, buku ini mencakup teori maupun praktik desentralisasi. Dari kajian teoretiknya terlihat bahwa penulis mempunyai wawasan yang mantap dalam bidang teori administrasi publik baik teoriteori dalam paradigma lama maupun paradigma baru. Sejumlah ilmuwan ternama di bidang ini seperti Gusen, Smith, Cheema, Rondineli dan lainlain dijadikan rujukan. Begitu pula, contoh praktik tata kelola pemerintahan mencakup berbagai negara dan pemerintahan seperti Taiwan, Thailand, Amerika dan lainlain termasuk Indonesia.

Akhirnya, saya salut atas semangat baja dan kerja keras penulis untuk menghasilkan karya monumental ini. Semoga bermanfaat bagi semua.

Malang, 16 Desember 2022

Kata Pengantar: Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, MSi.
Karya Dr. Mujibur Rahman Khairul Muluk, MSi., bertajuk “Desentralisasi Tata Kelola Pemerintahan: Perspektif Kontemporer” benarbenar memukau bagi penikmat kajian Desentralisasi tanah air. Bak setetes air di padang gurun yang gersang, karya ini mampu mengisi kehausan nuansa kupasan fenomena desentralisasi secara Mondial yang juga mencakup praktik di Indonesia yang sedang tergerus dalam pandangan saya sebagai satu orang yang turut mengkaji desentralisasi di Indonesia. Kini praktik Desentralisasi di Indonesia sedang mengalami proses pelemahan karena kekuatan keseragaman dari Jakarta amat kental walaupun dengan gegapgempita Pilkada Langsung.

Goresan fikiran dalam karya ini di bagianbagian awal terutama Bab 1, 2 dan 3 adalah perspektif kekinian yang menyeruak pakempakem lama kajian desentralisasi. Tetapi ada yang dirasakan bahwa seperti sebuah bungkus baru, bagi barang lama. Makna “subsidiarity” dikenal bagi kalangan praktisi konvensional tertumbuk pada praktik MEDEBEWIND (tugas pembantuan) dalam khasanah Desentralisaisi di Negeri Belanda hingga kini dan kala zaman Hindia Belanda. Subsidiarity uga amat masyhur di negeri Jerman, yang memperlihatkan adanya ker jasama antara Pemerintah Negara Bagian dan Daerah otonom di dalamnya. Kini menyambung dengan Decentralized Governance, bukan sekedar Government. Namun nyatanya buku karya Mas Muluk ini mengakui adanya aliran secara material dalam kontur hirarki peme rintahan yang menjadi tempat bagi fenomena subsidiarity yang dimaksud. Yang pasti kupasan ini memperkuat daya terobos fikiran seorang pengkaji dan peneliti pemerintahan daerah di manapun.

Di bagian BAB 6 karya ini terkait DEKONSENTRASI, saya kurang sependapat bahwa di Indonesia pada masa reformasi menganut sistem fungsional. Jika dikatakan seperti bagian akhir dari bab tersebut, bahwa wakil pemerintah kurang menonjol saya lebih sepakat. Saya sudah kupas berkali dan berulang di dua buku saya “Riakriak Otonomi Daerah di Indonesia Kurun 20102021” dan Buku “SelukBeluk Peme rintahan Daerah di Indonesia: Memperkuat Negara Bangsa”.

Indonesia hingga kini menganut integrated prefectural system (IPS). Sebagaimana diungkap Bhenyamin Hoessein bahwa Indonesia tengah mempraktekan Sitem Prefektur Terintegrasi Parsial, sejak wakil pemerintah hanya sampai di Pundak Gubernur, tidak sampai Bupati/ Walikota. Ciri functional system di BC Smith (1985) dan AF Leeman (1970), juga Fried (1965) adalah tidak adanya wakil pemerintah (Prefect). Jadi Indonesia tetap menganut sistem prefektur terintegrasi, ke cuali masa UU. No. 1 Tahun 1957 yang menghapus keberadaan sistem wakil pemerintah (Maksum: 2021).

Sebagai sebuah karya tetap layak mendapat sambutan pro sitif untuk memperkuat khasanah kajian pemerintahan daerah di Indonesia. Buku ini sangat kuat pendalaman teoritiknya, sistematis, enak dibaca, lugas dan terang. Cocok menjadi buku pemecut cakrawala maha siswa, pemerhati, pengkaji dan para pengajar pemerintahan daerah, serta para praktisi di manapun berada.

Saya mengucapkan selamat dan turut bahagia, seraya berdoa selalu sehat untuk Dr. M.R. Khairul Muluk, MSi., dan keluarga.

Sukses selalu dan berkah. Aamiin YRA.

Penulis

M.R. Khairul Muluk - M.R. Khairul Muluk adalah Staf Pengajar di Departemen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya dan saat ini diberi amanah sebagai Kepala Governance Laboratory FIA UB serta Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) sejak tahun 2011. Selain aktif mengajar di Program Sarjana, Magister dan Doktor Administrasi Publik, penulis juga aktif menulis paper baik di jurnal ilmiah bereputasi di dalam dan luar negeri serta presenter di berbagai seminar dan konferensi nasional dan internasional.

Beberapa buku yang pernah dihasilkannya antara lain: Menggugat Par tisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah (2007), Knowledge Management: Kunci Sukses Inovasi dalam Pemerintahan Daerah (2008), Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah (2009), Inovasi dan eGovernance (Modul Buku Ajar Program Doktor Administrasi Publik Universitas Terbuka 2020), Dinamika Pengembangan Pariwisata di Daerah Otonom Baru (2021), Multilevel Governance dalam Kerja Sama Sister City/ Province IndonesiaKorea Selatan (2022).

Daftar Isi

Cover Depan
Kata Pengantar: Prof. Dr. Luqman Hakim, M.Si.
Kata Pengantar: Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, MSi.
Daftar Isi
Daftar Gambar
Bab 1: Pendahuluan
Bab 2: Subsidiarity Principle
Bab 3: Dari Decentralized Government Menuju Decentralized Governance
Bab 4: Desentralisasi Asimetrik
Bab 5: Desa: Desentralisasi di Dalam Daerah Otonom
Bab 6: Dekonsentrasi
Bab 7: Epilog
Biografi Penulis
Cover Belakang