Ikhtisar
Buku ini yang berjudul HMI Sebagai Pusat Pendidikan, Persaudaraan, dan Kepemimpinan merupakan hasil dari program kepala bidang intelektual Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jakarta Selatan (HMI MPO Cabang Jakarta Selatan) serta seluruh penulis di dalamnya adalah pengurus HMI Cabang Jakarta Selatan Periode 2020-2021. Hal ini juga sebagai bentuk tradisi literasi yang di ejawantahkan dalam bentuk literatur ilmiah.
Di dalam buku ini, setidaknya mengulas empat bab di antaranya, bab pertama, berisi tentang Biografi Lafran Pane sebagai pendiri organisasi mahasiswa Islam pertama di Indonesia, kemudian bab ke dua membahas terkait perkembangan HMI dari masa ke masa yang tentunya memiliki sebuah historis panjang untuk dikaji, bab ke tiga membahas grand desain, tradisi, dan sikap HMI Cabang Jakarta selatan dalam menyambut generasi emas 2024, serta yang terakhir bab empat yaitu mengulas bagaimana peran HMI sehingga bisa menjadi pusat pendidikan, persaudaraan, dan kepemimpinan bagi organisasi mahasiswa saat ini.
Buku ini sangat cocok untuk para mahasiswa yang bergabung dalam organisasi khususnya para kader Himpunan Mahasiswa Islam secara nasional. Dengan adanya buku ini diharapkan memberikan berkontribusi positif bagi pembaca serta menjadi sebuah referensi di kalangan para mahasiswa khususnya dipengkaderan HMI.
Pendahuluan / Prolog
Kata Pengantar
Benarkah HMI sebagai pusat persaudaran dan kepemimpinan? SAYA diminta adik-adik HMI Cabang Jakarta Selatan untuk memberi pengantar terkait buku yang tengah mereka usahakan untuk diterbitkan dengan judul lumayan mewah: HMI Sebagai Pusat Pendidikan, Persaudaraan, dan Kepemimpinan.
Sebelum saya ulas, apakah betul HMI dapat berfungsi sebagai pusat pendidikan, persaudaraan, dan kepemimpinan serta sejauh mana parameternya betul, tak ada salahnya saya pikir untuk menceritakan pengalaman saya langsung bertahun-tahun di HMI.
Saya menganggap tidak merupakan orang yang unik di HMI. Hanya saja perlu juga saya kemukakan, saya tidak pernah masuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo sejak dari LK 1 hingga LK 3. Bahkan, HMI Dipo sangat asing bagi saya dikarenakan banyak faktor, antara lain, kampanye anti HMI Dipo yang begitu kuat pada saat saya aktif penuh di dalam HMI MPO di tahun 1998-2009.
Namun dampak terpenting dari pengalaman unik saya itu, walaupun saya membaca buku-buku Cak Nur, tetapi sebenarnya pemikirannya tidak akrab bagi saya. Kemungkinan oleh dampak dari "kampanye" anti Dipo yang terpapar dalam kesadaran saya.
Itulah sebabnya, ketika Cak Nur ternyata pernah menulis dengan judul "20 Tahun HMI Berjuang", tulisannya terasa mengejutkan bagi saya. Mungkin karena sebenarnya Cak Nur masih jauh dari akrab dalam kesadaran historis keHMI-an saya, sebagai anak kader besutan Khittah Perjuangan, bukan NDP. Itu yang saya rasakan.
Melanjutkan perihal catatan tadi, dulu saya ditanamkan kesadaran dan saya terima, bahwa HMI MPO itu, identitas keislaman-kemahasiswaan sehingga dalam pandangan saya HMI MPO sangat sakral.
Entah transmisinya yang keliru apa bagaimana, tetapi hal itu membentuk pandangan dan kesadaran saya terhadap dualisme HMI. Tentu saja berangkat dengan cara pandang dan pemahaman tersebut, saya hanya melihat HMI MPOlah yang pantas diperjuangkan. Lalu dengan mengalir saya mengabdikan diri bagi perjuangan HMI MPO, baik dalam aktivitas perkaderan maupun aktivitas struktural hingga sampai menjadi Ketua PB HMI 2007-2009.
Beberapa bacaan yang mempengaruhi saya sejak awal terkait cara pandang ke-HMI-an saya ialah buku Rusli Karim tentang HMI MPO; Suharsono, HMI, Pemikiran dan Masa Depan; Bang Imad, Kuliah Tauhid, Endang Saefuddin Ansari, Wawasan Islam, Piagam Jakarta; dan buku-buku Amien Rais. Sampai sejauh itu, saya lebih berminat menyimak corak pemikiran mereka di atas itu ketimbang pemikiran Cak Nur, Gus Dur, Djohan Efendi, dan sewarnanya.
Hal itu saya sadari akibat pengaruh cap liberalisme yang disematkan kepada tokoh-tokoh tersebut, yang wujudnya dalam pemahaman saya: mengkhianati Islam. Tentu pemahaman saya di zaman itu.
Karena itu sebanyak mungkin saya tekuni pemikiranpemikiran keislaman yang dapat bermanfaat untuk meruntuhkan basis logika penganut aliran pemikiran liberalisme Islam. Dan pada waktu itu juga, diterbitkanlah oleh Paramadina, sebuah buku: Liberal Islam The Source Book.
Tentu saja hal itu semakin melecut saya untuk mendalami spektrum pemikiran Islam yang berkembang saat itu. Tapi saya akui, salah satu motifnya, tidak suka dengan corak pemikiran liberal tersebut yang saya anggap mengkhianati Islam dari dalam. Dan, ini yang saya minta ampun kepada Allah. Saya melihat Cak Nur berada di dalamnya. Maklum waktu itu masih hijau.
Untuk dedikasi penjelajahan dan pergulatan pemikiran tersebut, saya berhasil mengedit sebuah buku, yang basis dialektikanya adalah isu yang dipertarungkan oleh dua golongan pemikiran keislaman tersebut. Buku tersebut diterbitkan oleh PT. Erlangga. Judulnya Perempuan, Agama dan Moralitas: Antara Nalar Feminis vs Islam Revivalis.
Buku itu mengekspos sekitar pertarungan paradigmatik antara liberalisme dan revivalisme, yang menurutku dimenangkan oleh Hibah Rauf Izzat. Bukan Nawal AlSa'dawi, sastrawati Mesir yang terkenal menulis novel, Perempuan di Titik Nol.
Apa yang hendak saya utarakan adalah bahwa saya begitu serius menganggap partisipasi aktif saya di dalam HMI MPO dan menganggapnya hampir sakral. Waktu itu.
Karena pengaruh dari stereotiping HMI Dipo yang liberal dan label Cak Nur yang berada di garis HMI Dipo, maka saya merugi tidak mengetahui secara lebih jauh dan komprehensif perjalanan pemikiran Cak Nur di HMI. Saya sudah terstop sendiri untuk maju mempelajari sejarah Cak Nur akibat stereotiping dan labeling yang saya ceritakan tadi itu.
Memang itulah ruginya jika terkena pengaruh stereotiping dan labeling. Seseorang akan terhenti dan tidak punya kesempatan yang lebih jauh untuk menjelajahi dan memahami orang lain. Seperti artikel dipostingan sebelumnya itu, 20 Tahun Perjuangan HMI, yang ditulis oleh Cak Nur di Panjimas pada 1967, sama sekali tidak saya sangka pernah ada.
Artikel Cak Nur itu sangat revivalistik-fundamentalistik. Jauh dari kesan modernis, apalagi liberal. Bahwa saya pernah mendengar Cak Nur disebut sebagai Natsir Muda, ya, tapi hanya sekadar itu. Namun pembuktian kesesuaian pemikiran mereka, Cak Nur dan Natsir, belum pernah saya temukan hingga saya baca artikel di atas.
Yang kedua, dulu saya di antara yang memandang bahwa berdirinya eksistensi HMI MPO itu merupakan suatu yang sakral. Dan begitulah yang tertanam dalam kesadaran dan pemikiran saya, sampai saatnya saya berinteraksi dengan senior-senior seperti Lukman Hakim Hassan, Imron FS, sekadar memberi contoh, kesan saya itu menjadi pudar.
Mereka biasa-biasa saja. Santai. Memperlakukan keberadaan positioning HMI MPO tidak sedramatik dan seidealis yang saya bayangkan sebelumnya. Entah persepsi saya ini mewakili banyak orang di generasi saya atau tidak, tidak saya tahu lagi.
Nah, ketika Mas Chaeron (Pendiri HMI MPO) pun mengatakan bahwa HMI MPO itu hanya panitia ad hock, makin yakinlah saya akan kekeliruan persepsi saya sebelum itu. Dan untuk itulah saya membawa-bawa teori challenge and response sebagai dalil atas kemunculan eksistensi HMI MPO. Bukan lahir di atas dalil by design dan sophisticated. Singkatnya, reaksi spontan.
Begitulah waktu berjalan dengan apa yang saya bawa mengenai idealisasi saya terhadap HMI MPO. Berangkat dari sikap konsisten memandang HMI MPO sebagai alat perjuangan umat Islam di Indonesia, maka akhirnya saya sampai pada ayunan langkah isu Islah HMI yang terjadi pada masa kepengurusan saya di PB HMI 2007-2009.
Saya dalam peristiwa itu, bukan dalam posisi, defensif. Malahan inisiatif. Dengan maksud sederhana saja, yaitu mengakhiri suasana ambivalensi sikap terkait realitas duo HMI dengan ekses perasaan saling memusuhi, tepatnya bersaing tidak sehat. Walhasil, poin-poin kesepakatan itu saya susun sendiri.
Dengan saling pengertian, bahwa kesepakatan itu bukan mengeliminasi salah satu HMI (MPO atau Dipo). Isi kesepakatannya pun dirancang normatif saja. Adapun partner saya, yaitu Fajar Zulkarnaen, Ketua PB HMI Dipo, hampir tak memberi koreksi. Mungkin dia insyaf, bahwa poinnya memang normatif, tetapi setidaknya memiliki implikasi pendekatan yang lebih formal antar dua kubu HMI.
Bukti-bukti draf rancangan poin-poin kesepakatan itu masih saya simpan dengan baik, dimana merupakan hasil tulis tangan saya. Dokumennya insya Allah aman.
Demikian catatan saya tentang HMI MPO dari sudut sebagai mantan sekaligus partisipan aktif selama ini.
Penulis
Khoirul Ulum - Khoirul Ulum, lahir di bekasi 02 April 1998. Penulis saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Prodi Magister Pendidikan Agama Islam. Penulis juga mulai berhimpun di organisasi HMI ini pada bulan April tahun 2019.
Redza Sutiara Akbar - Redza Sutiara Akbar Lahir di Jakarta, 31 Desember 1999. Penulis adalah alumni mahasiswa Fakultas Pendidikan Agama Islam di Fakultas Tarbiyah Institut Perguruan tinggi ilmu Al-Qur'an Jakarta tahun 2022. Proses berhimpun di HMI penulis dimulai sejak tahun 2017.
Khoirun Lathief - Khoirun Lathief, lahir di Desa Weikoro, Lembata, NTT pada 11 April 1997. Penulis adalah alumni Mahasiswa Program Studi Akhwal Sakhsiyyah di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta pada 2020. Penulis juga berhimpun di organisasi HMI ini pada tahun 2019 lalu.
Muhamad Said Hawa Mubarok - Muhamad Said Hawa Mubarok, Lahir di Bandung 09 September 1998, penulis saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Jakarta pada Prodi Strata Satu Kesehatan Masyarakat. Penulis juga mulai berhimpun di organisasi HMI ini pada tahun 2017.
Wahido Amarsyah - Wahido Amarsyah, lahir di Jakarta pada tanggal 27 Januari 1999. Penulis memulai pendidikan formal di HMI sejak LK 1 (basic training) bulan Maret tahun 2017, dilanjutkan ke jenjang LK II (intermediate training) Agustus 2018, dan melanjutkan pendidikan pelatihan khusus pengader pada forum Senior Course tahun 2019. Tahun 2020 penulis telah menyelesaikan pendidikan S1 di Institut PTIQ Jakarta dan kemudian sekarang ini sedang melanjutkan pendidikan tinggi di Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta program Magister Manajemen Pendidikan Islam.
Yusuf Hidayatullah - Yusuf Hidayatullah, lahir di Jakrta 19 November 2000. Penulis saat ini sedang menempuh pendidikan di Institut PTIQ Jakarta pada Prodi Komunikasi Penyiaran Islam. Penulis juga mulai berhimpun di organisasi HMI pada tahun 2018.
Nindya Chaerunnisa - Nindya Chaerunnisa, lahir di Bogor 11 April 2000. Penulis saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Ibn Khaldun Bogor Prodi Komunikasi Penyiaran Islam dan Universitas Insan Cita Prodi Informatika. Penulis berhimpun di organisasi HMI sejak 2018, saat ini mengemban amanah sebagai Kepala Bidan Kominfo HMIMPO Cabang Jakarta Selatan.
Daftar Isi
Sampul
Kata Pengantar
Prakata
Daftar Isi
Bagian I Pena Klasik
Biografi Lafran Pane
Genealogi Keluarga Lafran Pane
Riwayat Pendidikan Lafran Pane
Riwayat Pekerjaan Lafran Pane
Pemikiran Lafran Pane
Karya-karya Lafran Pane
Penghargaan Lafran Pane
Bagian II HMI Masa Ke Masa
Masa Pertama Konsolidasi
Masa Pengokohan
Masa Perjuangan Bersenjatan
Masa Pertumbuhan Dan Pembangunan
Masa Perjuangan
Masa Kebangkitan Hmi Sebagai Pelopor Orde Baru
Masa Pembangunan Nasional
Bagian III HMI Mpo Jakarta Selatan
Grand Desain HMI Mpo Jakarta Selatan
Tradisi HMI Mpo Jakarta Selatan
HMI Dalam Menyambut Generasi Emas 2045
Bagian IV Pena Kontemporer
HMI Sebagai Pusat Pendidikan
HMI Sebagai Pusat Persaudaraan
HMI Sebagai Pusat Kepemimpinan
Daftar Pustaka
Tentang Penulis
Kutipan
bab 2
MASA PERTAMA KONSOLIDASI HMI Masa ini adalah masa pertama berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang mana dicetuskan oleh Lafran Pane, yaitu seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam) yang kini lebih dikenal dengan Universitas Islam Indonesia (UII). Prakarsa dan gagasan untuk mendirikan HMI, sebenarnya telah timbul pada bulan November 1956 yang dicetuskan oleh Lafran Pane.
Akan tetapi, ide itu belum mendapatkan tanggapan positif dari kalangan mahasiswa. Walaupun telah berulang kali diadakan pertukaran pikiran, banyak mahasiswa yang masih ogah-ogahan bahkan tidak sedikit yang menentang dan mengejek dengan penuh sinis.14 Namun walau bagaimanapun, tantangan dan kritikan yang datang dari dalam dan luar semakin bertambah tebal semangat, gelora, dan keyakinan yang membaja dari pemrakarsa pendiri HMI untuk tetap didirikan. Dan tak mau mundur selangkahpun, apalagi saat ide itu mendapat dukungan dari beberapa mahasiswa lain baik dari kalangan mahasiswa STI maupun di luar STI.15