Tampilkan di aplikasi

Buku Sidogiri hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Pelayan dan Tamu di Rumah Allah

Pedoman Bagi Takmir dan Aktivis Masjid

1 Pembaca
Rp 25.000 60%
Rp 10.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 30.000 13%
Rp 8.667 /orang
Rp 26.000

5 Pembaca
Rp 50.000 20%
Rp 8.000 /orang
Rp 40.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Mengkaji masjid secara komprehensif, agar benar benar mendapatkan kajian yang utuh lagi menyeluruh. Kami mengawali kajian tersebut berurut mulai dari aspek kesejarahannya, efektvitas peranan dan fungsionalitasnya, ketentuan-ketentuan hukumnya dan bagaimana menanganinya serta adab adab yang berkaitan dengannya. Pada bagian yang paling akhir, kami melengkapinya dengan sajian uraian permasalahan-permasalahan kontemporer terkait dengan masjid yang seringkali terjadi di masyarakat. Hal tersebut kami lakukan guna mempertajam tema-tema pokok yang telah dibahas sebelumnya, di samping gaya penyajian tanya-jawab merupakan metode yang paling mudah diserap dan dipahami oleh berbagai kalangan dengan beragam tingkat kelasnya.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: A. Qusyairi Isma'il / Moh. Achyat Ahmad
Editor: Ahmad Dairobi

Penerbit: Sidogiri
ISBN: 9789792604122
Terbit: Februari 2021 , 174 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Mengkaji masjid secara komprehensif, agar benar benar mendapatkan kajian yang utuh lagi menyeluruh. Kami mengawali kajian tersebut berurut mulai dari aspek kesejarahannya, efektvitas peranan dan fungsionalitasnya, ketentuan-ketentuan hukumnya dan bagaimana menanganinya serta adab adab yang berkaitan dengannya. Pada bagian yang paling akhir, kami melengkapinya dengan sajian uraian permasalahan-permasalahan kontemporer terkait dengan masjid yang seringkali terjadi di masyarakat. Hal tersebut kami lakukan guna mempertajam tema-tema pokok yang telah dibahas sebelumnya, di samping gaya penyajian tanya-jawab merupakan metode yang paling mudah diserap dan dipahami oleh berbagai kalangan dengan beragam tingkat kelasnya.

Pendahuluan / Prolog

Kata Pengantar
Bismillâhirrahmânirrahîm Segala puji hanya milik Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Shalawat dan salam mudah-mudahan abadi tercurah keharibaan baginda Rasul, Nabi Muhammad shallallâh ‘alayhi wa sallam, sahabat beserta kerabat beliau, yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran sejati yang penuh dengan cahaya keimanan.

Sejak periode yang sangat dini dalam perjalanan Islam, masjid, yang dibangun di atas asas ketakwaan kepada Allah SWT, memiliki peran sangat penting dan berharga dalam membentuk kemapanan masyarakat Islam, baik dalam dimensi aqîdah, syarî’ah, mu’âmalah bahkan siyâsah-nya. Dengan demikian, masjid merupakan perangkat utama yang mengantar kesuksesan umat Islam di masa lalu, kini dan kapanpun. Ia adalah poros yang menjadi muara dari setiap langkah umat Islam yang kemudian menyebar dan berjaya di berbagai belahan dunia.

Agaknya, peranan universal masjid tersebut dapat kita pahami dari pernyataan Dr. Muhammad Sa’id Ramdhan al-Buthi dalam Fiqh as-Sîrah-nya. Ia mengatakan, “Masjid merupakan asas utama dan terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam. Karena masyarakat Muslim tidak akan terbentuk secara kokoh dan rapi kecuali dengan komitmen terhadap sistem, akidah dan tatanan Islam. Hal ini tidak akan dapat ditumbuhkan kecuali melalui semangat dan inspirasi masjid (rûh al-masjid wa wahyih)”.

Begitulah. Sejak periode yang sangat awal, Islam telah memiliki sistem yang demikian paripurna, dan mampu menjawab kebutuhan spiritual, mental dan sosial para penganutnya. Maka, dalam rentang waktu yang amat singkat, apa yang disebut oleh orang kebanyakan sebagai peradaban madani atau baldah thayyibah wa rabb ghafûr telah terwujud dengan nyata.

Kiranya, Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, dapat merefleksikan dengan tepat, bagaimana masjid berperan membentuk masyarakat yang berperadaban luhur tersebut. Ia mengatakan, “Saat orang-orang yang beriman masuk masjid, ia menyadari bahwa masjid adalah milik Allah dan bukan milik ciptaan-Nya. Ia tahu jika dirinya setara dengan orang-orang yang ada di situ. Tidak ada besar-kecil, tinggi-rendah atau kelompok kelas... Masjid merupakan ‘people university’ yang memberikan pelayanan pendidikan bagi kaum muda maupun tua.” Akan tetapi, kenyataan yang terpampang di hadapan kita memperlihatkan pada suatu kenyataan bahwa, rupanya sentralitas dan efektivitas masjid yang seharusnya amat potensial itu kian hari kian memudar. Memang, secara kuantitas, masjid tengah mengalami peningkatan pesat, namun secara substantif, peningkatan kuantita tersebut tidak diimbangi dengan upaya meningkatkan kualitasnya. Akibatnya, kemegahan masjid yang tak berpenghuni, atau sepi dari aktivitas-aktivitas diniyah, sudah bukan merupakan pemandangan baru bagi kita. Ironis.

Tidak hanya itu, lingkungan dan peradaban masyarakat post-modern yang carut-marut, pada gilirannya menarik masyarakat masjid (baca: umat Islam) untuk berpaling atau bahkan ‘sama sekali’ lepas dari ikatan masjid. Watak materialistis yang terlanjur mengakar membuat mereka lupa akan isi dan hanya mementingkan kulit; obsesi megah-megahan masjid yang sangat tinggi tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas dan penyemarakan ibadah di masjid. Malah, hal ini seringkali memicu masyarakat masjid untuk lupa akan aturan-aturan fikih yang seharusnya diterapkan dengan sebaik mungkin.

Tepat pada titik itulah buku yang kini berada di jepitan jari-jari pembaca ini menempatkan posisinya yang—semoga saja—tepat. Kami sadar, bahwa untuk mengembalikan peran masjid yang sesungguhnya, dan membentuk kembali masyarakat madani seperti dicapai umat Islam sebelumnya, barangkali buku ini tak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi kami bersyukur, setidaknya ikhtiyar yang muncul dari semangat dan idealisme seperti itu tetap ada, dan buku inilah yang menjadi pengejawantahan dari ‘angan-angan’ luhur tersebut.

Untuk itu, kami mencoba membaca dan mengkaji masjid secara komprehensif, agar benar-benar mendapatkan kajian yang utuh lagi menyeluruh. Kami mengawali kajian tersebut berurut mulai dari aspek kesejarahannya, efektvitas peranan dan fungsionalitasnya, ketentuan-ketentuan hukumnya dan bagaimana menanganinya serta adab-adab yang berkaitan dengannya. Pada bagian yang paling akhir, kami melengkapinya dengan sajian uraian permasalahan-permasalahan kontemporer terkait dengan masjid yang seringkali terjadi di masyarakat. Hal tersebut kami lakukan guna mempertajam tema-tema pokok yang telah dibahas sebelumnya, di samping gaya penyajian tanya-jawab merupakan metode yang paling mudah diserap dan dipahami oleh berbagai kalangan dengan beragam tingkat kelasnya.

Sebelum mengakhiri pendahuluan ini, kami ingin mengungkapkan rasa terimakasih kami kepada KH. Muhib Aman Ali, yang telah memberi inspirasi kepada kami untuk menulis buku yang berkenaan dengan masjid, dan selalu memberikan support untuk segera menyelesaikannya. Tidak hanya itu, di sela-sela aktivitasnya yang padat, beliau masih meluangkan waktu untuk men-tashhîh dan memperbaiki naskah buku ini.

Ucapan terimakasih juga kami haturkan kepada pihak Pustaka Sidogiri (PS), yang telah bersedia menerbitkan buku yang amat sederhana ini. Kami berharap, semoga kehadiran PS dapat berperan aktif dalam mengantarkan khazanah ilmiah pesantren khususnya, dan khazanah keilmuan Islam pada umumnya, ke taraf yang paling gemilang dan membanggakan. Kepada mereka yang juga berperan dalam penerbitan buku ini, namun tak sempat kami sebutkan di sini, kami juga ucapkan jazâkumullâh ahsanal jazâ’. Semoga amal shalih tersebut dapat mengantarkan pada jalan keselamatan, kelak di hari pembalasan. Amin.

Sidogiri, 03 Dzul Qa’dah 1427 H

Penulis

A. Qusyairi Isma'il - Lahir dan dibesarkan di Sampang pada tahun 1980 M. Jenjang pendidikan Ibtidaiyah ia jalani di Madrasah Darul Jihad Cendana Kadur Pamekasan. Tahun 1996, ia berhijrah ke Pondok Pesantren Sidogiri, dan melanjutkan belajarnya di tingkat Tsanawiyah. Pada tahun 1998, ia sudah menjalani tugas mengajar di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi‘iyah Nurul Huda Nyamplong Situbondo. Tak puas dengan apa yang sudah didapat, ia meneruskan belajarnya di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Sidogiri, dan lulus pada tahun 2002 M.
Moh. Achyat Ahmad - Lahir di Pasuruan 22 tahun yang lalu (17-02-1984). Menempuh jenjang pendidikan Ibtida’iyah di Madrasah Miftahul Ulum (MMU) Oyoran Rembang Pasuruan, dan tingkat Tsanawiyah di MMU Kangkungan Rembang Pasuruan. Ia baru nyantri di Pondok Pesantren Sidogiri pada tahun 1421 H. / 2000 M. Satu tahun kemudian, ia menjalani tugas mengajar pada Madrasah Miftahul Hidayah, Banyualet Tanah Merah Bangkalan Madura. Selepas tugas mengajar, ia meneruskan thalab al-‘ilm-nya ke tingkat Aliyah di pesantren yang sama hingga selesai.

Daftar Isi

Sampul
Daftar isi
Sambutan Pengurus Pondok Pesantren Sidogiri
Kata Pengantar
Bagian pertama: Sejarah Perjalanan Masjid
     A. Pendahuluan
     B. Peletakan Batu Pertama
     C. Efektvitas dan Peran
     D. Arsitektur, Komponen dan Personalia
     E. Perkembangan
     F. Al-Haram, Al-Aqsha, dan An-Nabawi
Bagian kedua: konsep hukum fikih
     A. Definisi Masjid
     B. Wakaf dan Masjid
     C. Proses Terbentuknya Masjid
     D. Keutamaan-keutamaan
Bagian ketiga: Kepengurusan dan penanganan
     A. Kepengurusan
     B. Tugas tugas Nâzhir
     C. Hak Milik Masjid dan Pendistribusiannya
     D. Sistem Penanganan Ibadah
Bagian keempat: Adab adab berkenaan dengan masjid
     Berbagai Kemunkaran di Masjid: Catatan dari Imam al-Ghazali
Bagian kelima: Permasalahan seputar masjid
     1. Ayat al-Qur’an sebagai hiasan masjid
     2. Menyalakan lampu full-time
     3. Antara Masjid dan Mushalla
     4. Tidur di Masjid
     5. Uang Masjid untuk Konsumsi
     6. Makan di Masjid
     7. Mengunci Masjid
     8. Musik Hadrah di Masjid
     9. Menghampar Sajadah
     10. Membongkar Masjid Layak Pakai
     11. Kekayaan Masjid Perlu Dizakati?
     12. Menghutang Uang Masjid
     13. Dua Masjid di Satu Kampung
Daftar pustaka
Indeks
Tentang penulis

Kutipan

Sejarah Perjalanan Masjid
A. Pendahuluan Masjid, salah satu elemen terpenting dari kehidupan keberagamaan dan peradaban umat Islam, merupakan sentra yang mampu menjadi pengikat pertalian spiritual, emosional dan sosial masyarakat Muslim di berbagai kawasan dunia dalam bingkai tauhid. Sebagai unsur yang begitu vital, tentu sebagaimana yang akan kita lihat masjid memiliki aspek sejarah perjalanan yang unik dan fenomenal. Selama berabad-abad, masjid telah berperan aktif dalam setiap lini kehidupan dan aktivitas umat Islam, mengiringi rekor-rekor gemilang yang telah mereka capai.

Untuk menunjuk pentingnya peran masjid, barangkali sejarah, kenyataan dan penuturan al-Qur’an yang berulang-ulang, cukup memberikan gambaran yang demikian gamblang. Kata masjid dalam al-Qur’an, dengan beragam pola-nya, disebut kurang lebih sebanyak 28 (dua puluh delapan) kali.

B. Peletakan Batu Pertama Suatu ketika, Ahl al-Kitâb (orang-orang Yahudi Madinah) mengungkit-ngungkit sejarah pendirian rumah ibadah pertama di dunia. Mereka mengklaim bahwa rumah ibadah mereka, Masjid al-Aqsha di Bayt al-Maqdis, Yerussalem, adalah rumah ibadah pertama yang berdiri, jauh sebelum Ka‘bah yang menjadi kiblat Muslimin. Al-Qur’an menanggapi kesalahan asumsi tersebut, dan mengungkap fakta sejarah yang sebenarnya. Al-Qur’an menyatakan: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah)1 yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua umat manusia” (QS Ali ‘Imrân [3]: 96).

Rumah ibadah (bayt) itu, sebagaimana diungkapkan kebanyakan pakar tafsir dan ahli sejarah, dibangun oleh Ibrahim as bersama putranya, Isma’il as seperti ditegaskan dalam al-Qur’an yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membangun) dasar-dasar Baitullah bersama Isma’il…” (QS al-Baqarah [2]: 127).2 Namun, Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya mengemukakan data yang cukup unik: bahwa Rumah itu dibangun sebelum penciptaan Adam as Empat puluh tahun kemudian, Masjid al-Aqsha baru didirikan.

Dalam Shahîh Muslim dikemukakan sebuah Hadits dari Abu Dzar ra. Ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw mengenai masjid pertama yang dibangun di atas bumi. Beliau menjawab “Masjid al-Haram”, lalu? (tanyaku lagi). Beliau menjawab “Masjid al-Aqsha”. Berapakah jarak antara keduanya? Nabi pun menjawab “empat puluh tahun…” (HR Muslim).

Sementara peletakan batu pertama Masjid al-Aqsha dilakukan oleh Nabi Sulaiman bin Dawud pada tahun 1005 SM., selisih satu alaf lebih dari pendirian Ka‘bah oleh Ibrahim as.

Data ini sesuai dengan redaksi Hadits shahîh riwayat an-Nasa’i dari ‘Abdullah bin ‘Umar secara marfû’, bahwa “Ketika Sulaiman bin Dawud as. membangun Bayt al-Maqdis, beliau memohon tiga hal…”. Akan tetapi dipihak lain ada pendapat yang menyatakan bahwa pendirinya adalah Nabi Ya’qub as. bin Ishaq as. Sementara Hadits riwayat an-Nasa’i ini digiring pada pemahaman bahwa Sulaiman as. hanya merenovasi, bukan membangun dari awal.