Tampilkan di aplikasi

Buku Garudhawaca hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Jejak Tubuh

Kumpulan Puisi

1 Pembaca
Rp 44.000 55%
Rp 20.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 60.000 13%
Rp 17.333 /orang
Rp 52.000

5 Pembaca
Rp 100.000 20%
Rp 16.000 /orang
Rp 80.000

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Jejak Tubuh adalah kumpulan puisi dari penyair Tegsa Teguh Satriyo yang tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Di dalamnya terdapat 117 karya puisi. Salah satu kekhasan karyanya adalah ia banyak menggunakan rangkaian diksi yang menurut beberapa penyair lain “tak lazim”. Namun, justru dari situlah ia membangun karakter kepenulisan yang kreatif dan eksperimantatif. Tegsa yang seorang guru Bahasa Indonesia, memang terdorong untuk mengeksplorasi bahasa secara lebih luas sekaligus lebih indah. Persentuhannya dengan teater dan seni peran juga menambah kekhasan "jiwa" dari puisi-puisinya.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Tegsa Teguh Satriyo

Penerbit: Garudhawaca
ISBN: 9786026581426
Terbit: Mei 2018 , 129 Halaman

BUKU SERUPA













Ikhtisar

Jejak Tubuh adalah kumpulan puisi dari penyair Tegsa Teguh Satriyo yang tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Di dalamnya terdapat 117 karya puisi. Salah satu kekhasan karyanya adalah ia banyak menggunakan rangkaian diksi yang menurut beberapa penyair lain “tak lazim”. Namun, justru dari situlah ia membangun karakter kepenulisan yang kreatif dan eksperimantatif. Tegsa yang seorang guru Bahasa Indonesia, memang terdorong untuk mengeksplorasi bahasa secara lebih luas sekaligus lebih indah. Persentuhannya dengan teater dan seni peran juga menambah kekhasan "jiwa" dari puisi-puisinya.

Ulasan Editorial

“Selain lincah memotret tema kehidupan yang meloncat-loncat di segala ruang dan waktu, hal menarik lainnya dari puisi-puisi di buku ini adalah tebaran diksinya yang kerap tak terduga. Kadang mengantarkan suasana liris dengan lirih, kadang menghentak dan menggedor-gedor jiwa. Tapi sebagaimana penulis puisi yang mencoba merumat pembaca dari beragam latar belakang dan selera, Tegsa tampak senantiasa hati-hati dalam mempertahankan pola interaksi pemahaman yang seimbang di hadapan pembacanya. Itulah kenapa, meski kerap menyodorkan rangkaian diksi yang tak lazim dalam sejumlah puisinya, hal itu malah berpotensi membangun karakter kepenulisannya yang kreatif dan eksperimentatif. Ia pun kerap meramu judul sajak dengan perspektif menyimpang, berdiksi menantang atau memisteri. Walau begitu, menikmati sajak-sajak penyair ini tak akan membuat pembaca terperosok di gelap makna atau tersesat dalam pemikiran gulita.”

Sosiawan Leak (penyair)

“Siapa saja tentu memiliki jejak, segala perjalanan yang lewat, segenap peristiwa yang berlalu. Sesudah itu, tiada lagi yang bersisa. Kecuali yang berjatuhan menjadi kata, menjadi puisi, menjadi keabadian. Begitulah yang dilakukan Tegsa, dalam kerja kepenyairannya. Kumpulan puisi ini salah satu bukti keberadaannya!”

Dosen UPGRIS / Setia Naka Andrian

Pendahuluan / Prolog

Pengantar Penyair
Menulis puisi merupakan cara saya untuk melukis kegelisahan, atau sekadar menuruti kata hati yang ingin terus berlari. Ketertarikan saya terhadap dunia puisi bermula ketika saya masih SMP. Saat itu mencuri-curi waktu ke perpustakaan. Kemudian tak sengaja, saya menemukan buku O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachri. Sejak saat itu, saya mulai suka membaca berbagai puisi.

Semasa SMA, saya tertarik untuk melebur dengan kelompok Teater Kuncup Melati, di bawah asuhan Pak Rasmo, guru bahasa Indonesia yang paling „medeni‟. Tapi bagi saya, beliau adalah petani yang menanam akar ketertarikan saya terhadap dunia seni dan sastra, hingga saya bisa membuahkan karya puisi, cerpen, naskah lakon, serta menyutradarai teater, meskipun kecil-kecilan. Saat saya beri kabar bahwa saya hendak kuliah di Semarang, beliau berkata, “Meluo teater, ben tambah ilmu.” lebih kurang, begitulah pesannya selalu terngiang.

Di Semarang, Teater Gema merupakan rumah yang menyuguhi saya berbagai menu ilmu. Kehidupan di dalamnya tidak hanya menyeret saya untuk mengikuti arus teater. Dulur-dulur di sana begitu kaya dalam hal karya. Setia Naka Andrian adalah saudara seatap di Gema. Bagaimanapun, di mata saya, dia adalah orang yang keras dalam berkomitmen. Tidak ada detik yang terlewatkan untuk tidak berkarya. Minimal, ada ide kecil yang ia catat untuk dikembangkan menjadi karya besar di menit berikutnya. Sikapnya itulah yang banyak menginspirasi proses saya dalam dunia tulis.

Kekejaman-kekejaman komentar banyak saya dapatkan saat kuliah. Kata-kata pedas sering terlontar dari bibir dosen yang saya mintai pendapat tentang puisi saya.



Meski begitu, saya terus menembokkan muka, terus menulis seadanya. Sambil mengikuti alur menulis yang diberikan oleh Pak Broto. Hingga suatu ketika, Pak Harjito berkata: “Nek iki mending…” begitu respon beliau terhadap puisi Sepasang Anak Ayam yang saya ajukan. Terhadap puisi tersebut, Pak Pras berpendapat: “Puisi ini menggunakan idiom seperti …” begitu komentar beliau yang sempat saya dengar. Ada bagian yang terpotong untuk saya tangkap, beliau memang sangat lembut jika birtutur. Terlebih, kala itu beliau sedang tersiksa oleh sariawan. Bagaimanapun, terima kasih banyak atas ilmu-ilmunya.

Semangat menekuni dunia tulis juga diperkuat oleh posisi saya sebagai guru bahasa Indonesia bagi murid-murid saya. Semoga buku Jejak Tubuh ini dapat menginspirasi mereka, atau siapa pun yang berkenan memahaminya.

Penulis

Tegsa Teguh Satriyo - Tegsa Teguh Satriyo, lahir di Pati, 31 Januari 1988. Tiga jenjang sekolahnya ditempuh di kota kelahiran. Lulus sarjana tahun 2011. Kemudian menjadi guru Bahasa Indonesia dan pelatih teater di SMA Kesatrian 2 Semarang. Ia aktif menekuni dunia teater sejak kelas dua SMA. Kecintaannya terhadap seni peran diperdalam di Teater Gema IKIP PGRI Semarang. Selain itu, ia juga beberapa kali terlibat proses kreatif dengan Teater Lingkar Semarang. Naskah lakonnya, “Janggala”, turut tercetak dalam buku kumpulan naskah drama “Dongeng Negeri Dongeng”. Beberapa puisinya terbit dalam buku antologi bersama: “Mantra Persahabatan”, “Puisi Menolak Korupsi”, dan “Merajut Kebinekaan”. Semangatnya untuk menginspirasi siswa ia buktikan dengan terus konsisten menulis puisi, cerpen, dan naskah drama. Beberapa naskah dramanya kini telah disiapkan untuk segera terbukukan.

Daftar Isi

verso
Daftar Isi
Pengantar Penyair
Puisi-Puisi