Ikhtisar
"Keseluruhan isi kumpulan puisi, Kupilih Sepi, hanya merupakan jawaban-jawaban, walau sangat sederhana dan terkadang kehilangan arah, dari pertanyaan klasik tentang hubb ul-ilahi, kecintaan pada Tuhan. Dalam bentuk-Nya yang unique, tunggal dan penuh misteri, Tuhan mewujud dalam hasrat (syauq), rindu dan seluruh relasi, yang sangat rumit, dengan sesama ciptaan; laut, angin, rumput, kuda, camar, kekasih, dan bahkan debu. Termasuk di dalamnya, nafas derita (hanin). Menurutku, seluruh bencana yang menimpa bangsa ini sepanjang tahun 2003-2006, yang menjadi tema sebagian besar puisi dalam buku ini, merupakan bentuk cinta Ilahi."
Pendahuluan / Prolog
Sebuah pengantar
Keseluruhan isi kumpulan puisi, Kupilih Sepi, hanya merupakan jawaban-jawaban, walau sangat sederhana dan terkadang kehilangan arah, dari pertanyaan klasik tentang hubb ul-ilahi, kecintaan pada Tuhan. Dalam bentuk-Nya yang unique, tunggal dan penuh misteri, Tuhan mewujud dalam hasrat (syauq), rindu dan seluruh relasi, yang sangat rumit, dengan sesama ciptaan; laut, angin, rumput, kuda, camar, kekasih, dan bahkan debu.
Termasuk di dalamnya, nafas derita (hanin). Menurutku, seluruh bencana yang menimpa bangsa ini sepanjang tahun 2003-2006, yang menjadi tema sebagian besar puisi dalam buku ini, merupakan bentuk cinta Ilahi.
Cinta ilahi yang juga aku dapatkan saat Ramadan.
Cinta yang mendorongku untuk istiqamah bertadarus AlQuran. Kubaca, kuhayati dan kutulis menjadi puisi.
Walau harus diakui bahwa gemuruh sosial dalam memuliakan Ramadan telah terjebak pada rutinitas yang dangkal—hingga semua energi spiritual ummat terkuras hanya pada, meminjam istilah Vaclav Havel, aesthetics of banality, estetika kedangkalan—tetapi bagiku, Ramadan tetaplah istimewa dan berkesan dalam kehidupan ini.
Dengan penuh keagungan, bulan ini menyediakan fasilitas yang sangat istimewa dari Allah. Saat berbuka, tarawih, tadarrus, obrog-obrog (karnaval musik untuk membangunkan sahur), sahur dan tidur siang, yang ibadah itu, begitu membekas dalam hatiku. Sehingga takbir Idul Fitri, membuat jiwaku hampa dan menganggukkan kepala pada puisi Sitor Situmorang:
Bulan di atas kuburan Aku hendak berbagi cinta itu; baik bersifat Ilahiyah, spiritual (hubb ruhani), maupun alami (hubb tabi’i), kepada seluruh kalangan yang merindukan sebuah realita yang berada dalam rangkaian Ilahi. Sebuah rangkaian yang dipenuhi orang-orang yang berhati ‘arif; yang selalu memantulkan “hubb Ilahi” setiap saat ke atas neraca mikrokosmos. “langit dan bumi-Ku tak bisa meliputi-Ku, namun hanya hati hamba-Ku yang setia, akan mampu meliputi-Ku”, demikian Tuhan dalam hadis qudsi.
Kesetiaan terhadap “kebenaran” dan kesabaran terhadap “kehidupan”, menjadi “ruh” seorang ‘arif bi Allah.
Karena dorongan cinta itulah, aku–yang semula, hampir tidak percaya, pada diri sendiri, untuk menuliskan semua bayang-bayang yang berkelebat dalam batin, pikiran serta “mimpi” saya selama ini,—mengekspresikan penghayatan atas pengalaman hidup ini, dengan puisi. Seperti Dzunun al-Mishry, Suhrahwardi alMakthul, Ibn ‘Arabi atau Syeikh Siti Jenar, saya berharap bisa meleburkan diri dalam hakikat cinta Ilahi di tengah kesadaran masyarakat.
Aku hanya “awam” untuk ini semua, tapi beberapa orang yang masih “setia” dengan cinta, memperkenalkan aku untuk memasukinya dengan penuh keyakinan. Di antaranya; Mas Alwy yang meniupkan ruh kecintaan pada Emak, ke dalam sumsum kesadaranku sebagai anak.
Istriku tercinta, yang membiarkanku menghisap pori tubuhnya sehingga abadilah kesegaran nafasku sebagai lelaki. teman-teman PSN (Pendidikan Seni Nusantara) & Fahmina, Qi Buyut, kawan-kawan di DEKMA (Dewan Kesenian Majalengka), Mas Arief, Ustadz Dadan, penyanyi jalanan Cirebon dan teman-teman di LSS-DKC, jazâkumullâh.
Daftar Isi
Sampul
Tentang penulis
Sebuah pengantar
Pengembara dalam tubir kegelisahan
Daftar isi
Kupilih Sepi; Air Mata Tuhan 2006
Terompet
Serpong
Sekarat
Mata
Kota Sepi
Curug Sawer
Pasir Sumedang
Sang Pengembara
Jalan Sang Raja
Air Mata
Termas
Air Mata Tuhan
Genta
Prahara
Kutanya
Jenuh
Jumat
Pemimpin Bangsa
Merah putih
Dzikirku di Banten
al-Ahad
Jejak Tsunami
Sekarang
Nyiur
Senyuman
Burung Gagak
Hizib
Kuikuti
Perahu
Amarah
Terlelap
Gardu
Rumah Kecil
Hutan
Ciburuy
Nama-Mu
Gerobak Tua
Usia
Di Jatinegara,Kutemukan Dunia
Tadarus Ramadhan
HARI KE-1 Al-Fâtihah
Ibu
HARI KE-2 Al-Baqarah
Betina yang Terluka
HARI KE-3 Ali ‘Imrân
Sebuah Keluarga
HARI KE-4 An-Nisâ’
Menimang Rindu
HARI KE-5 Al-Ma’idah
Hidangan Ruhani
HARI KE-6 Al-An‘âm
Nafsu
HARI KE-7 Al-A‘râf
Penyesalan
HARI KE-8 Al-Anfâl
Terhempas
Hari Ke-9 At-Taubah
Nabi Membasuh Api
HARI KE-10Yûnus
Yunus
HARI KE-11 Hûd
‘Ad26
HARI KE-12 Yûsuf
Kegagalan Cinta
HARI KE-13 Ar-Ra‘du
Buih
HARI KE-14 Ibrâhîm
Kalimat Thoyyibah
HARI KE-15 Al-Hijr
Siang dan Malam
REHAT
Ratib 43
HARI KE-16 An-Nahl
Sarang-Sarang Lebah
HARI KE-17 Al-Isrâ’ & Al-Kahfi
Burok46
HARI KE-18 Maryam & Thâhâ
Sang Putri
HARI KE-19 Al-Anbiyâ’
Testamen
HARI KE-20 Al-Hajj
Langkah ke rumah-Mu
HARI KE-21 Al-Mu’minûn
Buruh GentengJatiwangi
HARI KE-22 An-Nûr
Ajal
HARI KE-23 Al-Furqân
Nasib
HARI KE-24 Asy-Syu‘arâ’
Misteri
HARI KE-25 An-Naml
Sujud Cinta
HARI KE-26 Al-Qashash
Sosok
HARI KE-27 Al-‘Ankabût
Pengkhianatan Angin
HARI KE-28 Ar-Rûm, Luqmân,As-Sajdah
Kematian
HARI KE-29 Al-Ahzâb & Sabâ’
Segenggam Debu
HARI KE-30 Fâthir & Yâsîn
Ramadhan
Kupilih Sepi 2005-2005
Ruang Hampa
Bersimpuh
Senja di Pekalongan
Irak
Antara Cinta dan Dusta
Rintih Istri Prajurit
Cemas
Kupilih Sepi|151Resah
Malas
Sajak Angin
Tangisan
Nuzul Al-Quran
Desember 72
Tik
Nurani
Mimpi Setetes Embun
Bayiku
Damai
Wajah Bangsaku
Fatwa
Gerimis
Wajah
Nafas Subuh
Qurban
Cahaya Bicara
Kupilih Sepi
Sunyi
Mawar Bartangkai Bangkai
Setia
Samudra Kesunyian
Wajah Tersembunyi
Gerimis
Kupu-kupu
Senja
Bidadari
Gelisah
Gairah
Dzikir
Kembali
Gundah
Kupilih Sepi|185Masa
Masa
Suara
Jalan Tuhan
Kemarau
Makna
Bias
Hilang
Debu
Gairah
Alur
Remang
Sebilah Batu
Akhir
Karma
Oh...
Doa
Isti‘adzah
Cipta Rasa
Topeng
Lorong
Harapan
Ukhuwah
Tragedi
Cermin
Wirid
Juragan
Pesantren
Fitri
Dialog
Rintihan
Pensiun
Air Mata
Batu
Gerobak
Cipanas
Closet
Korban Mapeka
Musi
Hamdalah
Khatimah
Catatan