Tampilkan di aplikasi

Buku Nuansa Cendekia hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

RINDU

1 Pembaca
Rp 37.000 15%
Rp 31.450

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 94.350 13%
Rp 27.257 /orang
Rp 81.770

5 Pembaca
Rp 157.250 20%
Rp 25.160 /orang
Rp 125.800

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Rindu, mungkin, sebuah keinginan, atau bahkan kebutuhan, pada sesuatu yang faktanya tidak ada di hadapan kita. Rindu adalah sesuatu yang terjadi hari ini, yang tentu saja, berada di antara masa lalu dan masa depan. Rindu adalah sebuah keyakinan. Rindu adalah DOA.

Rindu sendiri, sebagaimana akan ditemukan nanti, adalah salah satu judul sajak di dalam buku ini. Saya tidak mengistimewakannya sehingga ia dikutip menjadi judul cover. Tentu, ibarat seorang orangtua, seluruh sajak yang terdapat di dalam kumpulan ini adalah anak kandung saya yang memiliki hak sama, juga mendapat kasih yang sama.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Acep Iwan Saidi
Editor: Mathori A Elwa

Penerbit: Nuansa Cendekia
ISBN: 9786023502103
Terbit: September 2017 , 116 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Rindu, mungkin, sebuah keinginan, atau bahkan kebutuhan, pada sesuatu yang faktanya tidak ada di hadapan kita. Rindu adalah sesuatu yang terjadi hari ini, yang tentu saja, berada di antara masa lalu dan masa depan. Rindu adalah sebuah keyakinan. Rindu adalah DOA.

Rindu sendiri, sebagaimana akan ditemukan nanti, adalah salah satu judul sajak di dalam buku ini. Saya tidak mengistimewakannya sehingga ia dikutip menjadi judul cover. Tentu, ibarat seorang orangtua, seluruh sajak yang terdapat di dalam kumpulan ini adalah anak kandung saya yang memiliki hak sama, juga mendapat kasih yang sama.

Pendahuluan / Prolog

Sebelum Rindu
Sajak-sajak yang terkumpul dalam antologi ini bukan pilihan. Saya juga tidak mencoba mengategorikannya di dalam beberapa bagian atau tema tertentu. Ini adalah sajak yang terkoleksi begitu saja selama lebih kurang satu dasawarsa, yakni sejak 2007 sampai awal 2017. Jika kemudian saya memberinya judul antologi ini Rindu, itu semata-mata karena galibnya buku memang harus diberi judul. Barangkali ia hanya sebuah nama, agar memudahkan Anda untuk menyapa.

Rindu sendiri, sebagaimana akan ditemukan nanti, adalah salah satu judul sajak di dalam buku ini. Saya tidak mengistimewakannya sehingga ia dikutip menjadi judul cover.

Tentu, ibarat seorang orangtua, seluruh sajak yang terdapat di dalam kumpulan ini adalah anak kandung saya yang memiliki hak sama, juga mendapat kasih yang sama. Saya menyayangi semuanya, semua memiliki sejarah kelahirannya masingmasing. Momen-momen kelahiran sajak adalah waktu istimewa dalam hidup saya. Satu-dua sajak memang lahir melalui operasi sesar. Maksud saya, ia lahir karena permintaan atau peristiwa tertentu. Namun, dalam prosesnya ia tetap berjalan normal: mula-mula ia belajar berbicara, lalu berjalan, dan seterusnya pergi menentukan nasibnya sendiri.

Jika lantas Rindu dipilih menjadi judul, itu karena jika ia dikeluarkan dari posisinya sebagai judul sajak, isi dari seluruh sajak dalam antologi ini sepertinya memang tentang rindu. Rindu bagi saya adalah sebuah diksi yang menjelaskan tentang keinginan, atau bahkan kebutuhan, pada sesuatu yang faktanya tidak ada di hadapan kita. Rindu adalah sesuatu yang terjadi hari ini, yang tentu saja, berada di antara masa lalu dan masa depan. Bukankah terkadang kita ingin kembali ke sebuah suasana tertentu di masa lalu, atau ingin segera pergi ke masa depan. Tapi, bukankah kita juga tidak berdaya untuk keduanya.

Maka pada akhinya rindu menjadi semacam keyakinan akan datangnya apa yang diingini atau dibutuhkan itu. Rindu adalah doa. Saya tahu dan sadar bahwa pada titik tertentu, saya sudah tidak layak berdoa. Bagaimana mungkin saya boleh berdoa jika sudah terlalu banyak berdosa. Saya tidak bisa terus-menerus memasangkan doa dengan dosa atau sebaliknya, dosa dengan doa.

Pada spektrum linguistik sausurian, dua kata itu bisa jadi berada pada posisi sejajar, ia hanya dibedakan oleh bunyi: yang satu tanpa bunyi es, yang lain memakainya. Tapi, lihatlah, bukankah dua kata itu bergerak saling menjauh: yang satu ke tepi kanan, yang lain ke sisi kiri. Jika telah demikian, jika doa dan dosa telah sibuk dengan dirinya masing-masing, di manakah letak makna? Apakah ia masih ada di dalam bahasa? Saya hanya rindu. Sebagai sebuah bahasa, sajak-sajak saya dalam kumpulan ini mungkin saja tidak memiliki makna. Saya sendiri tidak terlalu khawatir dengan hal itu.

Bagi saya, yang terpenting adalah bagaimana saya bersusah payah untuk dengan sekuat tenaga—dapat melahirkannya. Dibutuhkan banyak pengorbanan untuk hal ini. Saya tahu. Dan saya harus melakukannya. Saya yakin hanya dengan cara ini saya boleh dan bisa mencapai rindu. Ini adalah sebuah zikir, yaitu pengakuan yang terus diulang. Dan dengan cara zikir, doa dapat dikembalikan pada eksistensinya sebagai pengusir dosa, yakni mengembalikan diri pada kesadaran sebagai yang tidak memiliki apa-apa, yang tidak berdaya apa-apa. Itulah proses menulis saya, upaya untuk terus-menerus berada di dalam rindu.

Apakah membacanya juga bisa dalam konteks demikian? Tentu saja saya tidak boleh memaksa Anda. Hanya, izinkan saya berharap, dalam rindu, yaitu dalam doa, kita dapat bertemu. Dan untuk rindu sedemikianlah saya akan terus berkarya. Demi Tuhan, doa akan terusir dan karena itu saya akan berdosa jika berhenti menulis. Salam.

Daftar Isi

Sampul
Sebelum Rindu
Daftar Isi
     Tak Seperti 14 Februari
     Stasiun Malioboro
     Di Kereta
     Catatan Muharam
     Cat Air Yang Tumpah Di Pojok Sejarah
     Kertas Senja
     Bara di Tanah Zamrud
     Magrib Lepas di Selasar
     Di Stasiun
     Episode Batu
     Taqwa
     Mungkin Tuhan Seperti Angin
     Penunggu Waktu
     Gaza (1)
     Gaza (2)
     Riwayat Rani
     Dari Balik Rimba yang Gugur
     Di Tepi Tebing Boko,  Memandang Prambanan
     Lagu Pagi
     Lagu Subuh
     Legenda
     Lagu Asmara
     Surat Cinta
     Meranggas
     Tangkuban Perahu
     Di Lentik Bulu Matamu
     Until The Last Moment
     Matinya Puisi (1)
     Matinya Puisi (2)
     Disebuah Ruang Tunggu
     Anak
     Asia Afrika, Memorabilia
     Membaca Koran Pagi
     Menyelami Malam, Mendalami
     Kotaku, Cintaku
     Diatas Puing-Puing Bahasa
     Aku, Waktu, dan Kamu
     Waktu (1)
     Kepada Sitor Situmorang
     Gaza (3)
     Gaza (4)
     Di Kantin Sekolah Menengah,  Menatap Anak-anak  Bermain di Halaman
     Gerimis
     Diantara Hujan dan Sunyi
     Hujan (1)
     Hujan (2)
     Rindu
     Barangkali Cinta Saja yang
     Maryam
     Ikan
     Mari Pulang ke Palung
     Surat Batu
     Di Gerbangmu
     Iqra
     Siapa Bisa Menyumpal Api
     Tubuhku Telah Menjadi Doa
     Laki-Laki Tua dan Tubuhnya
     Menulis Cinta Lagi
     Jangan Kirimi Aku Puisi
     Menulis Puisi Lagi
     Puisiku Memang telah Mati
     Untitled
     Waktu (2)
     Dongeng Sebelum Tidur
     Nyanyian Pucuk Kina
     Subuh
     Setelah Senja Usai
     Lebaran
     Sajak yang Menangis Pada
     Di belakangmu
Bonus
     Usia
Tentang penulis