Ikhtisar
Rindu, mungkin, sebuah keinginan, atau bahkan kebutuhan, pada sesuatu yang faktanya tidak ada di hadapan kita. Rindu adalah sesuatu yang terjadi hari ini, yang tentu saja, berada di antara masa lalu dan masa depan. Rindu adalah sebuah keyakinan. Rindu adalah DOA.
Rindu sendiri, sebagaimana akan ditemukan nanti, adalah salah satu judul sajak di dalam buku ini. Saya tidak mengistimewakannya sehingga ia dikutip menjadi judul cover. Tentu, ibarat seorang orangtua, seluruh sajak yang terdapat di dalam kumpulan ini adalah anak kandung saya yang memiliki hak sama, juga mendapat kasih yang sama.
Pendahuluan / Prolog
Sebelum Rindu
Sajak-sajak yang terkumpul dalam antologi ini bukan pilihan. Saya juga tidak mencoba mengategorikannya di dalam beberapa bagian atau tema tertentu. Ini adalah sajak yang terkoleksi begitu saja selama lebih kurang satu dasawarsa, yakni sejak 2007 sampai awal 2017. Jika kemudian saya memberinya judul antologi ini Rindu, itu semata-mata karena galibnya buku memang harus diberi judul. Barangkali ia hanya sebuah nama, agar memudahkan Anda untuk menyapa.
Rindu sendiri, sebagaimana akan ditemukan nanti, adalah salah satu judul sajak di dalam buku ini. Saya tidak mengistimewakannya sehingga ia dikutip menjadi judul cover.
Tentu, ibarat seorang orangtua, seluruh sajak yang terdapat di dalam kumpulan ini adalah anak kandung saya yang memiliki hak sama, juga mendapat kasih yang sama. Saya menyayangi semuanya, semua memiliki sejarah kelahirannya masingmasing. Momen-momen kelahiran sajak adalah waktu istimewa dalam hidup saya. Satu-dua sajak memang lahir melalui operasi sesar. Maksud saya, ia lahir karena permintaan atau peristiwa tertentu. Namun, dalam prosesnya ia tetap berjalan normal: mula-mula ia belajar berbicara, lalu berjalan, dan seterusnya pergi menentukan nasibnya sendiri.
Jika lantas Rindu dipilih menjadi judul, itu karena jika ia dikeluarkan dari posisinya sebagai judul sajak, isi dari seluruh sajak dalam antologi ini sepertinya memang tentang rindu. Rindu bagi saya adalah sebuah diksi yang menjelaskan tentang keinginan, atau bahkan kebutuhan, pada sesuatu yang faktanya tidak ada di hadapan kita. Rindu adalah sesuatu yang terjadi hari ini, yang tentu saja, berada di antara masa lalu dan masa depan. Bukankah terkadang kita ingin kembali ke sebuah suasana tertentu di masa lalu, atau ingin segera pergi ke masa depan. Tapi, bukankah kita juga tidak berdaya untuk keduanya.
Maka pada akhinya rindu menjadi semacam keyakinan akan datangnya apa yang diingini atau dibutuhkan itu. Rindu adalah doa. Saya tahu dan sadar bahwa pada titik tertentu, saya sudah tidak layak berdoa. Bagaimana mungkin saya boleh berdoa jika sudah terlalu banyak berdosa. Saya tidak bisa terus-menerus memasangkan doa dengan dosa atau sebaliknya, dosa dengan doa.
Pada spektrum linguistik sausurian, dua kata itu bisa jadi berada pada posisi sejajar, ia hanya dibedakan oleh bunyi: yang satu tanpa bunyi es, yang lain memakainya. Tapi, lihatlah, bukankah dua kata itu bergerak saling menjauh: yang satu ke tepi kanan, yang lain ke sisi kiri. Jika telah demikian, jika doa dan dosa telah sibuk dengan dirinya masing-masing, di manakah letak makna? Apakah ia masih ada di dalam bahasa? Saya hanya rindu. Sebagai sebuah bahasa, sajak-sajak saya dalam kumpulan ini mungkin saja tidak memiliki makna. Saya sendiri tidak terlalu khawatir dengan hal itu.
Bagi saya, yang terpenting adalah bagaimana saya bersusah payah untuk dengan sekuat tenaga—dapat melahirkannya. Dibutuhkan banyak pengorbanan untuk hal ini. Saya tahu. Dan saya harus melakukannya. Saya yakin hanya dengan cara ini saya boleh dan bisa mencapai rindu. Ini adalah sebuah zikir, yaitu pengakuan yang terus diulang. Dan dengan cara zikir, doa dapat dikembalikan pada eksistensinya sebagai pengusir dosa, yakni mengembalikan diri pada kesadaran sebagai yang tidak memiliki apa-apa, yang tidak berdaya apa-apa. Itulah proses menulis saya, upaya untuk terus-menerus berada di dalam rindu.
Apakah membacanya juga bisa dalam konteks demikian? Tentu saja saya tidak boleh memaksa Anda. Hanya, izinkan saya berharap, dalam rindu, yaitu dalam doa, kita dapat bertemu. Dan untuk rindu sedemikianlah saya akan terus berkarya. Demi Tuhan, doa akan terusir dan karena itu saya akan berdosa jika berhenti menulis. Salam.
Daftar Isi
Sampul
Sebelum Rindu
Daftar Isi
Tak Seperti 14 Februari
Stasiun Malioboro
Di Kereta
Catatan Muharam
Cat Air Yang Tumpah Di Pojok Sejarah
Kertas Senja
Bara di Tanah Zamrud
Magrib Lepas di Selasar
Di Stasiun
Episode Batu
Taqwa
Mungkin Tuhan Seperti Angin
Penunggu Waktu
Gaza (1)
Gaza (2)
Riwayat Rani
Dari Balik Rimba yang Gugur
Di Tepi Tebing Boko, Memandang Prambanan
Lagu Pagi
Lagu Subuh
Legenda
Lagu Asmara
Surat Cinta
Meranggas
Tangkuban Perahu
Di Lentik Bulu Matamu
Until The Last Moment
Matinya Puisi (1)
Matinya Puisi (2)
Disebuah Ruang Tunggu
Anak
Asia Afrika, Memorabilia
Membaca Koran Pagi
Menyelami Malam, Mendalami
Kotaku, Cintaku
Diatas Puing-Puing Bahasa
Aku, Waktu, dan Kamu
Waktu (1)
Kepada Sitor Situmorang
Gaza (3)
Gaza (4)
Di Kantin Sekolah Menengah, Menatap Anak-anak Bermain di Halaman
Gerimis
Diantara Hujan dan Sunyi
Hujan (1)
Hujan (2)
Rindu
Barangkali Cinta Saja yang
Maryam
Ikan
Mari Pulang ke Palung
Surat Batu
Di Gerbangmu
Iqra
Siapa Bisa Menyumpal Api
Tubuhku Telah Menjadi Doa
Laki-Laki Tua dan Tubuhnya
Menulis Cinta Lagi
Jangan Kirimi Aku Puisi
Menulis Puisi Lagi
Puisiku Memang telah Mati
Untitled
Waktu (2)
Dongeng Sebelum Tidur
Nyanyian Pucuk Kina
Subuh
Setelah Senja Usai
Lebaran
Sajak yang Menangis Pada
Di belakangmu
Bonus
Usia
Tentang penulis