Ikhtisar
Menulis puisi tentu tidak mudah. Lebih sulit lagi istikamah bersikap “menjadi” dalam rumah puisi. Soni Farid Maulana melalui buku ini mengurai proses kreatif modus eksistensial “menjadi” itu. Catatannya tidak hanya mengulas riwayat dirinya yang dengan ikhlas telah mewakafkan hidupnya untuk “merawat dan meruwat” kata, namun juga dengan cermat membahas puisi dan kiprah penyair lain lewat pembacaan interaksi simbolik dalam sebuah atmosfer: haluan ritus kultural. 1976-2009 dengan 400 lebih meneguhkan bagaimana Soni Farid Maulana menjadikan puisi sebagai napasnya. Puisi yang ditulisnya tidak rumit namun pembaca menemukan kedalaman, tidak gelap sehingga kita meraih terang, metafora yang dipungutnya sederhana tapi menyisakan banyak jejak penafsiran. Imajinasinya bukan keluar dari ruang hampa kebudayaan, tapi kesaksian atas limbah sejarah yang telah disublimkan. Justru itulah sejatinya khittah puisi.”
Pendahuluan / Prolog
Model Kritik Puisi Apresiatif
Setiap pembaca karya sastra, pada dasarnya, dapat bertin dak sebagai “kritikus” jika ia menuliskan tanggap hadapnya. Jika tanggapan itu sekadar sebuah komentar an ter- - umum atau apresiasi, tanpa perlu memikirkan landasan teori, ia dapat dikatakan sebagai kritik sastra umum. Dalam kritik sastra jenis ini, kerangka teoretis dan metodologi ilmiah, sangat mungkin tidak lagi dipentingkan. Artinya, pemahaman tentang teori sastra dan kriteria yang diberlakukan dalam kritik ilmiah terpaksa ditanggalkan. Kalaupun digunakan, segala pengetahuan teoretis itu dilesapkan ke dalam deskripsi, analisis, atau penafsiran yang lalu menjelma menjadi uraian kualitatif yang (mungkin) berisi pembenaran atas tanggapannya, atau sekadar memberi apresiasi. Segalanya lalu menjadi bersifat umum ketika uraian kualitatif itu disajikan dalam bahasa sederhana, mengalir-cair, dan asyik.
Esai-esai H.B. Jassin yang kemudian dibukukan dalam Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esei, termasuk jenis kritik ini. Jassin memahami teori sastra dan metodologi ilmiah. Namun, ia terpaksa menyederhanakan pemahamannya mengenai itu, lantaran ia menulis untuk media massa yang dibaca masyarakat luas dengan tingkat apresiasi sastra yang sangat beragam. Dengan cara itu, penekanannya terletak pada usahanya memberi apresiasi atas karya sastra tersebut.
Ia mengenalkan karya dan pengarangnya, menempatkan pengarangnya dalam kotak perjalanan sejarahnya, menjelaskan teksnya, dan memberi panduan cara pemahamannya. Pembaca umum terangsang untuk membaca karyanya, mencoba memahami isinya, kekayaan atau kedalamannya, dan akhirnya memberikan apresiasinya. Bagi pengarangnya, kritik sastra yang dilakukan Jassin, tentu saja tidak sekadar memberi rangsangan untuk menulis karya yang lebih baik, tetapi juga memberi masukan, bagaimana seyogianya struktur formal itu dibangun, disusun penyiasatannya, dan disembunyikan amanatnya.
Apresiasi sastra yang ditulis Sapardi Djoko Damono dalam kata pengantar sejumlah buku puisi beberapa sastrawan kita; esai-esai Saini KM yang kerap dimuat surat kabar Pikiran Rakyat beberapa waktu yang lalu; ulasan sekilas pintas tentang puisi atau cerpen atau ragam sastra lain; bahkan juga resensi tentang buku sastra, pada hakikatnya merupakan jenis kritik sastra apresiatif.
Esai-esai yang dimuat di berbagai media massa itu cenderung memberi penekanan pada apresiasi, penghargaan atas nilai yang terkandung dalam karya, dan nilai itu diungkapkannya dengan bahasa sederhana lantaran sasaran pembacanya masyarakat luas.
Di sana kita diberi sajian sebuah uraian ringkas, sederhana, dan cair tentang nilai karya sastra. Hal yang sama terjadi pula pada esai dan sejumlah makalah yang ditulis Acep Zamzam Noor. Secara kreatif, bahkan terkesan seenaknya, dia bisa melontarkan konsepsinya sendiri tentang puisi, tentang proses kreatif atau tentang dunia sastra sebagai bidang seni. Esai-esai Sutardji Calzoum Bachri, sebagaimana termuat dalam buku Isyarat (2008), juga merupakan contoh model kritik apresiatif yang bersifat umum itu.
Dalam konteks itu, kritikus sesungguhnya juga mengajak pembaca untuk memberi apresiasi, membuka semacam ruang dialog, dan menawarkan sudut pandang lain yang mungkin dapat dilakukan pembaca. Dalam hal ini, pembaca boleh setuju, boleh juga tidak, sebab duduk perkaranya bukanlah terletak di sana. Meskipun begitu, dalam esai-esai itu, kita tidak menemukan kerangka teori yang njlimet; tak ada pula uraian tentang pendekatan, dasar kriteria atau metode yang digunakan. Segalanya mengalir atas dasar kesan yang ditangkap dan makna yang dijumpai berdasarkan pengalaman membaca karya bersangkutan atau karya lain yang sejenis. Itulah kritik sastra umum yang benar, yang apresiatif. Semangatnya adalah berbagi informasi agar kehidupan sastra menjadi lebih semarak, sehat dan menyehatkan!
Daftar Isi
Sampul
Model Kritik Puisi Apresiatif
Daftar Isi
Sonet dalam Perkembangan dan Pertumbuhan Sajak Indonesia Modern
Membaca Amir Hamzah dan Chairil Anwar Satu Sisi
Lewat Priangan si Jelita Menatap Tatar SundaHari Ini
Rendra, “Puisi Lahir dari Pengalaman yang Dihayati”
Saini KM dan Mawar Merah
Remy Sylado dan “Gerakan Puisi Mbeling”
Menafsir Jeihan
Mengenang Wing Kardjo
Arifin C. Noer, Teater, Film, Puisi
Membaca Acep Zamzam Noor
Puisi dan Hati Perempuan
Warna Lokal Bali dalam Puisi Oka Rusmini
Perempuan Penyair dalam Puisi Indonesia Kini
Apresiasi Puisi Sebagai Bahan Ajar
Sekitar Proses Kreatif
Puisi, Dorongan Hati, Realitas Maya
Kerja Majas dalam Puisi dan Iklan
Pengalaman Sebagai SumberP enulisan Puisi
Mengolah Pengalaman: Sebuah Proses dalam Menulis Puisi
Daftar Pustaka
Indeks
Glosarium
Tentang Penulis