Ikhtisar
Mengendarai sepeda motor, saya berangkat menuju sebuah kampung yang terletak tak jauh dari Batu Merah di Kota Ambon. Kepergian saya ke sana membawa maksud untuk menemui Pak Edi Kuncoro dan berbincang tentang pengalamannya berjuang melawan Belanda di kurun tahun 1945-1949. Pak Edi sebetulnya bukan asli Maluku, melainkan berasal dari Solo di pulau Jawa. Apakah sesungguhnya yang mendorong Pak Edi untuk turut berjuang?
Sederhana, akunya. Selepas Jepang kalah, kami kembali merdeka untuk mengurusi hidup kami sendiri. Namun, tetiba kami dengar bahwa Belanda membonceng Inggris dan hendak mempersenjatai orang-orang mereka yang masih ditahan di kamp Jepang di Ambarawa. Tentu saja kami dan segenap penduduk Indonesia tak bisa tinggal diam. Syahdan, berjuanglah Pak Edi untuk turut membela kemerdekaan.
Pak Edi kini tinggal di Ambon, tempat beliau sejak dulu ditugaskan untuk memerangi orang-orang Maluku yang tergabung di KNIL yang berhasrat untuk mendirikan negara sendiri yang mereka sebut Republik Maluku Selatan (RMS). Karena pemberontakan mereka tak kunjung berhasil dan malah menimbulkan banyak masalah, di tahun 1951 orangorang Maluku itu akhirnya dipindahkan oleh pemerintah Belanda ke negeri Belanda yang suhunya membekukan.
Menurut rencana awal, mereka akan tinggal di Belanda selama enam bulan saja sebelum dijanjikan pulang ke Republik Maluku Selatan. Namun, 70 tahun berselang, angan-angan itu tak kunjung mewujud. Apakah yang melandasi orang-orang Maluku itu sehingga mau bergabung dengan KNIL? Adakah kaitannya dengan tradisi panjang mereka sebagai serdadu elit untuk KNIL sejak akhir abad kesembilan belas?
Pendahuluan / Prolog
Pendahuluan
Kini, pertentangan batin dalam menyikapi warisan kolonial di masa lampau semakin mengemuka. Lekat dengan kemuraman, ingatan akan pengalaman tak baik di masa lalu terus muncul. Ini semakin terlihat jelas ketika peristiwa-peristiwa dari tahun antara 1945 dan 1949 di Indonesia kembali diperbincangkan, baik dalam lingkup pribadi atau di ranah publik.
Bagaimana perbincangan tersebut dilakukan pun menggambarkan betapa banyak cara dalam menghadapi masa lalu. Ihwal angka-angka pun menjadi sering disebut dalam perbincangan-perbincangan tentang masa lalu itu. Bergantung pada siapa yang terlibat, penekanannya bisa pada jumlah sukarelawan perang, wajib militer, atau korban jiwa. Benar adanya bahwa angka, ketika dibandingkan satu sama lain, bisa menguak ketidaksetaraan struktural.
Namun angka juga tak selamanya bisa diandalkan mengingat angka kerap disusun berdasarkan asumsi terbatas dan sudut pandang yang seringkali pirau meskipun kerap mengaku objektif. Angka seringkali mengaburkan cerita-cerita dan Daarpengalaman- pengalaman yang lebih kompleks daripada yang ditunjukkan oleh angka. Oleh sebab itu, yang kami takar adalah pengalaman dari kelompok yang beragam yang kerap jatuh pada kategori yang sama.
Dalam program penelitian induk Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan dan perang di Indonesia, 1945- 1950, subprogram Saksi & Rekan Sezaman memiliki keistimewaannya tersendiri mengingat salah satu fungsi utamanya adalah untuk menghimpun kisah-kisah dari para saksi dan pelaku sejarah, sekaligus membuatnya mudah diakses oleh peneliti dan masyarakat luas. Subprogram ini semula dirancang seperti sebuah ‘loket’ tempat orang mengumpulkan atau berbagi pengalaman dan cerita.
Tapi, kami tak hanya menunggu, melainkan secara proaktif menjemputnya melalui berbagai kegiatan seperti rapat-rapat umum, reuni, ceramah terbuka, dan diskusi, serta wawancara dengan mereka yang pernah menjalani hidup di tahun-tahun tersebut. Lewat semua kegiatan itu, kepada mereka, kami sering bertanya ihwal bagaimana peristiwa sejarah di tahun 1945-1950 memengaruhi hidup mereka kini.
Seiring dengan semakin banyaknya cerita yang terhimpun, kami mereka ulang struktur penelitian kami dengan mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka dari pelbagai pertemuan yang pernah kami ikuti, dan dari orang-orang yang secara langsung pernah menjalani periode yang dimaksud atau sanak saudara mereka.
Kami terilhami oleh banyaknya sudut pandang dan sadar dengan celah yang masih menganga, yang kemudian kami bahas kembali. Metode kerja ini membuat penelitian ini lebih dari sekadar loket tempat menghimpun cerita, melainkan secara bertahap mewujud menjadi sebuah pencarian.
Penulis
Eveline Buchheim - Eveline Buchheim adalah sarjana sastra Belanda dan antropologi. Kini ia bekerja sebagai peneliti di NIOD. Minat penelitiannya adalah persinggungan bahasa dengan interaksi antar manusia, terutama pada masa perang di Eropa dan Asia.
Daftar Isi
Cover
Daftar Isi
Prolog
Pendahuluan
Posisi dan Loyalitas
Para penentang perang dan ilusi historis kolektif ihwal kerangka moral
‘Kini kita berada di medan tempur dan kuperintahkan kau untuk “tembak”!’
Para prajurit perempuan Belanda
Ibu Djoewariyah
Perempuan Belanda bukan tentara
Pabrik kertas: kepentingan ekonomi dan perlindungan tentara serta pembantaian
Memori ‘seismograf’ Tarsu’ah
'Aku sang sukarelawan dan penjahat perang'
Tanah (tak) suci semasa pendudukan
Pilihan untuk sebuah tempat tinggal
Garis demarkasi di Bandung
Hanya butuh satu nama: Cerita tentang kakek saya
Pendidikan yang menerabas sekat
Bahasa
Berjuang demi ketertiban dan ketenteraman
Kegaduhan gegara De Groene Amsterdammer
Tempat seorang ‘baboe’ dalam kehidupan serdadu Belanda diIndonesia
Kala ingatan menamai zaman
Orang-orang di antara narasi
Menjelajahi perang lewat gambar
‘Bersiap’ di Indonesia, ‘Merdekka’ di Nederland
Bambu runcing
Gambar-gambar bambu runcing
Lili Marleen, Pujaan jiwadi medan laga
Mengingat dan melupakan
Refleksi Indonesia di Belanda bagian satu: Kolonialisme Belanda
Refleksi Indonesia di Belanda bagian dua: Belanda dan dekolonisasi
Mencari suara-suara dari Maluku
Surat dari masa lalu
Menelusuri masa lalu
Ayah, kakek, dan kisah mereka
17 Agustus -27 Desember
‘Anjing’ diatas Indisch Monument
Sejarawan muda Indonesia dan perannya dalam mengenali monumen lokal
Ratapan Ibu menunjuk padaku
Meneroka monumen di selatan Payakumbuh
Siapa gerangan pemilik monumen dan narasi yang dikandungnya
Memperingati tujuh puluh tahun Serangan Umum Yogyakarta, 1 Maret 1949-2019
Monumen 1945-1949 di Belanda
Epilog
Ucapan Terima Kasih
Catatan
Tentang Penulis