Tampilkan di aplikasi

Buku Risalah Nur Press hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Risalah Kebangkitan

Penalaran terhadap Realitas Akhirat

1 Pembaca
Rp 31.250 35%
Rp 20.313

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 60.939 13%
Rp 17.605 /orang
Rp 52.814

5 Pembaca
Rp 101.565 20%
Rp 16.250 /orang
Rp 81.252

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Buku yang ada di tangan anda ini adalah salah satu bagian dari 'Koleksi Risalah Nur' yang secara khusus membahas tentang kebangkitan makhluk di hari kemudian.

kebangkitan merupakan persoalan yang cukup sulit dicerna akal sehingga para filsuf jenius, semisal Ibnu Sina, mengatakan, "Masalah kebangkitan tidak dapat menggunakan standar rasional." Artinya, ia cukup diyakini dalam hati. Ia tidak bisa ditelusuri dengan akal. Para ulama juga sepakat bahwa persoalan kebangkitan bersifat naqliyah.

Yakni, dalil-dalilnya berdasarkan nash agama. Ia tidak bisa dicapai dengan akal. Namun dengan limpahan karunia al-Qur'an dan dengan rahmat Allah Yang Maha Penyayang, Said Nursi mampu menguraikan persoalan kebangkitan tersebut dengan penjelasan yang mudah dicerna akal. Hal itu disajikan delam bentuk perumpamaan dan cerita imajiner yang sangat membantu akal kita untuk lebih mudah memahami.

Dengan menyelami halaman demi halaman dalam buku ini, pembaca akan lebih memahami sejauh mana rasionalitas kebangkitan makhluk di hari kemudian, serta akan meyakini keberadaan alam akhirat sebagaimana meyakini keberadaan dunia ini.

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Badiuzzaman Said Nursi

Penerbit: Risalah Nur Press
ISBN: 9786027028494
Terbit: November 2015 , 180 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Buku yang ada di tangan anda ini adalah salah satu bagian dari 'Koleksi Risalah Nur' yang secara khusus membahas tentang kebangkitan makhluk di hari kemudian.

kebangkitan merupakan persoalan yang cukup sulit dicerna akal sehingga para filsuf jenius, semisal Ibnu Sina, mengatakan, "Masalah kebangkitan tidak dapat menggunakan standar rasional." Artinya, ia cukup diyakini dalam hati. Ia tidak bisa ditelusuri dengan akal. Para ulama juga sepakat bahwa persoalan kebangkitan bersifat naqliyah.

Yakni, dalil-dalilnya berdasarkan nash agama. Ia tidak bisa dicapai dengan akal. Namun dengan limpahan karunia al-Qur'an dan dengan rahmat Allah Yang Maha Penyayang, Said Nursi mampu menguraikan persoalan kebangkitan tersebut dengan penjelasan yang mudah dicerna akal. Hal itu disajikan delam bentuk perumpamaan dan cerita imajiner yang sangat membantu akal kita untuk lebih mudah memahami.

Dengan menyelami halaman demi halaman dalam buku ini, pembaca akan lebih memahami sejauh mana rasionalitas kebangkitan makhluk di hari kemudian, serta akan meyakini keberadaan alam akhirat sebagaimana meyakini keberadaan dunia ini.

Pendahuluan / Prolog

Risalah Kebangkitan
Buku yang berjudul “RISALAH KEBANGKITAN” ini adalah hasil terjemahan dari karya seorang Ulama Turki, Said Nursi, yang berjudul Risâlah al-Hasyr. Edisi asli buku ini, yang berbahasa Turki, bersama buku-buku beliau yang lain, telah diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam 50 bahasa.

Harapan kami, semoga dengan hadirnya buku-buku terjemahan karya beliau dapat memperkaya khazanah keilmuan dan memperluas wawasan keislaman umat Islam di tanah air.

Said Nursi lahir pada tahun 1293 H (1877 M) di desa Nurs, daerah Bitlis, Anatolia timur. Mula-mula ia berguru kepada kakaknya, Abdullah. Kemudian ia berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lain, dari satu kota ke kota lain, menimba ilmu dari sejumlah guru dan madrasah dengan penuh ketekunan.

Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Buku yang berjudul “RISALAH KEBANGKITAN” ini adalah hasil terjemahan dari karya seorang Ulama Turki, Said Nursi, yang berjudul Risâlah al-Hasyr. Edisi asli buku ini, yang berbahasa Turki, bersama buku-buku beliau yang lain, telah diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam 50 bahasa.

Harapan kami, semoga dengan hadirnya buku-buku terjemahan karya beliau dapat memperkaya khazanah keilmuan dan memperluas wawasan keislaman umat Islam di tanah air.

Said Nursi lahir pada tahun 1293 H (1877 M) di desa Nurs, daerah Bitlis, Anatolia timur. Mula-mula ia berguru kepada kakaknya, Abdullah. Kemudian ia berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lain, dari satu kota ke kota lain, menimba ilmu dari sejumlah guru dan madrasah dengan penuh ketekunan. masa-masa inilah ia mempelajari tafsir, hadis, nahwu, ilmu kalam, fikih, mantiq, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Dengan kecerdasannya yang luar biasa, sebagaimana diakui oleh semua gurunya, ditambah dengan kekuatan ingatannya yang sangat tajam, ia mampu menghafal hampir 90 judul buku referensial. Bahkan ia mampu menghafal buku Jam‘ul Jawâmi’—di bidang usul fikih—hanya dalam tempo satu minggu. Ia sengaja menghafal di luar kepala semua ilmu pengetahuan yang dibacanya.

Dengan bekal ilmu yang telah dipelajarinya, kini Said Nursi memulai fase baru dalam kehidupannya. Beberapa forum munâzharah (adu argumentasi dan perdebatan) telah dibuka dan ia tampil sebagai pemenang mengalahkan banyak pembesar dan ulama di daerahnya.

Pada tahun 1894, ia pergi ke kota Van. Di sana ia sibuk menelaah buku-buku tentang matematika, falak, kimia, fisika, geologi, filsafat, dan sejarah. Ia benar-benar mendalami semua ilmu tersebut hingga bisa menulis tentang subjek-subjek tersebut. Karena itulah, ia kemudian dijuluki “Badiuzzaman” (Keajaiban Zaman), sebagai bentuk pengakuan para ulama dan ilmuwan terhadap kecerdasannya, pengetahuannya yang melimpah, dan wawasannya yang luas.

Pada saat itu, di sejumlah harian lokal, tersebar berita bahwa Menteri Pendudukan Inggris, Gladstone, dalam Majelis Parlemen Inggris, mengatakan di hadapan para wakil rakyat, “Selama Al-Qur’an berada di tangan kaum muslimin, kita tidak akan bisa menguasai mereka. Karena itu, kita harus melenyapkannya atau memutuskan hubungan kaum muslimin dengannya.” Berita ini sangat mengguncang diri Said Nursi dan membuatnya tidak bisa tidur. Ia berkata kepada orang-orang di sekitarnya, “Saya akan membuktikan kepada dunia bahwa Al- Qur’an merupakan mentari hakikat, yang cahayanya tak akan padam dan sinarnya tak mungkin bisa dilenyapkan.” Pada tahun 1908, ia pergi ke Istanbul. Ia mengajukan sebuah proyek kepada Sultan Abdul Hamid II untuk membangun Universitas Islam di Anatolia timur dengan nama “Madrasah az-Zahra” guna melaksanakan misi penyebaran hakikat Islam.

Pada universitas tersebut studi keagamaan dipadukan dengan ilmu sains, sebagaimana ucapannya yang terkenal, “Cahaya kalbu adalah ilmu-ilmu agama, sementara sinar akal adalah ilmu sains. Dengan perpaduan antara keduanya, hakikat akan tersingkap. Adapun jika keduanya dipisahkan, maka fanatisme akan lahir pada ilmu agama, dan skeptisisme akan muncul pada ilmu sains.”1)2) Pada tahun 1911, ia pergi ke negeri Syam dan menyampaikan pidato yang sangat berkesan di atas mimbar Masjid Jami Umawi. Dalam pidato tersebut, ia mengajak kaum muslimin untuk bangkit. Ia menjelaskan sejumlah penyakit umat Islam berikut cara mengatasinya.

Setelah itu, ia kembali ke Istanbul dan menawarkan proyeknya terkait dengan Universitas Islam kepada Sultan Rasyad. Sultan ternyata menyambut baik proyek tersebut. Anggaran segera dikucurkan dan peletakan batu pertama dilakukan di tepi Danau Van. Namun, Perang Dunia Pertama membuat proyek ini terhenti. Said Nursi tidak setuju dengan keterlibatan Turki Utsmani dalam perang tersebut. Namun ketika negara mengumumkan perang, ia bersama para muridnya tetap ikut dalam perang melawan Rusia yang menyerang lewat Qafqas. Ketika pasukan Rusia memasuki kota Bitlis, Badiuzzaman bersama dengan para muridnya mati-matian mempertahankan kota tersebut hingga akhirnya terluka parah dan tertawan oleh Rusia. Ia pun dibawa ke penjara tawanan di Siberia.

Dalam penawanannya, ia terus memberikan pelajaranpelajaran keimanan kepada para panglima yang tinggal bersamanya, yang jumlahnya mencapai 90 orang. Lalu dengan cara yang sangat aneh dan dengan pertolongan Tuhan, ia berhasil melarikan diri. Ia pun berjalan menuju Warsawa, Jerman, dan Wina. Ketika sampai di Istanbul, ia dianugerahi medali perang dan mendapatkan sambutan luar biasa dari khalifah, syeikhul Islam, pemimpin umum, dan para pelajar ilmu agama.

Said Nursi kemudian diangkat menjadi anggota Darul Hikmah al-Islamiyyah oleh pimpinan militer di mana lembaga tersebut hanya diperuntukkan bagi para tokoh ulama. Di lembaga inilah sebagian besar bukunya yang berhasa Arab diterbitkan. Di antaranya adalah tafsirnya yang berjudul Isyârât al-I’jaz fî Mazhân al-Îjâz, yang ia ditulis di tengah berkecamuknya perang, dan buku al-Matsnawi al-Arabî an- Nûrî.

Pada tahun 1923, Badiuzzaman pergi ke kota Van dan di sana ia beruzlah di Gunung Erek yang dekat dari kota selama dua tahun. Ia melakukan hal tersebut dalam rangka melakukan ibadah dan kontemplasi. Setelah Perang Dunia Pertama berakhir, kekhalifahan Turki Utsmani runtuh dan digantikan dengan Republik Turki.

Pemerintah yang baru ini tidak menyukai semua hal yang berbau Islam dan membuat kebijakan-kebijakan yang anti- Islam. Akibatnya, terjadi berbagai pemberontakan dan negara yang baru berdiri ini menjadi tidak stabil. Namun, semuanya dapat dibungkam oleh rezim yang sedang berkuasa.

Meskipun tidak terlibat dalam pemberontakan, Badiuzzaman ikut merasakan dampaknya. Ia pun dibuang dan diasingkan bersama banyak orang ke Anatolia Barat pada musim dingin 1926. Kemudian ia dibuang lagi seorang diri ke Barla, sebuah daerah terpencil. Para penguasa yang memusuhi agama itu mengira bahwa di daerah terpencil itu riwayat Said Nursi akan berakhir, popularitasnya akan redup, namanya akan dilupakan orang, dan sumber energi dakwahnya akan mengering. Namun, sejarah membuktikan sebaliknya.

Di daerah terpencil itulah Said Nursi menulis sebagian besar Risalah Nur, kumpulan karya tulisnya. Lalu berbagai risalah itu disalin dengan tulisan tangan dan menyebar ke seluruh penjuru Turki.

Jadi, ketika Said Nursi dibawa dari satu tempat pembuangan ke tempat pembuangan yang lain, lalu dimasukkan ke penjara dan tahanan di berbagai wilayah Turki selama seperempat abad, Allah menghadirkan orang-orang yang menyalin berbagai risalah itu dan menyebarkannya kepada semua orang.

Risalah-risalah itu kemudian menyorotkan cahaya iman dan membangkitkan spirit keislaman yang telah mati di kalangan umat Islam Turki saat itu. Risalah-risalah itu dibangun di atas pilar-pilar yang logis, ilmiah, dan retoris yang bisa dipahami oleh kalangan awam dan menjadi bekal bagi kalangan khawas.

Demikianlah, Ustad Nursi terus menulis berbagai risalah sampai tahun 1950 dan jumlahnya mencapai lebih dari 130 risalah. Semua risalah itu dikumpulkan dengan judul Kuliyyât Rasâ’il an-Nûr (Koleksi Risalah Nur), yang berisi empat seri utama, yaitu al-Kalimât, al-Maktûbât, al-Lama‘ât, dan al-Syu‘â‘ât. Ustadz Nursi sendiri yang langsung mengawasi sehingga semuanya selesai tercetak.

Ustad Nursi wafat pada tanggal 25 Ramadhan 1379 H, bertepatan pada tanggal 23 Maret 1960 M, di kota Urfa. Karyakarya beliau dibaca dan dikaji secara luas di Turki dan di berbagai belahan dunia lainnya.

Buku yang ada di tangan Anda ini adalah salah satu bagian dari ‘Koleksi Risalah Nur’ yang secara khusus membahas tentang kebangkitan makhluk di hari kemudian.

Kebangkitan merupakan persoalan yang cukup sulit dicerna akal sehingga para filsuf jenius, semisal Ibnu Sina, mengatakan, “Masalah kebangkitan tidak dapat menggunakan standar rasional.” Artinya, ia cukup diyakini dalam hati. Ia tidak bisa ditelusuri dengan akal. Para ulama juga sepakat bahwa persoalan kebangkitan bersifat naqliyyah. Yakni, dalil-dalilnya berdasarkan nash agama. Ia tidak bisa dicapai dengan akal.

Namun dengan limpahan karunia al-Qur’an dan dengan rahmat Tuhan Yang Maha Penyayang, Said Nursi mampu menguraikan persoalan kebangkitan tersebut dengan penjelasan yang mudah dicerna akal. Hal itu disajikan dalam bentuk perumpamaan dan cerita imajiner yang sangat membantu akal kita untuk lebih mudah memahami.

Dengan menyelami halaman demi halaman dalam buku ini, pembaca akan lebih memahami sejauh mana rasionalitas kebangkitan makhluk di hari kemudian, serta akan menyakini keberadaan alam akhirat sebagaimana meyakini keberadaan dunia ini.

Selamat membaca!


Risalah Nur Press

Penulis

Badiuzzaman Said Nursi - Ulama Turki yang hidup di masa akhir Turki Utsmani dan di awal republik Turki, Beliau adalah ulama yang berjuang untuk menguatkan iman dan akidah umat Islam di Turki. lewat karya beliau umat Islam seakan menemukan cahaya dalam kegelapan.

Daftar Isi

Cover
Kata Pengantar
Daftar Isi
Kalimat Kesepuluh
     Gambaran Pertama
     Gambaran Kedua
     Gambaran Ketiga
     Gambaran Keempat
     Gambaran Kelima
     Gambaran Keenam
     Gambaran Ketujuh
     Gambaran Kedelapan
     Gambaran Kesembilan
     Gambaran Kesepuluh
     Gambaran Kesebelas
     Gambaran Kedua Belas
Penjelasan tentang Bukti Keberadaan Hari Kebangkitan dalam Dua Belas Hakikat yang Tercurah dari Manifestasi Asmaul Husna
     Hakikat Pertama: Pintu Rububiyah dan Kekuasaan sebagai Manifestasi dari Nama “ar-Rabb”.
     Hakikat Kedua: Pintu Kemurahan dan Rahmat sebagai Manifestasi dari Nama “al-Karîm” dan “ar-Rahîm”.
     Hakikat Ketiga: Pintu Hikmah dan Keadilan sebagai Manifestasi dari Nama “al- Hakîm” dan “al-Âdil”
     Hakikat Keempat: Pintu Kedermawanan dan Keindahan sebagai Manifestasi dari Nama “al-Jawâd” dan“al-Jamîl”.
     Hakikat Kelima: Pintu Kasih Sayang dan Ubudiyah Muhammad sebagai Manifestasi dari Nama “al-Mujîb” dan “ar-Rahîm”.
     Hakikat Keenam: Pintu Keagungan dan Keabadian sebagai Manifestasi dari Nama “al-Jalîl” dan “al-Bâqî”
     Hakikat Ketujuh: Pintu Penjagaan dan Pengawasan sebagai Manifestasi dari Nama “al-Hafîdz” dan “ar-Raqîb”.
     Hakikat Kedelapan: Pintu Janji dan Ancaman sebagai Manifestasi dari Nama “al- Jamîl” dan “al-Jalîl”.
     Hakikat Kesembilan: Pintu Menghidupkan dan Mematikan sebagai Manifestasi dari Nama “al-Hayy al-Qayyûm”, “al-Muhyî”, dan “al-Mumît”.
     Hakikat Kesepuluh: Pintu Hikmah, Perhatian, Rahmat, dan Keadilan sebagai Manifestasi dari Nama “al-Hakîm”, “al-Karîm”, “al-Âdil”, dan “ar-Rahîm”.
     Hakikat Kesebelas: Pintu Kemanusiaan sebagai Manifestasi dari Nama “al-Haq”.
     Hakikat Kedua Belas: Pintu Risalah dan Wahyu sebagai Manifestasi dari “Bismillâhirrahmânir ra hîm”.
Penutup
Lampiran Pertama
Lampiran Kedua
Lampiran Ketiga
Lampiran Keempat
Lampiran Kelima

Kutipan

Kebangkitan Makhluk di Hari Kemudian
Gambaran Pertama Mungkinkah sebuah kekuasaan—terutama kerajaan besar semacam ini—tidak menyiapkan pahala bagi mereka yang taat dan hukuman bagi mereka yang durhaka? Jika hukuman dan pahala itu dianggap tidak ada di sini, berarti ia pasti ada di pengadilan besar di negeri lain.

Gambaran Kedua Perhatikan perjalanan sejumlah peristiwa di kerajaan ini, bagaimana rezeki dibagikan secara berlimpah termasuk kepada makhluk yang paling lemah dan paling miskin, bagaimana perawatan yang baik kepada seluruh orang sakit yang tidak memiliki siapa-siapa. Perhatikan berbagai makanan nikmat, tempat hidangan yang indah, dekorasi yang terhias, serta pakaian yang memesona dan hidangan berlimpah berada di setiap tempat. Perhatikan! Semua orang melaksanakan tugas mereka dengan tekun kecuali engkau dan orang-orang bodoh sepertimu. Tidak seorangpun yang dapat melampaui batas yang ditetapkan padanya. Orang yang paling mulia juga menunaikan kewajiban yang diberikan padanya dengan penuh tawaduk, penuh ketaatan, dalam kondisi takut dan tunduk.

Pemilik kerajaan ini sosok yang sangat pemurah, pemilik rahmat yang sangat luas, dan pemilik kemuliaan. Sebagaimana diketahui bersama, sifat pemurah melahirkan pemberian anugerah, rahmat terwujud dengan adanya kebaikan, sikap mulia menuntut adanya semangat membela kehormatan, kemuliaan dan kehormatan menuntut hukuman terhadap mereka yang biadab. Sementara, pada kerajaan ini tidak dilakukan satu pun dari seperseribu bagian yang layak dengan rahmat dan kemuliaan tersebut. Karenanya, orang zalim tetap pergi dalam kondisi sombong, sementara pihak yang dizalimi pergi dalam kondisi hina. Jadi, persoalannya ditangguhkan ke pengadilan terbesar.