Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

SEMESTINYA, masyarakat ini tak mendengar lagi ada pemimpinnya yang terjerat korupsi. Tak kecewa lagi dengan janji-janji yang terabaikan.

Adapun sikap-sikap semacam itu, adalah pengkhianatan berlipat ganda terhadap rakyat.

Pertama, tentu saja karena janji adalah utang yang mesti ditebus. Janji adalah utang pemimpin kepada rakyatnya. Janji itulah yang mereka gunakan merayu pemilih tiap lima tahun sekali.

Tapi, terlebih, sikap koruptif, kelakuan ingkar janji, adalah melipatgandakan derita rakyat. Bukan hanya dari sisi psikologis, melainkan – terutama—kerugian finansial.

Bayangkan, betapa duit yang “dihamburhamburkan” untuk memilih pemimpin di negeri ini: dari presiden, gubernur, bupati/wali kota, bahkan hingga kepala desa. Angkanya membelalakkan mata.

Tengok saja anggaran untuk Pemilu 2024 yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Awalnya, Rp86 triliun. Membuat jantung warga berdegup tak karuan. Lalu direvisi. Angkanya masih bikin rakyat merinding: Rp76,6 triliun. Belum lagi anggaran Bawaslu.

Jika sekali waktu Presiden Jokowi pernah menyampaikan ekonomi kita yang akan meroket, sejatinya bukan itu. Yang meroket adalah anggaran pemilu. Bandingkan dengan Pemilu 2014 yang hanya Rp15,62 triliun, atau Pemilu 2019 yang Rp25,59 triliun.

Belum lagi penyelenggara pemilu di bawahnya. KPU Kota Bandung, misalnya, mengajukan anggaran Rp100 miliar untuk Pemilu 2024 di Kota Bandung. Terpaksa jadi semacam proyek multiyears, dianggarkan berkali-kali di APBD.

Anggaran Pemilu 2024 di level pusat itu hampir setara dengan ongkos proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Anggaran menggelar Pemilu di Kota Bandung bisa membangun ratusan ruang kelas baru.

Okelah kalau anggaran membelalakkan mata itu memang bermanfaat dan berdaya guna untuk pesta demokrasi. Tapi, persoalannya, pesta demokrasi kadang-kadang menghasilkan pemimpin yang tak sesuai dengan harapan rakyat.

Tengok saja, betapa banyak kepala daerah hasil dari kontestasi demokrasi itu, bukan sekadar ingkar janji, tapi mengkhianati rakyat.

Ratusan orang di antaranya melakukan tindak pidana korupsi, memanfaatkan kuasanya untuk mendulang pundi-pundi, berdalih untuk ongkos politik yang tinggi.

Maka, layaklah sebenarnya rakyat mengumbar marah. Mengumandangkan penyesalan memilih pemimpin. Sebab, selain tak memenuhi janjijanji politiknya, banyak pemimpin yang juga menambah luka derita rakyat melalui aksi menilap duit negara itu.

Lalu, apa manfaatkan kontestasi demokrasi ini bagi rakyat? Sejatinya, mereka hanya diberi asa sekali lima tahun, diberi kesempatan menerima serangan fajar saban lima tahun.

Setelah itu, rata-rata mereka kecewa. Burukkah demokrasi? Tentu saja tidak. Yang buruk dan penuh coreng-moreng itu adalah kebanyakan pelaku kontestasi demokrasi, dari level manapun.

Maret 2022